Rabu, 08 Maret 2017

analisis KDRT menurut Hukum Islam

A.    Pendahuluan
Rumah tangga merupakan sebuah lingkungan masyarakat yang paling kecil, dengan dipimpin oleh seorang laki-laki sebagai suami yang berkewajiban memberikan nafkah dan perlindungan kepada anak dan isterinya.Selain itu maksud dari perkawinan adalah untuk mencapai ketenagan dan kedamaian, sekalipun ketenangan hanya tujuan dalam satu segi, tetapi mejadi salah satu sarana mencari keturunan yang mulia, tanpa adanya kasih sayang, kedamaian, dan ketenangan suami isteri, maka akan sulit mencapai tujuan dari perkawinan.[1]Kekerasan yang kerap terjadi dalam lingkungan keluarga dilatar belakangi oleh sebab yang beragam, lebih fatalnya lagi, kekerasan yang dilakukan tidak hanya  dari  golongan laki-laki (suami) kepada isterinya, melainkan tidak jarang kekerasan itu datang dari pihak wanita (isteri) kepada suaminya. Oleh karena itu, Indonesia memberikan beberapa aturan yang bersifat mengikat dan memaksa sebagaimana yang tertera dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal 22 september 2004 oleh Presiden Megawati.
Undang-Undang ini terbentuk demi menciptakan falsafah pancasila dan UUD 1945 yaitu memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapat rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, karena kekerasan dalam rumah tangga termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk juga kejahatan dan diskriminasi yang harus di tiadakan.
Kekerasan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah setiap perbuatan terhadap seseorang tertama perempuan yang dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, dan/atau penelantaran atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sedangkan yang dimaksud korban dalam hal  ini adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Untuk memberikan perlindungan dan rasa aman perlu ada peran dari pihak keluarga, lembaga sosial, kepolisian, advokat, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penerapan keadilan.[2]
Kemudian dalam hukum Islam istilah tindakan pidana ini dikenal dengan Al-Jinayat merupakan bentuk jamak dari kata Jinayah. yang berasal dari kata Jana-yajni yang berarti mengambil.[3] Para Fuqaha membagi kriminal kedalam dua jenis: pertama, pidana yang sangkut pautnya dengan hak Allah, dan kedua berkaitan dengan hak manusia yang mewajibkan adanya qishas. Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga yang akan penulis bahas, maka penulis akan memfokuskan pada pembahasan mengenai qishas selain pembunuhan, melainkan lebih kepada kekerasan yang tidak berakibat pada menghilangkan nyawa seseorang.
Oleh karena itu, penulis akan mencoba memberikan analisis mengenai Undang-Undang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam prespektif Hukum Keluarga Indonesia.
B.     Kerangka Teoritik
Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu mengenai analisis kritis HKI terhadap UU Penghapusan KDRT, maka dalam pembahasan analisis ini penulis menggunakan teori istihsan.
Istihsan secara harfiyah diartikan meminta berbuat kebiakanm yakni menghitung-hitung kebaikan sesuatu dan menganggapnya kebaikan. (kamus lisan a-arab).
Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:[4]
1.      Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Musytashfa Juz 1: 137, istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut akalnya.
2.      Al-muwafiq Ibnu Qudamah al-Hambali berkata: istihsan adalah suatu keadilan yang dipandang hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari alqur’an dan as-Sunnah.
3.      Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Maliki berkata: istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahataan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
4.      Menurut Hasan al-Kurkhi al-Hanafi istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
5.      Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.
Diantara beberadapa definisi di atas, definisi yang paling mengena adalah definisi yang diuangkapkan oleh madzhab Hanafi, sebab definisi tersbut dipandang yang paling memenuhi kriteria dalam mencakup seluruh macam istihsan dan mencakup pada asas inti pengertiannya. Adapun asas intinya adalah adanya diktum hukum yang menyimpang dari kaidah yang berlaku, dikarenakan ada faktor lain yang berlaku dan mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu, yang justru lebih mendekati pada tujuan syara’, dibandingkan seandainya tetap terpaku dan berpegang teguh pada kaedah tersebut. Dari urian di atas dapat diketahui bahwa istihsan hanya diambil sebagai smber hukum oleh Madzhab Hanafi dan Maliki.[5]
Pemilihan teori ini dilatar belakangi oleh keinginan penulis dalam menganalisis secara kritis kepada Undang-Undang Penghapusan KDRT menurut kajian Hukum Keluarga Indonesia, diamana kajian ini akan terfokus pada beberapa hal yang berkenaan dengan penetapan hukuman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
C.    Pembahasan
1.        Deskripsi Kekerasan
Pengertian kekerasan pada umumnya berbeda dengan kejahatan (kriminal), meskipun substansinya sama yaitu menyakiti orang lain baik itu menyakiti secara fisik maupun non fisik. Dalam hal ini penulis mencoba mengklasifikasikan pengertian kekerasan menurut Undang-Undang KDRT dan Hukum Keluarga Islam.
a.         Kekerasan Menurut UU KDRT dan Sanksi Pidana
Dalam pasal 1 kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai suatu tindakan seorang laki-laki kepada perempuan yang dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik maupun non fisik. Adanya Undang-Undang KDRT ini adalah suatu bentuk pengamalan falsafah pancasila dan UUD 1945 dalam memberikan jaminan keamanan kepada warga negara. Undang-Undang tentang penghapusan KDRT ini selain mencakup keluarga (suami, isteri, dan anak) juga menyertakan orang yang membantu dan menetap di rumah tangga tersebut, namun keikut sertaannya hanya sebatas ketika tinggal dalam rumah tangga terseut, ketika ia sudah tidak lagi berada dalam lingkup keluarga itu maka ia tidak lagi termasuk dalam ketentuan ini.
Lebih jauh lagi, kekerasan dijelaskan dalam Bab III pasal 5 sampai dengan pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan diataranya dengan cara:
1)        Kekerasan fisik, yaitu suatu kekerasan yang dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2)        Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang menimbulkan ketakutan, hilangnya kepercayaan diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, merasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3)        Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang berada dalam lingkungan rumah tangga tersebut, dan pemaksaan yang dilakukan kepada salah seorang anggota keluarga untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuam komersial atau dengan tujuan tertentu.
4)        Penelantaran rumah tangga, penelantaran ini tidak hanya berlaku pada suami melainkan semua orang yang berada dalam lingkungan rumah tangga itu dapat dikatakan menelantarkan rumah tangga jika menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan orang tersebut. Penelantaran juga berlaku pada setiap orang dalam rumah tangga itu yang memberikan batasan dan melarang orang lain untuk berkerja dengan layak, sehingga orang yang dilarang bekerja itu seakan-akan dikendalikan oleh orang lain dalam rumah tangga.
Terkait kekerasan yang telah terjadi, undang-undang ini juga mengatur tentang proses hukum, perlindungan korban, dan juga sanksi bagi pelaku tindak kekerasan. Untuk mendapatkan perlindungan ada beberapa pihak yang di sahkan oleh undang-undang yaitu:
1)        Korban atau keluarga korban
2)        Teman korban
3)        Kepolisian
4)        Relawan pendamping
5)        Pembimbing rohani
Pengajuan permohonan perlindungan ini dapat disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan, untuk kondisi tertentu kepolisian akan memberikan perlindungan yang lebih guna mengantisipasi bahaya yang akan timbul dikemudian hari. Dalam melakukan penangkapan pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga ini, kepolisian tidak diharuskan membawa surat penangkapan kepada pelaku yang telah diyakini melanggar perintah perlindungan, dalam keterangan lebih lanjut surat perintah penangkapan dapat diberikan dalam kurun waktu 1 x 24 jam. Jadi ketika melakukan penangkapan kepada terduga tidak diwajibkan menyertakan surat penangkapan, tetapi surat itu wajib diberikan setelah pelaku ditangkap.
Setelah adanya proses perlindungan dan penangkapan, maka selanjutnya UU KDRT mengatur tentang ketentuan pidana terkait kekerasan dalam rumah tangga, ketentuan ini tertuang dalam Bab III Pasal 44.
Pidana untuk kekerasan fisik paling lama adalah 5 tahun penjara atau denda paling banyak 15 juta rupiah, namun apabila kekerasan fisik ini mengakibatkan korban jatuh sakit, atau luka berat maka pidananya adalah 10 tahun penjara atau denda paling banyak 30 juta rupiah. Apabila setelah mengakibatkan jatuh sakit ataupun luka berat, kemudian korban meninggal, maka hukumannya berbeda, yaitu dipidana paling lama 15 tahun atau denda 45 juta rupiah. Namun apabila tindak kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri ataupun sebaliknya dan tidak mengakibatkan korban mengalami penyakit atau halangan melakukan aktifitas seperti biasa maka pidananya paling lama adalah 4 bulan atau denda 5 juta rupiah. Jadi pidana untuk kekerasan fisik ini dimulai dengan melihat seberapa parah atau seberapa buruk kekerasan fisik yang dilakukan pelaku terhadap korbannya, kemudian pidana penjara untuk kekerasan fisik dan mengakibatkan cidera dimulai dari kelipatan 5 tahun penjara, dan untuk denda dimulai dari kelipatan 15 juta.[6] Kematian yang dimaksudkan disini bukanlah kematian yang bersifat langsung (seketika kejadian), melainkan kematian yang bertahap (dimulai dengan penyebab), karena akan berbeda pidana bagi pelaku tindak kekerasan yang mengakibatkan korban terbunuh secara langsung saat pelaku melakukan kekerasan.
Selanjutnya adalah pidana kekerasan psikis yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga, pidana penjara untuk kekerasan ini adalah 3 tahun atau denda paling banya 9 juta rupiah. Namun bila kekerasan psikis ini tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk beraktifitas seperti biasa maka pidana penjara paling lama adalah 4 bulan dan denda paling banyak 3 juta rupiah.[7] Menurut penulis, kekerasan jenis ini mempunyai efek yang berbeda kepada korban, sebab kekerasan psikis ini lebih mengarah kepada mental seseorang, sehingga kemunkinan penyakit yang timbul lebih kecil daripada kekerasan fisik. Namun, kekerasan jenis ini memiliki akibat negatif yang membahayakan bagi korban, seperti halnya karena tekanan pikiran sehingga korban lebih memilih untuk mengakhiri hidup. Sehingga untuk pemulihan akibat kekerasan psikis perlu adanya orang lain yang mampu memberikan nasihat-nasihat atau konselor.
Untuk pidana kekerasan seksual adalah penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 36 juta rupiah, kemudian bila ada paksaan kepada orang yang tinggal di dalam rumah tangga itu (bukan keluarga) di pidana penjara paling singkat adalah 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda minimal 12 juta rupiah dan maksimal 300 juta rupiah. Apabila korban dalam kekerasan seksual ini mengalami luka yang paten (tidak dapat pulih), atau mengalami ganguan jiwa minimal selama 4 minggu secara terus-menerus atau 1 tahun tapi tidak terus menerus, keguguran hingga menyebabkan kematian pada janin, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi maka pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit 25 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah.[8]
Selain pidana yang telah diterangkan di atas, dalam hal ini hakim diberikan kewenangan menjatuhkan pidana tambahan berupa menjauhkan pelaku dari korban dalam waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, dan menetapkan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Kemudian perihal saksi untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga ini cukup satu keterangan seorang saksi korban saja dan satu bukti yang sah, berbeda halnya dengan kasus pidana yang lain, dimana untuk menjadikan seseorang dikatakan bersalah dibutuhkan minimal 2 saksi yang sah.[9]
Pemerintah Indonesia memberikan beberapa solusi terkait untuk menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga ini, salah satu usaha yang penulis angkat adalah adanya Undang-Undang KDRT dan juga menunjuk menteri pemberdayaan perempuan, dan tidak menunjuk menteri pemberdayaan laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia mencoba memberikan perlindungan yang memihak kepada wanita. Tidak hanya disitu pemerintah juga membentuk Undang-Undang Perlindungan Anak, tapi tidak membentuk Undang-Undang Perlindungan Suami/Bapak.

b.        Kekerasan Menurut Islam dan Sanksi
Dalam Islam istilah kekerasan atau kriminal disebut dengan Jinayah masdar dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah sedangkan Jinayah diartikan dengan perbuatan dosa atau perbuatan salah.[10] Orang yang berbuat jahat disebut jani dan korabannya disebut Mujna alaih.Jinayah  dalam definisisyar’i  bermakna setiap perbuatan yang diharamkan. Makna perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang dilarang syar’i karena adanya dampak negatif seperti bertentangan dengan agama, membahayakan jiwa, akal, harga diri, ataupun harta.[11]
Sedangkan dalam bahasa Indonesia jinayah disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik, atau tindak pidana. Kemudian dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHPRPA) pidana dibagi menjadi tiga macam, pembagian ini berdasarkan pada tingkat hukuman yang akan diterima pelaku, ketiga macam itu adalah: jinayah, janhah, mukhalafah. Jinayah di sini adalah jinayah yang dianggap paling membahayakan , konsekuensinya pelaku jinayah di berikan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). sedangkan janhah adalah perbuatan yang dihukum lebih dari satu minggu, tetapi tidak sampai kepada hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11 KUHP RPA). kemudian mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang hukumannya tidak melebihi satu minggu (Pasal 12 KUHP RPA).[12]
Selain kata jinayah  para fuqaha juga menggunakan kata jarimah, istilah jarimah memiliki arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian (Masdar) dengan kata asal jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah memiliki arti perbuatan yang salah, sedangkan dari segi istilah jarimah diartikan: larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir. Hukuman Had  adalah sanksi yang telah ditetapkan oleh nash, sedangkan Takzir dijatuhkan dengan pertimbangan berat dan ringannya tindakan pidana yang dilakukan, situasi dan kondisi masyarakat, serta tuntutan kepentingan umum.[13]
Terkait dengan pembahasan Hukum Pidana Islam maka ruang lingkupnya meliputi tiga masalah pokok yaitu:[14]
1)        Jarimah qisas, jarimah ini terbagi menjadi jarimah pembunuhan dan penganiayaan.
2)        Jarimah hudud, terbagi menjadi 7 macam yaitu:
a)        Az-Zina, tindak pidana berzina
b)        Al-Qadzf tindak pidana menuduh wanita muslimah berzina
c)        Syurb al-khamr tindak pidana minuman keras (memabukkan)
d)       Al-sariqah tindak pidana pencurian
e)        Al-hirabah tindak pidana perampokan/pengacau
f)         Al-riddah tindak pidana murtad
g)        Al-baghya tindak pidana pemberontakan
3)        Jarimah takzir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak tercantum secara tegas dalam nash al-Qur’an dan Hadits, sehingga dalam penetapan sanksinya diseranhkan kepada penguasa atau pemerintah setempat melalui pejabat yang diberikan kewenangan menangani masalah tersebut.
Agar pembahasan makalah ini lebih fokus, maka penulis memberikan batasan penjelasan mengenai jarimah yang di khususkan pada kekerasan yang bersifat menganiaya, bukan merupakan kekerasan yang bersifat membunuh. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Islam tidak memandang jenis kekerasan sepertihalnya UU KDRT di atas, dalam fiqh hanya dijelaskan mengenai kekerasan fisik, sementara kekerasan non fisik tidak dijelaskan dan tidak termasuk dalam jarimah.
Untuk landasan mengenai hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan dapat dipahami dari firman Allah SWT:
وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ[15]

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Jika dilihat tafsirnya, ayat ini mencela terhadap orang-orang yahudi karena telah menyeleweng dari ketentuan kitab Taurat dan mengganti hukuman pembuhnuh dari qisas menjadi diyat, dalam masalah pembunuhan yang dilakukan antara Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Tidak hanya qisas yang diganti dengan diyat, dalam kasus perzinaan orang yahudi mengganti hukum rajam dengan hukum cambuk. Sebelumnya Allah berfirman “ barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Ini dikarenakan mereka mengingkari hukum Allah secara sengaja, dan penuh pembangkangan. Sedangkan dalam ayat ini Allah berfirman “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim”. Ini dikarenakan orang yahudi tidak berlaku adil atas tindakan orang zhalim dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk menegakkan keadilan, dan memberikan pandangan yang sama antara umat manusia, namun mereka menyalahi dan berbuat zhalim.[16]
Jika diteliti ayat diatas memang tidak mengatur secara tegas tentang qisas yang berikaitan dengan penganiayaan, namun tidak ditemukan ayat al-Qur’an lain yang menjelaskan tentang qisas bagi pelaku penganiayaan ini, sehingga Jumhur Ulama seperti Ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian syafi’iyah, dan sebuah riwayat Ahmad dimana pendapat inilah yang dinilai paling tepat bahwa qisas terhadap anggota badan tetap berlaku bagi umat Islam. [17]
Meskipun tidak ada dalil al-Qur’an yang menerangkan secara jelas mengenai qisas penganiayaan, tetapi ada beberapa hadits yang dapat dijadikan dasar mengenai penganiyaan ini diantaranya adalah:
عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ حَزْمٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ إِلَى أَهْلِ اَلْيَمَنِ فَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ مَنْ اِعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ بَيِّنَةٍ, فَإِنَّهُ قَوَدٌ, إِلَّا أَنْ يَرْضَى أَوْلِيَاءُ اَلْمَقْتُولِ, وَإِنَّ فِي اَلنَّفْسِ اَلدِّيَةَ مِائَةً مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلْأَنْفِ إِذَا أُوعِبَ جَدْعُهُ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَللِّسَانِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلشَّفَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلذِّكْرِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْبَيْضَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلصُّلْبِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْعَيْنَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلرِّجْلِ اَلْوَاحِدَةِ نِصْفُ اَلدِّيَةِ, وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْجَائِفَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِنْ أَصَابِعِ اَلْيَدِ وَالرِّجْلِ عَشْرٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلسِّنِّ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ وَفِي اَلْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَإِنَّ اَلرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ, وَعَلَى أَهْلِ اَلذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ)  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاود اَلْمَرَاسِيلِ وَالنَّسَائِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ,وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَأَحْمَدُ, وَاخْتَلَفُوا فِي صِحَّتِه[18]

Dari Abu Bakar Ibnu Muhammad Ibnu Amar Ibnu Hazem, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman -dan dalam hadits itu disebutkan- "Bahwa barangsiapa yang secara nyata membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka ia harus dibunuh, kecuali ahli waris yang terbunuh rela; diyat (denda) membunuh jiwa ialah seratus unta; hidung yang dipotong habis ada diyatnya; dua buah mata ada diyatnya; lidah ada diyatnya; dua buah bibir ada diyatnya; kemaluan ada diyatnya; dua biji penis ada diyatnya; tulang belakang ada diyatnya; kaki sebelah diyatnya setengah; ubun-ubun diyatnya sepertiga; luka yang mendalam diyatnya sepertiga; pukulan yang menggeser tulang diyatnya lima belas unta; setiap jari-jari tangan dan kaki diyatnya sepuluh unta; gigi diyatnya lima unta; luka hingga tulangnya tampak diyatnya lima unta; laki-laki yang dibunuh karena membunuh seorang perempuan, bagi orang yang biasa menggunakan emas dapat membayar seribu dinar." Riwayat Abu Dawud dalam hadits-hadits mursal, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Mereka berselisih tentang shahih tidaknya hadits tersebut.

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ ص م قَالَ (هَذِهِ وَهَذِهِ سَوَاءٌ -يَعْنِي: اَلْخُنْصَرَ وَالْإِبْهَامَ)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَلِأَبِي دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيَّ: ( دِيَةُ اَلْأَصَابِعِ سَوَاءٌ, وَالْأَسْنَانُ سَوَاءٌ: اَلثَّنِيَّةُ وَالضِّرْسُ سَوَاءٌ)وَلِابْنِ حِبَّانَ :(دِيَةُ أَصَابِعِ اَلْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ سَوَاءٌ, عَشَرَةٌ مِنْ اَلْإِبِلِ لِكُلِّ إصْبَعٍ )[19] 

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ini dan ini sama saja -yaitu jari kelingking dan ibu jari-." Riwayat Bukhari. Menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi: "Denda jari sama-sama dan gigi-gigi juga sama; gigi depan dan geraham sama." Menurut Riwayat Ibnu Hibban: "Denda jari-jari kedua tangan dan kaki sama, sepuluh unta untuk setiap jari."

وَعَنْهُ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( فِي الْمَوَاضِحِ خَمْسٌ, خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ. وَالْأَرْبَعَةُ. وَزَادَ أَحْمَدُ: ( وَالْأَصَابِعُ سَوَاءٌ, كُلُّهُنَّ عَشْرٌ, عَشْرٌ مِنَ اَلْإِبِلِ )  وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ[20]

Dari dia bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Luka yang tulangnya tampak dendanya lima, yaitu lima ekor unta." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Ahmad menambahkan: "Dan jari-jari masing-masing sepuluh unta." Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.

Diyat berlaku pada penganiayaan anggota tubuh, ketentuannya adalah melihat tingkat penganiyaan yang diberikan oleh pelaku kepada korban, jika luka yang ditimbulkan dapat menyebabkan anggota tubuh yang tunggal maupun yang ganda rusak secara permanen, maka diatnya berlaku penuh. Namun bila hanya terluka sebagian saja atau hanya sebelah (organ ganda), maka hanya separuh diyat yang disepakati di sebuah tempat dan masa tertentu. Adapun diat sempurna (penuh) adalah 100 ekor unta, sedangkan setengahnya adalah 50 ekor unta.[21]
Dari penjelasan Ulama dan hadits di atas bisa dipahami bahwa Rasulullah SAW, telah mengatur tentang besarnya diyat bagi pelaku penganiyaan. Diyat disini berlaku jika pelaku kekerasan dimaafkan oleh korban atau keluarga korban. Dan jika tidak dimaafkan maka hukuman yang berlaku adalah qisas, dalam al-Mu’jam al-Wasith qisas diartikan menghukum pelaku tindak pidana sama persis dengan apa yang telah dilakukan dan tidak membayar diyat.[22]
kiranya penulis dapat meringkas ketentuan diyat berdasarkan penganiayaan yang mengakibatkan luka permanen, dengan berpatokan pada hitungan diyat penuh yaitu 100 ekor unta sebagai berikut:
1)        Diyat membunuh adalah 100 ekor unta
2)        Diyat Hidung yang terpotong habis100 ekor unta
3)        Diyat dua buah mata tiap satu bola mata 50 ekor unta
4)        Diyat lidah100 ekor unta
5)        Diyat dua buah bibir tiap satu bibir 50 ekor unta
6)        Diyat kemaluan 100 ekor unta
7)        Diyat dua biji penis masing biji 50 unta
8)        Diyat tulang belakang 100 ekor unta
9)        Diyat kaki sebelah 50 ekor unta
10)    Diyat ubun-ubun 34 ekor unta (sepertiga)
11)    Diyat luka yang mendalam 34 ekor unta (sepertiga)
12)    Diyat pukulan yang menggeser tulang 15 ekor unta
13)    Diyat setiap jari tangan dan kaki 10 ekor unta
14)    Diyat gigi 5 ekor unta
15)    Diyat luka hingga tulangnya tampak 5 ekor unta
16)    Diyat laki-laki yang dibunuh karena membunuh seorang perempuan (jika biasa menggunakan emas, maka diyatnya 1000 dinar).
Ketika Rasulullah menetapkan diyat dengan satuan denda “Unta” dilatarbelakangi oleh konteks masyarakat Arab ketika itu, dimana bentuk denda saat itu adalah unta dan memerdekaan budak, kemudian pembayaran diyat bukan hanya pembunuh tetapi keluarga pembunuh ikut membayar diyat itu. Namun tidak semua diyat pembayarannya dapat dibantu oleh kelurga, dimana pembunuhan yang dilakukan dengan kesengajaan diyat ditanggung oleh pelaku pembunuhan itu sendiri sebagai balasan dari kejahatannya. Keikut sertaan keluarga dalam pembayaran diyat ini dilatarbelakangi oleh ikatan suku yang kuat, sehingga apabila salah satu anggotanya terbunuh, semua anggota suku itu merasa dendam pada pembunuh dan juga keluarganya, sehingga Islam mengatur untuk pembayaran diyat pembunuhan yang tidak disengaja dilakukan tidak hanya oleh pembunuh melaikan semua keluarga pelaku. Lebih lanjut, mengapa harus unta yang menjadi tolak ukur diyat? Sebab unta dalam lingkungan masyarakat arab memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga diharapkan denda berupa unta ini akan memberikan keringanan kepada keluarga korban. Semantara untuk tradisi memerdekakan budak pada saat itu merupakan tujuan dari Islam untuk menghilangkan tradisi perbudakan manusia.[23]

2.        Analisis Kritis UU Penghapusan KDRT Menurut Prespektif Hukum Keluarga Islam
Undang-Undang penghapusan KDRT terbentuk dengan latar belakang untuk melindungi korban kekerasan rumah tangga, dimana hukum di Indonesia belum mengatur hal itu, sedangkan kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi dilingkungan masyarakat khususnya Indonesia. Sedangkan hukum keluarga Islam di Indonesia hanya berkaca kepada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sementara kedua yuridiksi kedua peraturan itu tidak mengatur dengan jelas mengenai hukuman bagi pelaku kekerasan rumah tangga, dalam fiqh pun kekerasan rumah tangga menjadi bagian dalam Jinayah  atau Jarimah, sehingga  muncul Fiqh Jinayah, yang khusus membahas tindak pidana dalam lingkungan Islam, dimana pembahasan Jinayah, ini bersifat menyeluruh dan berlaku kepada semua umat Islam, baik itu dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakan umum.
Kriteria kekerasan dalam UU penghapusan KDRT di klasifikasian menjadi 4 macam yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan termasuk pula penelantaran rumah tangga, ke-empat jenis ini diperinci dalam tiap pasalnya dan lengkap dengan ketentuan pidananya. Keempat jenis kekerasan ini memiliki ketentuan pidana penjara dan denda yang berbeda, sesuai dengan tingkat kekerasan yang diberikan pelaku kepada korban. Dalam Hukum Keluarga Islam, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa jinayah adalah pembahasan tindak pidana secara umum (tidak membahas jinayah dalam keluarga). Kemudian ruang lingkup hukum pidana Islam di klasifikasikan menjadi 3 macam yaitu:  Qisas,  Hudud, dan  Takzir.Dari ketiga macam ini, qisas terbagi menjadi dua yaitu: qisas pembunuhan dan penganiayaan. Sedangkan hudud terbagi menjadi 7 macam sebagaimana telah dijelaskan diatas, dan Takzir yang merupakan tindak pidana selain qisas dan hudud. Berikaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, penulis menggolongkannya dalam qisas penganiayaan.
a.         Analisis Konsep Kekerasan Menurut UU Penghapusan KDRT dan HKI
Dalam pembahasan mengenai kekerasan yang dimaksud dalam undang-undang tetang penghapusan KDRT meliputi kekerasan fisik dan non fisik, sementara dalam Islam kekerasan non fisik tidak termasuk dalam kategori kekerasan. Bahkan dalam hukum Islam cenderung lebih memihak kepada pihak laki-laki, sehingga hukum yang ada hanya seputar dzahiriyah sementara mengabaikan batiniyah. Kemudian Islam tidak memberikan klasifikasi khusus terhadap kekerasan yang dilakukan di lingkungan rumah tangga, kekerasan diterangkan secara universal, oleh karena itu dendanya juga bersifat menyeluruh, artinya berlaku bagi setiap orang Islam dan termasuk pula dalam rumah tangga.
b.        Analisis Klasifikasi Hukuman Menurut UU KDRT dan HKI
Hukuman yang ditetapkan dalam UU KDRT menyangkut dua jenis yaitu penjara dan denda. Durasi di penjara disesuaikan dengan tingkat kekerasan  yang dilakukan kepada keluarganya, maksimal kurungan penjara bagi pelaku kekerasan adalah 20 tahun penjara, dan maksimal denda 500 juta rupiah, hukuman ini telah menjadi hukuman yang dianggap paling berat menurut UU penghapusan KDRT, hukuman ini berlaku pada tindak kekerasan seksual yang mengakibatkan cacat permanen pada korban. Dalam hukum Islam, hukuman untuk kasus kekerasan ada dua jenis yaitu qisas (hukuman sama persis dengan tindakan kekerasan yang dilakukan) dan diyat (denda). hukuman paling berat adalah untuk kasus penganiayaan adalah qisas, qisas diartikan sebagai hukuman yang sama persis dengan apa yang dilakukan oleh pelaku kepada korban, semisal pelaku memotong lidah korban, maka hukuman bagi pelaku adalah dipotong lidah juga. Kemudian untuk diyat yang paling berat adalah 100 ekor unta, jika tidak ada unta maka diganti dengan harga yang senilai dengan harga unta saat itu.
Salah satu tujuan adanya hukuman adalah menjadikan jera kepada sang pelaku, dan memberikan dokitrin rasa takut bagi siapa saja yang akan melakukan tindakan pidana. Menurut penulis, kadar hukuman yang diberikan antara UU penghapusan KDRT dan Fiqh, lebih berat kadar hukuman menurut fiqh, hal ini dapat diketahui dari jenis hukuman qisas, dimana pelaku mendapatkan hukuman yang sama dengan apa yang dilkukan, tidak dengan mendekam di penjara (UU KDRT) sehingga dengan hukuman semacam ini, akan menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang akan melakukan penganiyaan.
Jika dilihat dari segi banyak sedikitnya diyat (denda) yang berlaku dalam fiqh juga sangat berbeda jauh dengan denda yang diberikan oleh UU KDRT, dalam fiqh diyat paling banyak adalah 100 ekor unta, sementara jika kita lihat lebih lanjut harga unta saat ini jika dibuat dalam satuan nilai tukar rupiah sangat besar. Pada tahun 2016 ini harga 1 ekor unta dewasa adalah 4.000 real atau sekira 14 juta rupiah.[24] Jika saja hukuman ini dibandingkan dengan denda pada UU KDRT maka perbandingannya sangat jauh, maksimal UU KDRT menetapkan denda pada kekerasan yang paling berat adalah 500 juta, sedangkan fiqh dapat dihitung 14 juta x 100 ekor unta, maka hasilnya 1,4 Milyar.
Berlanjut pada perbandingan antara hukuman qisas (fiqh) dan penjara (UU KDRT), fokus perbandingan dalam kedua jenis hukuman ini terletak pada efek jera yang ditimbulkan karena adanya kedua hukuman tersebut dan akibat-akibat lain yang akan timbul dikemudian hari. Sekilas hukuman qisas terlihat sangat kejam, tapi bukankah kekejaman itu sama dengan apa yang dilakukan kepada korban? Sedangkan hukuman penjara dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga  yang mempunyai durasi maksimal 20 tahun penjara, sekilas terlihat sangat berat. Namun sisi lain, dalam menjalani hukuman itu, pelaku masih memungkinkan mendapatkan grasi (diskon) hukuman dan pelaku tidak merasakan kekerasan atau penganiayaan sebagaimana apa yang dirasakan korban saat pelaku melakukan kekerasan. Sementara terkait hukuman UU KDRT yang menyangkut non fisik, penulis menganggap hukuman yang telah di tetapkan sudah cukup adil, karena kekerasan non fisik tidak menimbulkan luka atau cacat yang permanen sehingga dengan adanya hukuman penjara atau denda bagi pelaku sudah cukup. Untuk kekerasan non fisik ini, penulis belum menemukan referensi yang akurat dalam HKI sehingga penulis menganggap HKI tidak mengatur hukuman yang bersifat non fisik sebagaimana UU KDRT. 
c.         Analisi Kekurangan dan Kelebihan UU Penghapusan KDRT
setiap keputusan yang mengikat dan mencakup masyarakat luas tentu memiliki kekurangan dan kelebihan, adapun mengenai undang-undang ini, penulis akan memberikan analisis berupa kekurangan dan kelebihan dengan berkaca pada pengaplikasian di masyarakat.
1.      Kelebihan
a)        UU penghapusan KDRT ini mempertegas hukum di Indonesia terkait kekerasan dalam rumah tangga.
b)        UU penghapusan KDRT ini dapat memberikan jaminan perlindungan dan keadilan kepada korban.
c)        UU penghapusan KDRT ini membahas dan mengklasifikasikan kekerasan dengan lebih detail dari KUHPidana.
2.      Kekurangan
a)        Ketentuan pidana UU penghapusan KDRT ini masih tergolong ringan, sehingga banyak orang yang meremehkan hukuman dari tindak kekerasan dalam rumah tangga.
b)        UU penghapusan KDRT ini  sudah waktunya untuk di amandemen mengingat saat ini usia UU ini telah berlaku selama 12 tahun.
d.        Analisi Kekurangan dan Kelebihan HKI dalam Penanggulangan KDRT
Hukum Keluarga Islam menggunakan dasar hukum dari nash al-Qur’an dan Hadits, sehingga tidak diragukan lagi mengenai kebernarannya. Adapun terkait dengan analisis kekurangan dan kelebihan ini, penulis mefokuskan pada penerapan HKI di lingkungan masyarakat khususnya di Indonesia. 
1.        Kelebihan
a)      Ketentuan Pidana Dalam HKI dapat memberikan rasa takut kepada masyarakat untuk melakukan kekerasan, dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga.
b)      Dalam HKI banyak penafsiran hukum sehingga menjadikan hukuman lebih fleksibel dan menyesuaikan kondisi lingkungan saat pengeniayaan itu terjadi.
2.        Kekurangan
a)      Dalam HKI tidak membahas mengenai pidana terkait penganiayaan non fisik
b)      Ketentuan pidana dalam HKI mayoritas menggunakan referensi salaf, sehingga relevansi hukuman yang terkandung perlu penafsiran lebih lanjut, misalnya: masih menggunakan nilai dan satuan masyarakat arab.










Daftar Pustaka

Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Abdul Ghoffar, Cet II, Bogor; Pustaka Imam Syafi’i, 2003
Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar Muhammad al-Husaini al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, Kairo: Dar al-Salam, 2013
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, bab diyat, hadits ke 1, Surabaya: Alhidayah, tt
Luwis Ma’luf, al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1954.
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, Yogyakarta; Teras, 2009
Mudjab Mahalli, Menikah Engkau Menjadi Kaya, Cet IX, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2006.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cet XVII, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014
Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Cet I, Jakarta: Amzah, 2016.
Rachmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet I, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih bahasa, Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, Jilid IV, Cet I, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Siti soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,Cet V, (Bandung: Rafika Aditama, 2007
UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Pengahapusan KDRT.




[1] Mudjab Mahalli, Menikah Engkau Menjadi Kaya, Cet IX, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2006), 45.
[2]UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Pengahapusan KDRT, Pasal 1.
[3]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih bahasa, Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, Jilid IV, Cet I, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 271.
[4]Rachmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) 111.
[5]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cet XVII, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014) 424.
[6]UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT pasal 44 ayat 1-4.
[7]UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT pasal 45 ayat 1-2.
[8]UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT pasal 46-48.
[9]Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,Cet V, (Bandung: Rafika Aditama, 2007), 39.
[10]Luwis Ma’luf, al-Munjid,(Beirut: Dar al-Fikr, 1954) 88.
[11]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,,, 271.
[12]Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta; Teras, 2009) 3.
[13]Ibid,,,4.
[14]Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Cet I, (Jakarta: Amzah, 2016) 28.
[15]Al-Qur’an, Al-Maidah (5) ayat 45.
[16]Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Abdul Ghoffar, Cet II, (Bogor; Pustaka Imam Syafi’i, 2003) 94.
[17]Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,,, 40.
[18]Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, bab diyat, hadits ke 1, (Surabaya: Alhidayah, tt) 260.
[19]Ibid,,,. 262.
[20]Ibid,,,. 263.
[21]Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar Muhammad al-Husaini al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, (Kairo: Dar al-Salam, 2013) 568.
[22]Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,,,. 30. Lihat juga Ibrahim Anis, Abdul Halim Muntashir, dkk., al-Mu’jam al-Wasith, 740.
[23]Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesi,,,. 168.