Nama : Nur Afif Maftuchin Aljabar
Prodi/Kls : Hukum Keluarga / A
Semester : 1
Judul
makalah : Fasakh Nikah
A.
Pendahuluan
Perkawinan
merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan juga
merupakan awal untuk menuju kehidupan sosial di lingkungan masyarakat dengan
satu tujuan perkawinan yaitu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah.
Perkawinan tidak hanya mengikat antara satu orang lak-laki dengan seorang
perempuan, melaikan perkawinan juga melibatkan dua keluarga bahkan lebih,
karena itu jika ada permasalahan yang timbul, penyelesaian yang dilakukan
haruslah mempertimbangkan kelangsungan hubungan baik dengan keluarga yang
bersangkutan.
Meskipun
telah
diterangkan
dalam
pasal 2 UU No. 1 tahun 1974
dan pasal
3 KHI tentang tujuan perkawinan, perceraian
masih
tetap
menduduki
perkara
tertinggi di lingkungan
Peradilan Agama. Hal ini
dikarenakan
Islam telah
memberikan
hak
kepada
suami
dan
isteri
untuk
membubuarkan
perkawinan
dengan
berbagai
cara yang telah
diatur
dengan
berbagai
syarat yang harus
terpenuhi, pembubaran
ini
dapat
dilakukan
dengan
cara
khulu’, talak, dan
fasakh.
Apabila
akad nikah telah berlangsung dan memenuhisyarat rukunnya, maka akan menimbulkan
akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan hak dan kewajiban
suami isteri dalam keluarga yang meliputi: hak atas suami isteri, hak isteri
terhadap suami. Termasuk di dalamnya adab suami terhadap isteri yang telah
dicontohkan Rasulullah.[1]
Dalam
kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan untuk
cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena di khawatirkan dapat
berakibat bahaya yang lebih besar daripada disatukan ,dan jika terus menerus
dipaksa justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau
balau.[2]
Dalam
kajian hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum takhlifi
maupun hukum wad’i bisa bernilai sah, dan bisa pula bernilai batal.[3] Kata sah berasal dari
bahasa Arab “ sahih” yang secara etimologi berarti sesuatu dalam kondisi baik
dan tidak tercatat. Menurut istilah Usul Fiqh kata sah digunakan kepada satu
ibadah atau akan yang dilaksanakan dengan melengkapisegala syarat dan rukunnya.
Kata batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bilamana satu akad tidak
dinilai sah berarti batal.[4]
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk menjeleaskan tentang fasakh nikah yang kemudian
pembahasannya diawali dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema
yang ada. Dalam hal ini penulis akan memaparkan beberapa ayat dan tafsirnya
yang berkaitan dengan fasakh nikah, kemudian mejelaskan pula tinjauan hukum
dari Fiqh, Undang-Undang, dan juga Kompilasi Hukum Islam
A.
RumusanMasalah
Berkaitan
dengan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang
kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini, adapun rumusan masalah
yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
tafsir ayat-ayat Al-Qur’an tentang Fasakh nikah?
2. Bagaimana
tinjauan Fiqh tentang Faksakh nikah?
3. Bagaimana
tinjauan KHI tentang Fasakh nikah?
B.
Pembahasan
1.
Metode
Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Fasakh
Pada
dasarnya tidak ada ayat Al-Qur’an menjelaskan secara langsung mengenai fasakh
dalam perkawinan, melainakan Al-Qur’an menjelaskannya dengan makna yang
tersirat dari beberapa ayat, sehingga untuk dapat memahami dalil ini diperlukan
sabab nuzul dan berbagai hadits pendukung untuk menguatkan dasar berlakunya
fasakh dalam Islam.
Untuk
dapat mengetahui dasar hukum fasakh maka penulis dalam hal ini akan menggunakan
metode tafsir maudhu’i (tematik). Metode tafsir maudhu’i secara bahasa maudhu’i
berasal dari kata موضع
yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan
dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an.
Berdasarkan pengertian bahasa secara sederhana, metode tafsir maudhu’i ini
adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdsarkan tema atau topik permasalahan.
Definisi
diatas dapat dipahami bahwa sentral dari metode maudhu’i ini adalah menjelaskan
ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan
tertibturunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan
ayat yang lain yang dapat memahami ayat lalu menganalisanya secara cermat dan
menyeluruh[5].
Pengertian
tafsir tematik/maudhu’i secara
terminologis banyak
dikemukakan oleh para
pakar tafsir yang
pada prinsipnya bermuara pada
makna yang sama. Salah satunya menurut Dr. Abdul Hayyi
al-Farmawi, tafsir maudhu’i/tematik adalah
pola penafsiran dengan cara menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an yang
mempunyai tujuan yang sama
dengan arti sama-sama
membicarakan satu topik
dan menyusun berdasarkan masa turun ayat serta memperhatikan latar
belakang sebab-sebab turunnya,
kemudian diberi penjelasan, uraian, komentar dan pokok-pokok
kandungan hukumannya.[6]
Dalam
sebuah metode tentu ada beberapa tahapan yang harus dilalui, langkah-langkah
metode maudhu’i adalah sebagai berikut:[7]
-
Memilih atau
menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhui’i (tematik)
-
Menghimpun
seluruh ayat al-Qur’an yang terdapat pada seluruh surat al-Qur’an yang
berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat Makiyyat
ataupun Madaniyyat.
-
Menentukan
urutan ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan
sebab-sebab turunnya, jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu
turun karena sebab-sebab tertentu.
-
Menjelaskan
munasabah (relevansi) antara ayat – ayat itu pada masing-masing suratnya dan
kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya pada
masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily)
-
Menyusun tema
bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh yang
mencakup semua segi dari tema kajian.
-
Mengemukakan
hadits-hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij
dan menerangkan derajat hadits-hadits itu untuk lebih meyakinkan kepada orang
lain untuk mempelajari tema itu.
-
Merujuk kepada
kalam (ungkapan-ungkapan bangsa arab) dan shair-shair mereka dalam
menjelaskan lafadz-lafadz yang tedapat pada ayat yang berbicara tentang tema
kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
-
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara maudhu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun
ayat-ayat yang mengadung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara
yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad.
2.
Ayat-Ayat
Tentang
Fasakh Nikah
a.
Surat
Al-Baqarah
Ayat
221.
وَلَا
تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن
مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ
أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ
بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
221. Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran
Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah ayat 221.
Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
Murtsid bin Abu Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke
Madinah, sedang ia di masa jahiliyyah, memiliki hubungan dengan perempuan yang
bernama ‘Anaq, lalu wanita itu mengunjungi Murtsid dan bertanya: tidakkah engkau
masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam telah menghalangi diantarakita.
Lalu wanita itu bertanya lagi, tidakkah engkau bermaksud mengawini aku? Ia menjawab: Benar, tetapi aku akan menghadap Rasulullah
SAW. Untuk meminta izin kepadanya maka turunlah
ayat ini.[8]
Muqatil bin
hayyan berkata, ayat ini turun kepada Abi Martsad Al-Ghanawi. Ia meminta izin
kepada Rasullullah untuk mengawini seorang perempuan musyrik yang miskin tetapi
cantik, yang bernama Anaq. Abu Martsad berkata kepada Rasulullah, “Ya
Rasulullah, aku mengaguminya.” Maka turunlah ayat ini.[9]
TafsirSurat Al-Baqarah ayat 221.
a)
Yang dimaksud dengan
“nikah” dalam ayat ini ialah “mengawini” bukan menyetubuhi”, sehingga dikatakan
(kepadanya sebagai bantahan) bahwa memang tidak ada dalam Al-Qur’an lafal
“wathi” (menyetubuh) sebab, Al-Qur’an menggunakan bahasa sindiran, dan ini diantara
kehalusan lafal-lafal al-Qur’an.[10]
b)
Tentang Firman
Allah “lebih baik daripada perempuan musyrikah meskipun menarik hatimu” itu suatu
isyarat halus, bahwa yang harus diperhatikan dalam memilih jodoh ialah “akhlaq dan
agama”, bukan kecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya. [11]
c)
Adalah sudah maklum,
bahwa pengampunan itu diberikan kepada seseorang sebelum ia dimasukkan ke dalam
surga oleh karena itu lafal pengampunan itu lebih dahulu dari pada lafal sua
dalam ayat lain, seperti firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan surga” (QS. 3. 133), sedang dalam lafal ini ayat surga didahulukan
daripada lafal ampunan, karena untuk menjaga bentuk “muqobalah”
berhadap-hadapan dengan kata neraka, “ Mereka mengajak ku neraka sedang
Allah mengajak ke surga dan pengampunan dengan izin-Nya.[12]
d)
Dalam ayat ini
terdapat badi’ Muhasinat Lafdhiyah, yang disebut “Muqobalah”, yaitu disebutnya
dua makna atau lebih secara berahadap-hadapan, seperti disebut lafal “amat”
(hamba perempuan) berhadapan dengan lafal “abd” (hamba laki-laki) lafal
“mukminah” berhadapan dengan lafal “musyrikah” dan lafal “jannah” (surga)
berhadapan dengan lafal “nar” (neraka). Ini merupakan segi kebagusan adm
kelembutan susunan kalimat yang menjadikan kalimat bertambahelok dan indah.[13]
Jumhur berpendapat bahwa lafal “musyrikat” tidak
mencakup ahli kitab, karena Allah berfirman “orang-orang kafir dari ahli kitab
dan orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan” (QS. 2: 105)
di sini Allah meng’atafkan (mengubungkan) lafal “musyrikin” kepada lafal ahli
kitab” sedang ‘ataf menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang
berlainan, maka secara zahiriyah, lafal “musyrikat” tidak dapat mencakup lafal
“kitabiyyat” (perempuan-perempuan ahli kitab).
Ketika ayat ini tidak mencakup ahli kitab, maka
diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab. Pendapat tentang kebolehan ini
diungkapkan oleh jumhur ulama dengan berlandaskan pada Firman Allah dalam surat
al-Maidah ayat 5 “ ... dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan
mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi
Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
mengawininya”.[14]
Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah,
Sa’id ibnu Jubair, Mak-khul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi’
ibnu Anas, dan lainnya. Menurut pendapat lain ayat al baqarah 221 ini
dimaksudkan untuk orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan
bukan ahli kitab secara keseluruhan. Maka pendapat ini dapat dikarakan
mendukung pada pendapat yang pertama.[15]
Namun Ibn Umar tidak menyepakati hal itu dengan
mengatakan :
حرم الله تعالى المشركات على المسلين, ولا
أعرف شيئا من الإشراك أعظم من أن تقول المرأة: ربها عيسى, أو عبد عباد الله تعالى
Dari perbedaan ini kemudian jumhur berhujjah pada
beberapa hal diantaranya yaitu :
-
Dikarenakan
lafadz yang yang digunakan adalah “Musyrikat” bukanlah “kitabiyat”
-
Dengan pendapat
Qatadah yang mengatakan bahwa ayat yang termaktub adalah ‘amm sedang batinnya
tertuju pada wanita musyrik, tidak tertuju pada wanita ahli kitab, dan
menurutnya ayat ini tidak di nasakh oleh ayat manapun.
-
Tidak
diperbolehkannya menasakh ayat al-baqarah dengan ayat al-maidah dikarenakan
surat al baqarah diturunkan lebih awal di madinah, sedangkan surat al maidah
diturunkan ditempat lain.
Ath Thabari berkata setelah mengikuti pembicaraan
ini: pendapat yang paling kuat tentang takwil ayat ini (QS. 2. 221) adalah
pendapat Qatadah yang mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan firmannya: “ dan
janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah” itu, ialah mereka yang
nun ahli kitab yaitu perempuan-perempuan yang musyrikah, dan ayat tersebut
dzahirnya adalah ‘amm (umum) sedang batinnya khas (khusus), tidak dinasakh oleh
ayat manapun, dan bahwa perempuan-perempuan ahli kitab itu tidak tergolong di
dalamnya, sebab Allah telah berfirman “dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.”(QS. 5: 5), yakni halal bagi
kaum muslimin mengawini mereka sebagaimana Allah menghalalakan mereka mengawini
perempuan-perempuan yang mukminah. [16]
Ayat ini menjadi salah satu dalil terjadinya fasakh
karena tidak diperbolehkanya menjalin hubungan rumah tangga yang berlainan agama,
begitu juga ketika salah satu dari suami atau isteri mejadi murtad, maka ikatan
perkawinan dianggap fasakh (batal/putus). Namun hal ini tidak berlaku pada
perempuan ahli kitab, dikarenakan pada zaman nabi Muhammad masih banyak
didapati wanita-wanita ahli kitab, sedangkan di zaman sekarang, wanita ahli
kitab khususnya di Indonesia tidak ditemukan. Sebab menurut penulis, bagaimana
bisa dikatakan ahli kitab, sementara kitab yang mereka pelajari diragukan
keasliannya.
Namun Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.[17]
Artinya wanita islam sama sekali tidak diperkenankan menikah dengan laki-laki
dari agama lain dengan alasan apapun seperti yang pernah dikatakan oleh Umar
ibn Khattab “ lelaki muslim boleh mengawini wanita nasrani, tetapi lelaki
Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah”[18]
Hal ini juga menyangkut pada akibat dari fasakh,
dimana ketika salah satu dari suami isteri telah berpindah agama, dengan otomatis
tidak ada lagi kaitan hukum Islam diantara keduanya.
b. Surat An-Nisa’ ayat23 dan 24
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ
أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ
وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ
وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي
فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ
تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ
أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣ ۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم
مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فََٔاتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ
بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٢٤
23. Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
24.
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini memberikan penjelasan mengenai
haramnya mengawini anggota keluarga, baik keluarga itu terbentuk karena kelahiran
ataupun ikatan perkawinan. Kemudian timbul perbedaan beberapa ulama mengenai
status anak tiri, apakah anak tiri yang di nikahi itu disyaratkan bahwa ia
harus berada dalam penjagaan anak ayah tiri? Menurut jumhur ulama, hal itu
tidak disyaratkan, haram bagi seorang menikahi anak tirinya, baik anak tiri itu
dalam penjagaanya ataupun tidak. Menurut ahli zhahir (kaum tekstual), hal itu
menjadi syarat bagi larangan tersebut, jika anak tiri tidak berada dalam
penjagaan ayah tiri, maka ayah tiri halal menikahinya.[19]
Selain anak tiri perdebatan juga
melibatkan anak sesusuan, yang menjadi perdebatan para ulama adalah pengertian
dari “ sesusuan”, tentang bagaimana anak itu dapat dikatakan sesusuan. Menurut
Imam Malik, Abu Hanifah, dan Auza’I, tidak ada batasan minimal dari menyusu,
seberapapun menyusunya seorang anak dengan seorang wanita, hal itu sudah
menjadi haram baginya menikahi wanita tersebut. Sedangkan menurut Imam Asy
Syafi’I, syarat bagi haramnya menikah karena hubungan sesusuan adalah minimal 5
(lima) kali. Pendapat ini berhujjah pada hadits Aisyah yang mengatakan bahwa sebelumnya
al-Qur’an menyebutkan 10 kali menyusu yang dimaklumi, kemudian di-Mansukh
menjadi 5 kali menyusu yang dimaklumi.[20]
Diterima
dari Aisyah, Rasulullah SAW. Bersabda: “orang-orang yang haram dinikahi karena sesusuan sama
dengan orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan keturunan”.[21]
Dalam hal ini, fasakh nikah dapat
terjadi bilamana setelah melakukan akad perkawinan, kemudian dikemudian hari
diketahui bahwa sang suami/isteri adalah saudara kandung atau saudara sesusuan
maka, dengan otomatis atau atas dasar putusan hakim perkawinan menjadi batal.
Akibat dari fasakh ini, ulama masih berbeda pendapat mengenai nafkah iddah.
Mengenai hal ini, penulis akan menjelaskan dalam sub bab dengan lebih rinci.
Hubungan
Dengan Ayat Sebelumnya[22]
Alasan penulis memberikan penjelasan
mengenai korelasi ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah ayat sebelumnya
(21-22) tidak berkaitan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis, sehingga
penulis menganggap perlu memberikan keterangan yang jelas mengenai korelasi
antara ayat yang lebih dulu.
Ayat-Ayat dipermulaan surat an-Nisa’
ini, Allah melarang kita menirukan beberapa tradisi jahiliyah perihal anak-anak
yatim, harta anak yatim dan mengawini anak-anak yatim tanpa maskawin. Juga
kezhaliman yang mereka lakukan dalam masalah warisan, dimana orang perempuan
dan anak kecil tidak diberi hak atas harta peninggalan, dengan alasan mereka
itu tidak dapat mempertahankan keluarga, tidak dapat memanggul senjata dsb dari
beberapa tugas sosial.
Maka ayat-ayat ini menerangkan satu
macam lagi dari bentuk kezhaliman yang pernah dialami oleh perempuan-perempuan
jahiliyah, misalnya anggapannya mereka itu sebagai barang yang diwarisi, pindah
dari satu tangan ke tangan lain. Diantaranya mereka berhak mewarisi isteri
keluarganya yang meninggal dunia, tak ubahnya mewarisi harta.
Itulah sebabnya, Allah mengharamkan
semua itu dan memerintahkan untuk selalu berubuat baik terhadap perempuan,
dengan pergaulan dan persahabatan yang baik. Ia panggil kaum perempuan untuk
menyadari dirinya dari kezhaliman dan permusuhan yang nyatanyata iru.
Asbabun
Nuzul Surat An-Nisa’Ayat 23
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari Ibnu Juraij bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang
“wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha
menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai
pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat
Nabi)”. Kaum musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa
ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya
perkawinan kepada mantan istri anak angkat.[23]
Asbabun
Nuzul Surat An-Nisa’ Ayat 24
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudri: bahwa kaum
Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas.
Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka
bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut
di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang
bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 24) di waktu
perang Humain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan
dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak
dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul
menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
Ma’mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami
membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat
memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan
tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24)
sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.
Tafsir
Surat An-Nisa’ Ayat 23-24
Ayat yang mulia ini adalah ayat yang
menerangkan haramnya mahram bedasarkan keturunan (nasab) dan hal-hal yang
mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. “Diharamkan atasmu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan”.
Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu ‘Abbas,
ia berkata: “Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada
tujuh, kemudian ia membaca حرمت....وبنات الأخت “ merekalah (maharam dari) nasab. Jumhur ulama menggunakan
dalil tentang haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah وبناتكم, karena ia adalah anak perempuan, amak aita remasuk kedalam
ayat tersebut, sebagaimana mazhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada
pendapat dari Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukan anak menurut hukum
syar’i, sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam Firman Allah يوصيكم...حظ الأنثيين (QS. An-Nisa’: 11)
sesunguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma’, maka iapun tidak
termasuk kedalam ayat ini. [24]
Sebagian ahli fiqh berkata, “setiap apa
saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan
kecuali empat bentuk”. Sebagian lagi mengatakan kecuali enam bentuk yang
kesemuanya tersebut dalam kitab-kitab furu’ diantaranya yaitu: “Ibu saudaramu
yang laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada
seorang perempuan (lainya) menyusui saudara laki-laki kamu atau saudara
perempuanmu , maka perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya.
Akan tetapi diharamkan bagimu ibu dari keduanya berdasarkan nasab, karena ibu
dari keduanya itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menhadi
sisa permasalahan tersbut.” Setelah diteliti, ternyata tidak ada pengecualian
sidikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian terdapat dalam nasab dan
sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara (mendasar) tidak ada yang
menolak hadits tersebut sedikitpun. [25]
Kemudian para Imam berbeda pendapat
tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya
sekedar menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini. Sedangkan
menurut Malik, riwayat dari Ibn Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah
bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama lain berkata, “kurang dari tiga kali susuan
tidak mengharamkan. Sebagaimana yang tercantum dalam shahih muslim dari jalan
hasyim bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“satu atau dua isapan (susuan) tidak mengharamkan.” Kemudian diriwayatkan pula
Qatadah berkata dari Abil Khalil, dari ‘Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul
Fadhl berkata, Rasulullah SAW bersabda: “satu atau dua susuan atau satu dan dua
isapan tidak mengharamkan,” di dalam lafadz yang lain.” Satu dua sedotan
tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim). Dan diantara yang berpendapat seperti ini
adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ruwaih, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur, yaitu
diriwayatkan dari ‘Ali, ‘Aisyah, ‘Ummul Fadl, Ibnu az-Zubair, Sulaiman bin
Yasar dan Sa’id bin Jubair. Ulama yang lain berkata “Kurang dari lima isapan
tidak mengharamkan, berdasarkan hadits dalam sahih muslim dari riwayat Malik dari
‘Abdullah bin Abu Bakar, dari ‘Urwah dai ‘Aisyah ra. Ia berkata, dahulu (ayat
ini) termasuk diantara ayat al-Qur’an: “sepuluh kali susuan yang diketahui
(didapat) mengharamkan.” Kemudian di nasakh (dihapus hukum itu) dengan lima
kali susuan yang diketahui. Di saat Nabi wafat, maka hal tersebut adalah ayat
al-Qur’an yang dibaca.[26]
Kamudian, para ulama berbeda pendapat
tentang apakah menjadi haram akibat air susu dari pihak ayah persusuan,
sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur empat Imam dan lain-lain. Atau hanya
dikhususkan dengan pihak ibu persusuan saja dan tidak terkait hingga pada ayah
persusuan, sebagaimana satu pendapat sebagaian ulama salaf yang sebenarnya
terbagi pada dua golongan.[27] namun hal ini penulis
tidak menyertakan pembahasan lebih lanjut, rincian masalah ini terdapat dalam
kitab besar yang berisikan hukum-hukum.
Ibnu Kasir berpendapat makana Mubhammat
artinya umum untuk yang sudah
digauli ataupun yang belum digauli, maka diharamkan dengan semata-mata akad
dengannya dan hal ini yang disepakati. Jika ada yang bertanya, dari segi apa
diharamkannya isteri anak-anak dari sepersusuan sebagaimana yang dikatakan oleh
Jumhur ulama, bahkan dihikayatkan sebagaian orang bahwa hal ini sebagai ijma’,
padahal anak dari sepersusuan itu bukan dari keturunannya? Maka jawabannya
ialah bedasarkan sabda Rasulullah SAW : “Diharamkan karena sepersusuan apa-apa
diharamkan karena nasab”[28]
Kemudian terkait Firman Allah: وأمهات..... فلا جناح
عليكم. Ibu mertua
diharamkan dengan (hanya sekedar) akad terhadap puterinya, baik sudah digauli
ataupun belum. Sedangkan Rabibah yaitu anak isteri tidak diharamkan,
hingga ibunya digauli. Jika ibunya dicerai sebelum digauli, maka ia boleh
mengawini puterinya. Untuk itu Allah berfirman وربائكم.... فلا جناح
عليكم. “ serta
anak-anak perempuan (tiri) yang berada dibawab pemeliharaanmu dari
isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka
tidak ada dosa bagimu”. Dalam mengawini mereka. Hal ini merupakan ke khususan
bagi anak tiri. Kemudian Jumhur berpendapat bahwasannya anak tiri tidak
diharamkan dengan semata-mata akad terhadap ibunya, berbeda dengan ibu mertua
yang diharamkan dengan semata-mata akad. Inilah Madzhab Imam empat dan tujuh
ahli fiqh serta Jumhur fuqaha, baik yang lalu maupun sekarang. Menurut jumhur
ulama bahwa rabibah itu haram, baik berada dibawah pemeliharaannya
ataupun tidak. Mereka mengatakan: Firman Allah ini berdasarkan kebiasaan yang
banyak terjadi dan tidak mengandung pengertian apapun seperti Firman Allah: “dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri menginginkan kesucian”(QS. An-Nuur: 33)[29]
Kedua
ayat ini menunjukkan salah satu beberapa sebab terjadinya fasakh bilamana
ketika telah terjadi perkawinan yang sah, dan dikemudian hari ditemukan bukti
yang sah bahwa suami atau isterinya masih memiliki hubungan darah atau susuan
bahkan saudara tiri. Meskipun terjadi beberapa perdebatan mengenai keabsahan dari
status persusuan dan anak tiri, penulis tetap mencantumkan ayat ini sebagai
dasar hukum fasakh nikah.
3. Surat Al-Mumtahanahayat
10
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ
فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ
مُؤۡمِنَٰتٖ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِۖ لَا هُنَّ حِلّٞ لَّهُمۡ
وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْۚ وَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۚ وَلَا
تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ وَسَۡٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ وَلۡيَسَۡٔلُواْ
مَآ أَنفَقُواْۚ ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡۖ وَٱللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٞ ١٠
10. Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Diriwayatkan oleh asy-syaikhani (Al-Bukhari dan
Muslim) yang bersumber dari al-miswar dan Marwan bin al-Hakim bahwa setelah Rasulullah SAW.
membuat perjanjian Hudaibiyah dengan kaum kafir Quraisy, datanglah
wanita-wanita mu’minat dari Mekkah. Maka turunlah ayat ini, yang memerintahkan
untuk menguji dulu wanita-wanita yang hijrah itu, dan setelah jelas keimanan
mereka, tidak boleh dikembalikan ke Makkah.
Diriwayatkan oleh ath-Thobaroni dengan sanad yang
lemah, yang bersumber dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad bahwa setelah Rasulullah SAW
membuat perjanjian Hudaibiyah, Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith
berhijrah dari Makkah ke Madinah. Kedua saudaranya yang bernama Imran bin
‘Uqbah dan al-Walid bin ‘Uqbah menyusul Ummu Kaltsum (saudaranya) hingga sampai
pada Rasulullah, keduanya meminta agar Ummu Kaltsum diserahkan kembali kepada
mereka dengan turunnya ayat ini, Allah membatalkan perjanjian Rasulullah dengan
kaum musyrikin, khusus tentang wanita-wanita, yaitu melarang kaum wanita
beriman kembali kepada kaum musyrikin.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Yazid bin Abi Habib bahwa ayat ini, turun berknenaan dengan kisah Umaimah
binti Basyr, isteri Abu Hassan as-Dahdahah, yang hijrah dari Mekkah ke Madinah
setelah perjanjian Hudaibiyah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Muqatil bahwa Sa’idah, isteri shaifi bin ar-Rahib, hijrah dari Mekkah ke
Madinah meninggalkan suaminya yang musyrik. Ia berhijrah setelah perjanjian
Hudaibiyah. Kaum Quraisy menuntut pengembaliannya. Dengan turunnya ayat ini,
Sa’idah tidak dikembalikan.
Diriwayatkan Ibnu Jarir yang bersumber dari
az-Zuhri bahwa az-Zuhri menghadap Rasulullah yang sedang membuat perjanjian
Hudaibiyah yang isinya antara lain: barang siapa yang melarikan diri ke
Madinah, hendaknya kembali ke Makkah. Akan tetapi ketika wanita-wanita (yang
sudah Islam) melarikan diri ke pihak Mukminin, turunlah ayat ini, yang kemudian
melarang mengembalikan Muk’minat ke Mekkah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dari al-Kalbi, dari
Abu Shalil yang bersunber dari Ibnu Abbas bahwa ‘Umar bin Khattab masuk Islam,
akan tetapi isterinya masih mengikuti kaum musyrikin. Maka turunlah ayat ini
yang melarang kaum mukminin berpegang pada perkaiwnan wanita kafir.
Tafsir
Surat
Al-Mumtahanah Ayat 10:
Ayat diatas menjelaskan bahwa: Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang (untuk
bergabung) kepada kamu perempuan-perempuan mukminah, yakni yang
mengucapkan dua kalimat syahadat dan dalam keadaan sebagai wanita-wanita yang
berhijrahmeniggalkan Mekkah, maka ujilah mereka menyangkut keimanan mereka. Misalnya,
memerintahkan mereka bersumpah mengenai kehadiran mereka ke Mekkah. Jangan ada
yang menduga ujian itu karena Allah tidak mengetahui hakikat keimanan mereka.
Sama sekali tidak! Allah lebih mengetahui dari siapapuntentang hakikat keimanan
mereka, maka jika kamu telah mengetahui keadaan mereka -yakni menduga keras
berdasar indikator-indikator yang memadaibahwa mereka benar-benar wanita-wanita
mukminah, maka janganlah dalam bentuk dan keadaan apapun kamu kembalikan mereka
kepada orang-orang kafir walaupun mereka itu adalah suami-suami wanita-wanita
mukminah tadi sebab mereka, para wanita mukminah itu tidak halalmenjadi
misteri-isteribagi mereka, pria-pria kafir itu, dan mereka, yakni
pria-pria kafir itu, pun tidak halal juga menjadi suami-suami sejak bagi
mereka kini dan akan datang.[31]
Ayat yang menjadi tujuan utama penulis yang berkenaan dengan
tema adalah tertuju pada lafadz فلا ترعوهن إلى
الكفار.....فإن علمتم yang akan diulas melalui
tafsir Ibn Kasir. Firman Allah: “Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kemabalikan mereka pada (suamisuami
mereka) orang-orang kafir.” Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan
bahwa keimanan itu dapat dilihat secara pasti, kemudian dilanjutkan dengan
pembahsan ayat selanjutnya لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهم. Ayat ini mengharamkan wanita-wanita muslimah menikah dengan
lelaki musyrik. Padahal pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan
menikah dengan wanita muslimah. Berdasarkan hal tersebut terlaksanalah
pernikahan Abdul ‘Ash bin ar-Rabi’ dengan Puteri Rasulullah SAW,, Zainab ra,
dimana pada saat itu Zainab sebagai
seorang muslimah, sedangkan Abdul ‘Ash bin ar-Rabi’ masih memeluk agama
kaumnya. Dan ketika dia masuk tawanan perang Badar, Zainab mengutus seseorang
menebusnya dengan kalung yang dahulu milik ibunya, Khadijah binti Khuwailid ra.
Ketika melihatnya, Rasulullah sangat pilu sekali dan berkata kepada kaum
muslimin: “jika kalian memutuskan untuk membebaskan tawanannya, lakukanlah.”
Merekapun melakukannya, dan Rasulullah membebaskannya dengan syarat kaum kafir
Quraisy harus mengirimkan Zainab kepada beliau. Dia pun memenuhi permintaan
Rasulullah tersebut dan memenuhi janjinya terhadap beliau dengan mengirimkan
Zainab kepada beliau bersama Zaid bin Haritsah ra. Maka Zainabpun bermukim di
Madinah setelah perang Badar. Hal ini terjadi pada tahun ke2 Hijrah, lalu
Rasulullah mengembalikan Zainab kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama
dan tidak meminta mahar yang baru.[32]
Ketegasan Rasulullah membatasi kebebasan memilih
pasangan sagat tampak pada ayat ini, dimana seorang muslimah benar-benar
dilarang bersuami dengan orang musyrik, walaupun telah terjadi ikatan
perkawinan yang telah mereka. Oleh
karena itu penulis menganggap ayat ini memiliki kaitan yang erat dengan tema
yang diangkat.
4.
Fasakh Nikah Menurut Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam.
a. Fasakh Menurut
Fiqh
Secara
bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Sedangkan
pengertian
fasakh
secara
istilah
menurut
Sayyid
Sabiq
adalah
membatalkan
akad
nikah
dan
melepaskan
hubungan yang terjalin
antara
suami
isteri,
fasakh
terjadi
apabila
ada
celah
pada
akad
nikah
atau
ada
sebab
baru yang mencegah
berlang
sungnya
hubungan
suami
isteri.[33]
Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.[34]
Syarat-syarat nikah
merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Pada garis besarnya syarat sahnya
perkawinan itu ada dua, yaitu:
1) Calon mempelai perempuan
halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya isteri.
2) Akad nikahnya dihadiri
para saksi
Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari:
1) Pihak laki-laki
2) Pihak perempuan
3) Wali atau wali hakim
4) Dua orang saksi
5) Ijab dan Qabul.[35]
Fasakh bisa terjadi karena
tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena
hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Dalam hal
ini fasakh dibagi mejadi dua jenis yaitu:
1) Fasakh
karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a) Setelah akad nikah
ternyata diketahui bahwa istrinya adalah sudara kandung atau saudara sesusuan
pihak suami.
b) Suami isti masih kecil,
kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau
mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih
mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2) Fasakh
karena hal-hal yang datang setelah akad
a) Jika seorang suami murtad
atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya
batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b) Jika suami yang tadinya
kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap
menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli
kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli
kitab dari semula dipandang sah.[36]
Sedang fasakh dengan
keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah jelas tidak memerlukan
keputusan hakim lagi, missal apabila si isteri terbukti bahwa si suami isteri
masih saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk
memfasakhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Terkadang ada
penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan
pelaksanaannya tergantung kepada keputusan hakim, missal fasakh karena isteri
musyrik dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk islam terlebih dahulu namun
isteri keberatan untuk masuk islam, maka akadnya rusak.[37]
Korelasi Fasakh
dan Khuluq
Jumhur berpendapat bahwa Khuluq adalah talak
Ba’in, seperti yang diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dari Abu Zubair: “ Ambillah kebunnya dan ceraikan dengan thalaq satu”.
(Riwayat Bukhari). Sebagian ulama fiqh lainnya, diantaranya Imam Ahmad bi
Hanbal, Dawud bin Ali al-Ashbihani dari kalangan ulama Fiqh, Utsman bin Affan,
Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas dari kalangan saghabat, semuanya berpendapat Khuluq
adalah Fasakh bukan talaq. Ibnul Qayyim berkata: “Dalil yang menunjukkan bahwa
Khuluq itu bukan talaq ialah, bahwasannya Allah menetapkan adanya tiga akibat
hukum talaq sesudah dukhul dan belum tigakali cerai, dengan ketiga akibat hukum
tersebut bertentangan dengan akibat hukum khuluq. Ketiganya itu adalah:[38]
Pertama, suami berhak merujuk isterinya selama ‘iddah. Kedua
, thalaq itu tiga kali, maka tidak halal dikawini lagi setelah perempuan
itu dithalaq tiga, kecuali jika sudah kawin lagi dengan laki-laki lain dan
sudah dicampuri. Ketiga, ‘iddahnya tiga kali suci. Sedangkan Nash
menetapkan bahwa khuluq tidak ada ‘iddahnya. Hadits Rasulullah SAW serta
pendapat para sahabat menetapkan bahwa ‘iddahnya khuluq hanya satu kali haid.
Adapula nash yang memperbolehkan khuluq setelah duakali talaq, dan talaq yang
ke tiga dijatuhkan setelah terjadi khuluq, ini membuktikan bahwa khuluq bukan
thalaq.[39]
Perselisihan ini membawa dampak kepada ‘iddah.
Orang yang berpendapat bahwa khuluq itu sama dnegan thalaq, maka thalaqnya
adalah ba’in. Sedangkan yang menganggap fasakh, maka thlaqnya bukan ba’in.
Orang yang menceraikan isterinya sampai dua kali, kemudian mengkhuluqnya, lalu
akan merujuknya, maka ia berhak merujuknya walaupun isterinya belum kawin
dengan laki-laki lain, karena thalaqnya belum sampai tiga kali, Khuluqnya tidak
mempengaruhi. Mereka yang menganggap khuluq sebagai thalaq berpendapat bahwa
suami tidak diperkenankan merujuk isterinya sampai ia kawin dengan laki-laki
lain, karena dengan adanya khuluq itu thalaqnya dianggap genap tiga.
Sebab-Sebab Terjadinya
Fasakh
Fasakh bias terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat
ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian
dan membatalkan kelang sungan perkawinan.[40]
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perkawinan dapat dirusak atau
difakasakh, dengan fasakh tersebut akad perkawinannya tidak berguna lagi.
Sebab-sebab itu antara lain:[41]
1.
Apabila seorang laki-laki menipu seorang
perempuan, atau perempuan menipu laki-laki, misalnya orang laki-laki mandul
yang tidak dapat memberikan keturunan, maka siperempuan berhak mengajukan
fasakh manakala ia tahu, kecuali ia memilih untuk tetap menjadi isteri dan
ridhodipergauli suaminya.
2.
Apabila seorang laki-laki mengawini seorang
perempuan yang mengaku sebagai serang yang baik-baik, kemudian ternyata fasik,
maka siperempuan berhak mengajukan fasakh untuk membatalkan akadnya.
3.
Seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan
yang mengaku perawan tetapi ternyata janda, maka laki-laki itu berhak meminta
ganti rugi maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
4.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan,
kemudian kedapatan bahwa si isteri itu cacat tidak dapat dicampuri, misalnya
selalu beristihadloh (selalu keluar darah selain darah haid), istihadhah adalah
aib karena itu dapat menyebabkan fasakh dan merusak nikah.
5.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan
tetapi di tubuh perempuan itu ada penghalang yang menyebabkan si misteri tidak
dapat dipergauli, misalnya kemaluannya tersumbat, tumbuh daging atau robek atau
ada tulangnya, suami boleh mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinannya.
6.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan
tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacar seperti supak, kusta atau
gila.
Fasakh dengan
Keputusan Hakim
Pada dasarnya fasakh tentu membutuhkan keputusan
hakim sebagai putusan yang sah menurut UndangUndang. Oleh karena itu semua
fasakh tetap bermuara pada Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hukum.
Terkadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan
hakim, dan pelaksanaannya tergantung pada putusan hakim, misalnya fasakh karena
isteri musyrik dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk Islam terlebih dahulu
tetapi isteri keberatan untuk masuk Islam. Maka akadnya rusak, tetapi kalau
isteri tidak keberatan masuk Islam maka akadnya tidak difasakhkan. [42]
b. Fasakh Nikah
Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun
kompilasi hukum islam hanya sebatas kompilasi (bukan Undang-Undang) namun
kedudukannya di ligkungan peradilan agama,sangat mempengaruhi keputusan hakim
dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan kewenangan peradilan
agama. KHI menerangkan tentang beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan
diantarnya adalah:
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan
perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai
empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah
talak raj`i;
-
seseorang menikah bekas isterinya yang telah
dili`annya;
-
seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi
tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah
dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan
telah habis masa iddahnya;
b. Perkawinan
dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan
sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8
Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
-
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
atau keatas
-
berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
-
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu atau ayah tiri.
-
berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
c. isteri adalah
saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau
isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
a. seorang suami
melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang
dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang
mafqud.
c. perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1) Seorang suami
atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami
atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai
diri suami atau isteri
3) Apabila ancaman
telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri,
dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka
haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b. Suami atau
isteri;
c. Pejabat yang
berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan
menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam
pasal 67.
Pasal 74
1) Permohonan
pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
2) Batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang
batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan
pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan
tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
C. Kesimpulan
1. Pada dasarnya
tidak ada ayat yang secara spesifik membahas mengenai fasakh nikah, melainkan
tersirat pada beberapa ayat pada surat-surat tertentu, diantaranya adalah:
a. Surat
al-Baqarah ayat 221.
b. Surat
Annisa’ayat 23 dan 24.
c. Surat
Al-Mumtahanah ayat 10.
Ayat-ayat tersebut secara
tersirat menyebutkan beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan, baik
sebelum akad maupun sesudah terjadinya akad.
2. Fasakh terbagi
kedalam dua jenis yaitu:
a. Fasakh yang
disebabkan karena sayarat-syarat akad tidak terpenuhi
b. Fasakh yang
datang setelah terjadinya akad.
Sebab-sebab fasakh secara
umum adalah:
a. Suami atau
isteri gila
b. Suami atau
isteri murtad
c. Suami atau
isteri memiliki penyakit yang membahayakan dan dapat menular, seperti, HIV,
Aids, Kusta,
d. Suami atau
isteri memiliki gangguan pada organ reproduksi sehingga menghalangi tujuan
perkawinan, atau tidak bisa memiliki anak.
3. Menurut
Kompilasi Hukum Islam, pembatalan perkawinan dijelaskan dalam pasal 70-76.
DAFTAR
PUSTAKA
Kitab
Al-Imam
Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Alih
bahasa Abdul ghofar, Jilid 2, cet IV, Bogor:Pustaka Imam Syafi’i. 2005
............
Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi,... jilid 8.
Asy Syaukani Muhammad
bin Ali, Fathul Qadir, Jild
I, Darul Hadits: Kairo, 1992.
Ash-Shabuni
Muhamad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bina Ilmu: Surabaya, 2008.
Shihab
M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati: Jakarta, 2002.
Sabiq Sayyid, Fiqh
Sunnah, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Zuhaili Wahbah, Fiqh
Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.
Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1995.
Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Rowaaihul Bayan, Juz I, Lebanon:Maktaba-alassrya
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi wa Huwa Al-Jami’
Ash-Shahih. Bandung: Maktabah Dahlan, T,th.
Ibnu
Hajar Al-Asqalany, Bulugh Al-maram, aplikasi, Versi 3.01
Imam
Muslim
bin Hajaj al-Naisbury,
Shahih Muslim, jilid I, Lebanon: Dar-Al kotob, 1971.
Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali
bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, Beirut: ‘Alam al-Kutub, T.th.
Al-Kahlani, Muhmmad bin
Isma’ilSubulus As-Salam,Bandung: Dahlan, T,th.
Sahrani,Thiani Sobari, Fiqh Nikah
Lengkap,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009
Effendi
Satria, Probeleatika Hukum keluarga Islam Kontemporer,Jakarta:PrendaMedia,
2004.
Baidan Nashrudin, Metode
Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
al-Farmawi Abdul Hayyi, al-Bidayah Fi-al-Tafsir al-Maudhu’I,
Kairo:al-Hadharat al-Gharbiyyah, 1977
Alhamdani,
Risalah Nikah, cet III, Pustaka Setia: Jakarta, 2011.
KompilasiHukum Islam
Saebani Beni Ahmad, FikihMunakahat, Bandung:
PustakaSetia, 2001.
Sahrani
Tihani, Sohari, Fiqh Munakahat: kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Press, 2002.
Wardahcheche.blogspot.com/2013/11/tafsirmaudhu’i.html?m=1 kamis, 21 oktober, 2016.
https://alquranmulia.wordpress.com/2013/01/15/asbabun-nuzul-surah-al-mumtahanah/.
Rabu, 2 November 2016, 23.16.
Jurnal
PENYAKIT AIDS SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN MELALUI FASAKH MENURUT ENAKMEN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI
JOHOR MALAYSIA.OLEH: MUHAMMAD SALLEH 2012.
ALASAN PEMBUBARAN MEMBUBARKAN PERKAWINAN MELALUI FASAKH.
OLEH: RH. ABDULLAH, JURNAL SYARI’AH 1997
[1]Thiani Sobari Sahrani, Fiqh
Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009) 153.
[3]Satria Effendi, Probeleatika
HukumkeluargaIslamKontemporer, (Jakarta:PrendaMedia, 2004) 19.
[4] Ibid, 20.
[6]Abdul
Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah Fi-al-Tafsir al-Maudhu’I,
(Kairo:al-Hadharat al-Gharbiyyah, 1977), hlm. 52.
[7]Wardahcheche.blogspot.com/2013/11/tafsirmaudhu’i.html?m=1
(kamis, 21 oktober, pukul 9.51WIB)
[9]Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab
An-Nuzul, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th) 49-50.
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowaaihul Bayan, Juz
I, (Lebanon:Maktaba-alassrya), 267.
[11] Ibid,,, 267.
[12] Ibid,,, 267.
[13] Ibid,,, 268.
[15]
Al-Imam Abdul
Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 2,,, 419.
[16]Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir
Ayat al-Ahkam, (Bina Ilmu: Surabaya, 2008) 197-202
[17]Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.
[18]
Al-Imam Abdul
Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 2,,, 420.
[19]Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Jilid III, (Beirut: Dar Ibn Hazm,1995)
990.
[20]
Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulugh Al-maram, Versi 3.01, Hadits ke 925.
[22] Mu’ammal
Hamidy, dan Imron A Manan, Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 1, (Surabaya: Bina
Ilmu, 2011) 325.
[23]http://alquran-asbabunnuzul.blogspot.co.id/2012/09/an-nisa-ayat-23.html (Jum’at 21, oktober, 2016)
[24]
Al-Imam Abdul
Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Alih bahasa
Abdul ghofar, Jilid 2, cet IV, (Bogor:Pustaka Imam Syafi’i. 2005) 264.
[25] Ibid,,,. 267.
[26] Ibid,,,.
267-268.
[27] Ibid,,,. 268.
[28] Ibid,,,. 270
[29] Ibid,,,. 269.
[30]
https://alquranmulia.wordpress.com/2013/01/15/asbabun-nuzul-surah-al-mumtahanah/.
Rabu, 2 November 2016, 23.16.
[31]M.
QuraishShihab, Tafsir Al-Misbah, Vol XIII, (Lentera Hati: Jakarta, 2002)
604.
[32]
Al-Imam Abdul
Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid
8,,,.145-146.
[33] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) 627.
[34]Beni Ahmad Saebani, FikihMunakahat, (
Bandung: PustakaSetia, 2001 ), 105.
[38] Alhamdani, Risalah Nikah,
cet III, (Pustaka Setia: Jakarta, 2011) 265.
[39] Ibid,,,. 265
[40]Tihani dan Sohari Sahrani, FiqhMunakahat:
kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2002) 195.
[41]
Alhamdani, Risalah Nikah,,,.
271-272.
[42]
Alhamdani, Risalah Nikah,,,.273