A.
Pendahuluan
Rumah tangga merupakan sebuah lingkungan masyarakat yang paling
kecil, dengan dipimpin oleh seorang laki-laki sebagai suami yang berkewajiban
memberikan nafkah dan perlindungan kepada anak dan isterinya.Selain itu maksud
dari perkawinan adalah untuk mencapai ketenagan dan kedamaian, sekalipun
ketenangan hanya tujuan dalam satu segi, tetapi mejadi salah satu sarana
mencari keturunan yang mulia, tanpa adanya kasih sayang, kedamaian, dan
ketenangan suami isteri, maka akan sulit mencapai tujuan dari perkawinan.[1]Kekerasan
yang kerap terjadi dalam lingkungan keluarga dilatar belakangi oleh sebab yang
beragam, lebih fatalnya lagi, kekerasan yang dilakukan tidak hanya dari
golongan laki-laki (suami) kepada isterinya, melainkan tidak jarang
kekerasan itu datang dari pihak wanita (isteri) kepada suaminya. Oleh karena
itu, Indonesia memberikan beberapa aturan yang bersifat mengikat dan memaksa
sebagaimana yang tertera dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal 22 september 2004 oleh
Presiden Megawati.
Undang-Undang ini terbentuk demi menciptakan falsafah pancasila dan
UUD 1945 yaitu memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapat rasa
aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, karena kekerasan dalam rumah
tangga termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk juga kejahatan dan
diskriminasi yang harus di tiadakan.
Kekerasan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang tertama perempuan yang dapat menimbulkan kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, dan/atau penelantaran atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sedangkan yang dimaksud korban
dalam hal ini adalah orang yang
mengalami kekerasan dan/ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Untuk memberikan
perlindungan dan rasa aman perlu ada peran dari pihak keluarga, lembaga sosial,
kepolisian, advokat, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penerapan keadilan.[2]
Kemudian dalam hukum Islam istilah tindakan pidana ini dikenal
dengan Al-Jinayat merupakan bentuk jamak dari kata Jinayah. yang
berasal dari kata Jana-yajni yang berarti mengambil.[3]
Para Fuqaha membagi kriminal kedalam dua jenis: pertama, pidana yang
sangkut pautnya dengan hak Allah, dan kedua berkaitan dengan hak manusia
yang mewajibkan adanya qishas. Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah
tangga yang akan penulis bahas, maka penulis akan memfokuskan pada pembahasan
mengenai qishas selain pembunuhan, melainkan lebih kepada kekerasan yang
tidak berakibat pada menghilangkan nyawa seseorang.
Oleh karena itu, penulis akan mencoba memberikan analisis mengenai
Undang-Undang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam prespektif Hukum
Keluarga Indonesia.
B.
Kerangka Teoritik
Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu mengenai analisis kritis HKI
terhadap UU Penghapusan KDRT, maka dalam pembahasan analisis ini penulis
menggunakan teori istihsan.
Istihsan secara harfiyah diartikan meminta berbuat kebiakanm yakni
menghitung-hitung kebaikan sesuatu dan menganggapnya kebaikan. (kamus lisan
a-arab).
Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:[4]
1.
Menurut
al-Ghazali dalam kitabnya al-Musytashfa Juz 1: 137, istihsan adalah semua hal
yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut akalnya.
2.
Al-muwafiq
Ibnu Qudamah al-Hambali berkata: istihsan adalah suatu keadilan yang dipandang
hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari alqur’an dan
as-Sunnah.
3.
Abu
Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Maliki berkata: istihsan adalah pengambilan
suatu kemaslahataan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat
global.
4.
Menurut
Hasan al-Kurkhi al-Hanafi istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang
lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
5.
Sebagian
ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum
yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.
Diantara beberadapa definisi di atas, definisi yang paling mengena
adalah definisi yang diuangkapkan oleh madzhab Hanafi, sebab definisi tersbut
dipandang yang paling memenuhi kriteria dalam mencakup seluruh macam istihsan
dan mencakup pada asas inti pengertiannya. Adapun asas intinya adalah adanya
diktum hukum yang menyimpang dari kaidah yang berlaku, dikarenakan ada faktor
lain yang berlaku dan mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu,
yang justru lebih mendekati pada tujuan syara’, dibandingkan seandainya tetap
terpaku dan berpegang teguh pada kaedah tersebut. Dari urian di atas dapat
diketahui bahwa istihsan hanya diambil sebagai smber hukum oleh Madzhab Hanafi
dan Maliki.[5]
Pemilihan teori ini dilatar belakangi oleh keinginan penulis dalam
menganalisis secara kritis kepada Undang-Undang Penghapusan KDRT menurut kajian
Hukum Keluarga Indonesia, diamana kajian ini akan terfokus pada beberapa hal
yang berkenaan dengan penetapan hukuman bagi pelaku kekerasan dalam rumah
tangga.
C.
Pembahasan
1.
Deskripsi Kekerasan
Pengertian kekerasan pada umumnya berbeda dengan kejahatan
(kriminal), meskipun substansinya sama yaitu menyakiti orang lain baik itu
menyakiti secara fisik maupun non fisik. Dalam hal ini penulis mencoba
mengklasifikasikan pengertian kekerasan menurut Undang-Undang KDRT dan Hukum
Keluarga Islam.
a.
Kekerasan Menurut UU KDRT dan Sanksi Pidana
Dalam pasal 1 kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai suatu
tindakan seorang laki-laki kepada perempuan yang dapat menimbulkan kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik maupun non fisik. Adanya Undang-Undang KDRT ini
adalah suatu bentuk pengamalan falsafah pancasila dan UUD 1945 dalam memberikan
jaminan keamanan kepada warga negara. Undang-Undang tentang penghapusan KDRT
ini selain mencakup keluarga (suami, isteri, dan anak) juga menyertakan orang
yang membantu dan menetap di rumah tangga tersebut, namun keikut sertaannya
hanya sebatas ketika tinggal dalam rumah tangga terseut, ketika ia sudah tidak
lagi berada dalam lingkup keluarga itu maka ia tidak lagi termasuk dalam
ketentuan ini.
Lebih jauh lagi, kekerasan dijelaskan dalam Bab III pasal 5 sampai
dengan pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 mengenai larangan kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan diataranya dengan cara:
1)
Kekerasan
fisik, yaitu suatu kekerasan yang dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat.
2)
Kekerasan
psikis, yaitu perbuatan yang menimbulkan ketakutan, hilangnya kepercayaan diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, merasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
3)
Kekerasan
seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang berada dalam
lingkungan rumah tangga tersebut, dan pemaksaan yang dilakukan kepada salah
seorang anggota keluarga untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain
dengan tujuam komersial atau dengan tujuan tertentu.
4)
Penelantaran
rumah tangga, penelantaran ini tidak hanya berlaku pada suami melainkan semua
orang yang berada dalam lingkungan rumah tangga itu dapat dikatakan
menelantarkan rumah tangga jika menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan orang tersebut. Penelantaran juga
berlaku pada setiap orang dalam rumah tangga itu yang memberikan batasan dan
melarang orang lain untuk berkerja dengan layak, sehingga orang yang dilarang
bekerja itu seakan-akan dikendalikan oleh orang lain dalam rumah tangga.
Terkait kekerasan yang telah terjadi, undang-undang ini juga
mengatur tentang proses hukum, perlindungan korban, dan juga sanksi bagi pelaku
tindak kekerasan. Untuk mendapatkan perlindungan ada beberapa pihak yang di
sahkan oleh undang-undang yaitu:
1)
Korban
atau keluarga korban
2)
Teman
korban
3)
Kepolisian
4)
Relawan
pendamping
5)
Pembimbing
rohani
Pengajuan permohonan perlindungan ini dapat disampaikan dalam
bentuk lisan maupun tulisan, untuk kondisi tertentu kepolisian akan memberikan
perlindungan yang lebih guna mengantisipasi bahaya yang akan timbul dikemudian
hari. Dalam melakukan penangkapan pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga
ini, kepolisian tidak diharuskan membawa surat penangkapan kepada pelaku yang
telah diyakini melanggar perintah perlindungan, dalam keterangan lebih lanjut
surat perintah penangkapan dapat diberikan dalam kurun waktu 1 x 24 jam. Jadi
ketika melakukan penangkapan kepada terduga tidak diwajibkan menyertakan surat
penangkapan, tetapi surat itu wajib diberikan setelah pelaku ditangkap.
Setelah adanya proses perlindungan dan penangkapan, maka
selanjutnya UU KDRT mengatur tentang ketentuan pidana terkait kekerasan dalam
rumah tangga, ketentuan ini tertuang dalam Bab III Pasal 44.
Pidana untuk kekerasan fisik paling lama adalah 5 tahun penjara
atau denda paling banyak 15 juta rupiah, namun apabila kekerasan fisik ini
mengakibatkan korban jatuh sakit, atau luka berat maka pidananya adalah 10
tahun penjara atau denda paling banyak 30 juta rupiah. Apabila setelah
mengakibatkan jatuh sakit ataupun luka berat, kemudian korban meninggal, maka
hukumannya berbeda, yaitu dipidana paling lama 15 tahun atau denda 45 juta
rupiah. Namun apabila tindak kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap
isteri ataupun sebaliknya dan tidak mengakibatkan korban mengalami penyakit
atau halangan melakukan aktifitas seperti biasa maka pidananya paling lama
adalah 4 bulan atau denda 5 juta rupiah. Jadi pidana untuk kekerasan fisik ini
dimulai dengan melihat seberapa parah atau seberapa buruk kekerasan fisik yang
dilakukan pelaku terhadap korbannya, kemudian pidana penjara untuk kekerasan
fisik dan mengakibatkan cidera dimulai dari kelipatan 5 tahun penjara, dan
untuk denda dimulai dari kelipatan 15 juta.[6] Kematian yang dimaksudkan disini bukanlah kematian yang bersifat
langsung (seketika kejadian), melainkan kematian yang bertahap (dimulai dengan
penyebab), karena akan berbeda pidana bagi pelaku tindak kekerasan yang
mengakibatkan korban terbunuh secara langsung saat pelaku melakukan kekerasan.
Selanjutnya adalah pidana kekerasan psikis yang terjadi dalam
lingkungan rumah tangga, pidana penjara untuk kekerasan ini adalah 3 tahun atau
denda paling banya 9 juta rupiah. Namun bila kekerasan psikis ini tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk beraktifitas seperti biasa maka pidana penjara
paling lama adalah 4 bulan dan denda paling banyak 3 juta rupiah.[7]
Menurut penulis, kekerasan jenis ini mempunyai efek yang berbeda kepada korban,
sebab kekerasan psikis ini lebih mengarah kepada mental seseorang, sehingga
kemunkinan penyakit yang timbul lebih kecil daripada kekerasan fisik. Namun,
kekerasan jenis ini memiliki akibat negatif yang membahayakan bagi korban,
seperti halnya karena tekanan pikiran sehingga korban lebih memilih untuk
mengakhiri hidup. Sehingga untuk pemulihan akibat kekerasan psikis perlu adanya
orang lain yang mampu memberikan nasihat-nasihat atau konselor.
Untuk pidana kekerasan seksual adalah penjara paling lama 12 tahun
atau denda paling banyak 36 juta rupiah, kemudian bila ada paksaan kepada orang
yang tinggal di dalam rumah tangga itu (bukan keluarga) di pidana penjara
paling singkat adalah 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda minimal 12
juta rupiah dan maksimal 300 juta rupiah. Apabila korban dalam kekerasan
seksual ini mengalami luka yang paten (tidak dapat pulih), atau mengalami
ganguan jiwa minimal selama 4 minggu secara terus-menerus atau 1 tahun tapi
tidak terus menerus, keguguran hingga menyebabkan kematian pada janin, atau mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi maka pidana penjara paling singkat 5 tahun
dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit 25 juta rupiah dan paling
banyak 500 juta rupiah.[8]
Selain pidana yang telah diterangkan di atas, dalam hal ini hakim
diberikan kewenangan menjatuhkan pidana tambahan berupa menjauhkan pelaku dari
korban dalam waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, dan
menetapkan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
tertentu.
Kemudian perihal saksi untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga ini
cukup satu keterangan seorang saksi korban saja dan satu bukti yang sah,
berbeda halnya dengan kasus pidana yang lain, dimana untuk menjadikan seseorang
dikatakan bersalah dibutuhkan minimal 2 saksi yang sah.[9]
Pemerintah Indonesia memberikan beberapa solusi terkait untuk
menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga ini, salah satu usaha yang
penulis angkat adalah adanya Undang-Undang KDRT dan juga menunjuk menteri
pemberdayaan perempuan, dan tidak menunjuk menteri pemberdayaan laki-laki. Hal
ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia mencoba memberikan perlindungan
yang memihak kepada wanita. Tidak hanya disitu pemerintah juga membentuk
Undang-Undang Perlindungan Anak, tapi tidak membentuk Undang-Undang
Perlindungan Suami/Bapak.
b.
Kekerasan Menurut Islam dan Sanksi
Dalam Islam istilah kekerasan atau kriminal disebut dengan Jinayah
masdar dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa
atau salah sedangkan Jinayah diartikan dengan perbuatan dosa atau
perbuatan salah.[10]
Orang yang berbuat jahat disebut jani dan korabannya disebut Mujna
alaih.Jinayah dalam
definisisyar’i bermakna setiap perbuatan
yang diharamkan. Makna perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang
dilarang syar’i karena adanya dampak negatif seperti bertentangan dengan agama,
membahayakan jiwa, akal, harga diri, ataupun harta.[11]
Sedangkan dalam bahasa Indonesia jinayah disebut dengan
istilah peristiwa pidana, delik, atau tindak pidana. Kemudian dalam
Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHPRPA) pidana dibagi
menjadi tiga macam, pembagian ini berdasarkan pada tingkat hukuman yang akan
diterima pelaku, ketiga macam itu adalah: jinayah, janhah, mukhalafah.
Jinayah di sini adalah jinayah yang dianggap paling membahayakan ,
konsekuensinya pelaku jinayah di berikan hukuman berat, seperti hukuman
mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). sedangkan janhah
adalah perbuatan yang dihukum lebih dari satu minggu, tetapi tidak sampai
kepada hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11 KUHP RPA). kemudian mukhalafah
adalah jenis pelanggaran ringan yang hukumannya tidak melebihi satu minggu (Pasal
12 KUHP RPA).[12]
Selain kata jinayah para fuqaha juga menggunakan kata jarimah, istilah
jarimah memiliki arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari
segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan
kata jadian (Masdar) dengan kata asal jarama yang artinya berbuat
salah, sehingga jarimah memiliki arti perbuatan yang salah, sedangkan
dari segi istilah jarimah diartikan: larangan-larangan syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir. Hukuman Had
adalah sanksi yang telah ditetapkan
oleh nash, sedangkan Takzir dijatuhkan dengan pertimbangan berat
dan ringannya tindakan pidana yang dilakukan, situasi dan kondisi masyarakat,
serta tuntutan kepentingan umum.[13]
Terkait dengan pembahasan Hukum Pidana Islam maka ruang lingkupnya
meliputi tiga masalah pokok yaitu:[14]
1)
Jarimah
qisas, jarimah ini terbagi menjadi jarimah pembunuhan dan penganiayaan.
2)
Jarimah
hudud, terbagi menjadi 7 macam yaitu:
a)
Az-Zina,
tindak pidana berzina
b)
Al-Qadzf
tindak pidana menuduh wanita muslimah berzina
c)
Syurb
al-khamr tindak pidana minuman keras (memabukkan)
d)
Al-sariqah
tindak pidana pencurian
e)
Al-hirabah
tindak pidana perampokan/pengacau
f)
Al-riddah
tindak pidana murtad
g)
Al-baghya
tindak pidana pemberontakan
3)
Jarimah
takzir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak tercantum secara tegas dalam
nash al-Qur’an dan Hadits, sehingga dalam penetapan sanksinya diseranhkan
kepada penguasa atau pemerintah setempat melalui pejabat yang diberikan
kewenangan menangani masalah tersebut.
Agar pembahasan makalah ini lebih fokus, maka penulis memberikan
batasan penjelasan mengenai jarimah yang di khususkan pada kekerasan
yang bersifat menganiaya, bukan merupakan kekerasan yang bersifat membunuh.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Islam tidak memandang jenis kekerasan
sepertihalnya UU KDRT di atas, dalam fiqh hanya dijelaskan mengenai kekerasan
fisik, sementara kekerasan non fisik tidak dijelaskan dan tidak termasuk dalam jarimah.
Untuk landasan mengenai hukuman bagi pelaku tindak pidana
penganiayaan dapat dipahami dari firman Allah SWT:
وَكَتَبۡنَا
عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ
وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ
قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم
بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ[15]
Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Jika dilihat tafsirnya, ayat ini mencela
terhadap orang-orang yahudi karena telah menyeleweng dari ketentuan kitab
Taurat dan mengganti hukuman pembuhnuh dari qisas menjadi diyat, dalam masalah
pembunuhan yang dilakukan antara Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Tidak hanya
qisas yang diganti dengan diyat, dalam kasus perzinaan orang yahudi mengganti
hukum rajam dengan hukum cambuk. Sebelumnya Allah berfirman “ barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir”. Ini dikarenakan mereka mengingkari hukum Allah
secara sengaja, dan penuh pembangkangan. Sedangkan dalam ayat ini Allah
berfirman “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim”. Ini dikarenakan
orang yahudi tidak berlaku adil atas tindakan orang zhalim dalam perkara yang
telah diperintahkan Allah untuk menegakkan keadilan, dan memberikan pandangan
yang sama antara umat manusia, namun mereka menyalahi dan berbuat zhalim.[16]
Jika diteliti ayat diatas memang tidak mengatur secara tegas
tentang qisas yang berikaitan dengan penganiayaan, namun tidak ditemukan ayat
al-Qur’an lain yang menjelaskan tentang qisas bagi pelaku penganiayaan ini,
sehingga Jumhur Ulama seperti Ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian syafi’iyah,
dan sebuah riwayat Ahmad dimana pendapat inilah yang dinilai paling tepat bahwa
qisas terhadap anggota badan tetap berlaku bagi umat Islam. [17]
Meskipun tidak ada dalil al-Qur’an yang menerangkan secara jelas
mengenai qisas penganiayaan, tetapi ada beberapa hadits yang dapat dijadikan
dasar mengenai penganiyaan ini diantaranya adalah:
عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ
مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ حَزْمٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ رضي الله عنه
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ إِلَى أَهْلِ اَلْيَمَنِ فَذَكَرَ
اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ مَنْ اِعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ بَيِّنَةٍ,
فَإِنَّهُ قَوَدٌ, إِلَّا أَنْ يَرْضَى أَوْلِيَاءُ اَلْمَقْتُولِ, وَإِنَّ فِي
اَلنَّفْسِ اَلدِّيَةَ مِائَةً مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلْأَنْفِ إِذَا أُوعِبَ
جَدْعُهُ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَللِّسَانِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلشَّفَتَيْنِ
اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلذِّكْرِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْبَيْضَتَيْنِ اَلدِّيَةُ,
وَفِي اَلصُّلْبِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْعَيْنَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلرِّجْلِ
اَلْوَاحِدَةِ نِصْفُ اَلدِّيَةِ, وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي
اَلْجَائِفَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنْ
اَلْإِبِلِ, وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِنْ أَصَابِعِ اَلْيَدِ وَالرِّجْلِ عَشْرٌ
مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلسِّنِّ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ وَفِي اَلْمُوضِحَةِ
خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَإِنَّ اَلرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ, وَعَلَى
أَهْلِ اَلذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاود اَلْمَرَاسِيلِ
وَالنَّسَائِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ,وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ حِبَّانَ,
وَأَحْمَدُ, وَاخْتَلَفُوا فِي صِحَّتِه[18]
Dari
Abu Bakar Ibnu Muhammad Ibnu Amar Ibnu Hazem, dari ayahnya, dari kakeknya
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengirim
surat kepada penduduk Yaman -dan dalam hadits itu disebutkan- "Bahwa
barangsiapa yang secara nyata membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka ia
harus dibunuh, kecuali ahli waris yang terbunuh rela; diyat (denda) membunuh
jiwa ialah seratus unta; hidung yang dipotong habis ada diyatnya; dua buah mata
ada diyatnya; lidah ada diyatnya; dua buah bibir ada diyatnya; kemaluan ada
diyatnya; dua biji penis ada diyatnya; tulang belakang ada diyatnya; kaki
sebelah diyatnya setengah; ubun-ubun diyatnya sepertiga; luka yang mendalam
diyatnya sepertiga; pukulan yang menggeser tulang diyatnya lima belas unta;
setiap jari-jari tangan dan kaki diyatnya sepuluh unta; gigi diyatnya lima
unta; luka hingga tulangnya tampak diyatnya lima unta; laki-laki yang dibunuh
karena membunuh seorang perempuan, bagi orang yang biasa menggunakan emas dapat
membayar seribu dinar." Riwayat Abu Dawud dalam hadits-hadits mursal,
Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Mereka
berselisih tentang shahih tidaknya hadits tersebut.
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ ص م قَالَ (هَذِهِ وَهَذِهِ سَوَاءٌ
-يَعْنِي: اَلْخُنْصَرَ وَالْإِبْهَامَ) رَوَاهُ
اَلْبُخَارِيُّ وَلِأَبِي دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيَّ: ( دِيَةُ اَلْأَصَابِعِ
سَوَاءٌ, وَالْأَسْنَانُ سَوَاءٌ: اَلثَّنِيَّةُ وَالضِّرْسُ سَوَاءٌ)وَلِابْنِ
حِبَّانَ :(دِيَةُ أَصَابِعِ اَلْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ سَوَاءٌ, عَشَرَةٌ مِنْ
اَلْإِبِلِ لِكُلِّ إصْبَعٍ )[19]
Dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ini dan
ini sama saja -yaitu jari kelingking dan ibu jari-." Riwayat Bukhari.
Menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi: "Denda jari sama-sama dan
gigi-gigi juga sama; gigi depan dan geraham sama." Menurut Riwayat Ibnu
Hibban: "Denda jari-jari kedua tangan dan kaki sama, sepuluh unta untuk
setiap jari."
وَعَنْهُ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: ( فِي الْمَوَاضِحِ خَمْسٌ, خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ )
رَوَاهُ أَحْمَدُ. وَالْأَرْبَعَةُ. وَزَادَ أَحْمَدُ: ( وَالْأَصَابِعُ سَوَاءٌ,
كُلُّهُنَّ عَشْرٌ, عَشْرٌ مِنَ اَلْإِبِلِ ) وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ[20]
Dari
dia bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Luka yang
tulangnya tampak dendanya lima, yaitu lima ekor unta." Riwayat Ahmad dan
Imam Empat. Ahmad menambahkan: "Dan jari-jari masing-masing sepuluh
unta." Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.
Diyat
berlaku pada penganiayaan anggota tubuh, ketentuannya adalah melihat tingkat
penganiyaan yang diberikan oleh pelaku kepada korban, jika luka yang ditimbulkan dapat menyebabkan anggota tubuh yang tunggal maupun
yang ganda rusak secara permanen, maka diatnya berlaku penuh. Namun bila hanya
terluka sebagian saja atau hanya sebelah (organ ganda), maka hanya separuh
diyat yang disepakati di sebuah tempat dan masa tertentu. Adapun diat sempurna
(penuh) adalah 100 ekor unta, sedangkan setengahnya adalah 50 ekor unta.[21]
Dari penjelasan Ulama dan hadits di atas bisa dipahami bahwa
Rasulullah SAW, telah mengatur tentang besarnya diyat bagi pelaku penganiyaan.
Diyat disini berlaku jika pelaku kekerasan dimaafkan oleh korban atau keluarga
korban. Dan jika tidak dimaafkan maka hukuman yang berlaku adalah qisas, dalam
al-Mu’jam al-Wasith qisas diartikan menghukum pelaku tindak pidana sama persis
dengan apa yang telah dilakukan dan tidak membayar diyat.[22]
kiranya penulis dapat meringkas ketentuan diyat berdasarkan
penganiayaan yang mengakibatkan luka permanen, dengan berpatokan pada hitungan
diyat penuh yaitu 100 ekor unta sebagai berikut:
1)
Diyat membunuh
adalah 100 ekor unta
2)
Diyat Hidung
yang terpotong habis100 ekor unta
3)
Diyat dua buah
mata tiap satu bola mata 50 ekor unta
4)
Diyat lidah100
ekor unta
5)
Diyat dua buah
bibir tiap satu bibir 50 ekor unta
6)
Diyat kemaluan
100 ekor unta
7)
Diyat dua biji
penis masing biji 50 unta
8)
Diyat tulang
belakang 100 ekor unta
9)
Diyat kaki
sebelah 50 ekor unta
10) Diyat
ubun-ubun 34 ekor unta (sepertiga)
11) Diyat
luka yang mendalam 34 ekor unta (sepertiga)
12) Diyat
pukulan yang menggeser tulang 15 ekor unta
13) Diyat
setiap jari tangan dan kaki 10 ekor unta
14) Diyat
gigi 5 ekor unta
15) Diyat
luka hingga tulangnya tampak 5 ekor unta
16) Diyat
laki-laki yang dibunuh karena membunuh seorang perempuan (jika biasa
menggunakan emas, maka diyatnya 1000 dinar).
Ketika
Rasulullah menetapkan diyat dengan satuan denda “Unta” dilatarbelakangi oleh konteks masyarakat Arab ketika itu, dimana
bentuk denda saat itu adalah unta dan memerdekaan budak, kemudian pembayaran
diyat bukan hanya pembunuh tetapi keluarga pembunuh ikut membayar diyat itu.
Namun tidak semua diyat pembayarannya dapat dibantu oleh kelurga, dimana
pembunuhan yang dilakukan dengan kesengajaan diyat ditanggung oleh pelaku
pembunuhan itu sendiri sebagai balasan dari kejahatannya. Keikut sertaan
keluarga dalam pembayaran diyat ini dilatarbelakangi oleh ikatan suku yang
kuat, sehingga apabila salah satu anggotanya terbunuh, semua anggota suku itu
merasa dendam pada pembunuh dan juga keluarganya, sehingga Islam mengatur untuk
pembayaran diyat pembunuhan yang tidak disengaja dilakukan tidak hanya oleh
pembunuh melaikan semua keluarga pelaku. Lebih lanjut, mengapa harus unta yang
menjadi tolak ukur diyat? Sebab unta dalam lingkungan masyarakat arab memiliki
nilai ekonomis yang tinggi, sehingga diharapkan denda berupa unta ini akan
memberikan keringanan kepada keluarga korban. Semantara untuk tradisi
memerdekakan budak pada saat itu merupakan tujuan dari Islam untuk menghilangkan
tradisi perbudakan manusia.[23]
2.
Analisis Kritis UU Penghapusan KDRT Menurut Prespektif Hukum
Keluarga Islam
Undang-Undang penghapusan KDRT terbentuk dengan latar belakang
untuk melindungi korban kekerasan rumah tangga, dimana hukum di Indonesia belum
mengatur hal itu, sedangkan kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi
dilingkungan masyarakat khususnya Indonesia. Sedangkan hukum keluarga Islam di
Indonesia hanya berkaca kepada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sementara kedua yuridiksi kedua peraturan itu tidak
mengatur dengan jelas mengenai hukuman bagi pelaku kekerasan rumah tangga,
dalam fiqh pun kekerasan rumah tangga menjadi bagian dalam Jinayah atau Jarimah, sehingga muncul Fiqh Jinayah, yang khusus
membahas tindak pidana dalam lingkungan Islam, dimana pembahasan Jinayah, ini
bersifat menyeluruh dan berlaku kepada semua umat Islam, baik itu dalam
lingkungan keluarga ataupun masyarakan umum.
Kriteria kekerasan dalam UU penghapusan KDRT di klasifikasian
menjadi 4 macam yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual,
dan termasuk pula penelantaran rumah tangga, ke-empat jenis ini diperinci dalam
tiap pasalnya dan lengkap dengan ketentuan pidananya. Keempat jenis kekerasan
ini memiliki ketentuan pidana penjara dan denda yang berbeda, sesuai dengan
tingkat kekerasan yang diberikan pelaku kepada korban. Dalam Hukum Keluarga
Islam, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa jinayah adalah pembahasan
tindak pidana secara umum (tidak membahas jinayah dalam keluarga). Kemudian ruang
lingkup hukum pidana Islam di klasifikasikan menjadi 3 macam yaitu: Qisas,
Hudud, dan Takzir.Dari ketiga
macam ini, qisas terbagi menjadi dua yaitu: qisas pembunuhan dan penganiayaan.
Sedangkan hudud terbagi menjadi 7 macam sebagaimana telah dijelaskan diatas,
dan Takzir yang merupakan tindak pidana selain qisas dan hudud. Berikaitan
dengan kekerasan dalam rumah tangga, penulis menggolongkannya dalam qisas
penganiayaan.
a.
Analisis Konsep Kekerasan Menurut UU Penghapusan KDRT dan HKI
Dalam
pembahasan mengenai kekerasan yang dimaksud dalam undang-undang tetang
penghapusan KDRT meliputi kekerasan fisik dan non fisik, sementara dalam Islam
kekerasan non fisik tidak termasuk dalam kategori kekerasan. Bahkan dalam hukum
Islam cenderung lebih memihak kepada pihak laki-laki, sehingga hukum yang ada
hanya seputar dzahiriyah sementara mengabaikan batiniyah. Kemudian
Islam tidak memberikan klasifikasi khusus terhadap kekerasan yang dilakukan di
lingkungan rumah tangga, kekerasan diterangkan secara universal, oleh karena
itu dendanya juga bersifat menyeluruh, artinya berlaku bagi setiap orang Islam
dan termasuk pula dalam rumah tangga.
b.
Analisis Klasifikasi Hukuman Menurut UU KDRT dan HKI
Hukuman
yang ditetapkan dalam UU KDRT menyangkut dua jenis yaitu penjara dan denda.
Durasi di penjara disesuaikan dengan tingkat kekerasan yang dilakukan kepada keluarganya, maksimal
kurungan penjara bagi pelaku kekerasan adalah 20 tahun penjara, dan maksimal
denda 500 juta rupiah, hukuman ini telah menjadi hukuman yang dianggap paling
berat menurut UU penghapusan KDRT, hukuman ini berlaku pada tindak kekerasan
seksual yang mengakibatkan cacat permanen pada korban. Dalam hukum Islam,
hukuman untuk kasus kekerasan ada dua jenis yaitu qisas (hukuman sama persis
dengan tindakan kekerasan yang dilakukan) dan diyat (denda). hukuman paling
berat adalah untuk kasus penganiayaan adalah qisas, qisas diartikan sebagai
hukuman yang sama persis dengan apa yang dilakukan oleh pelaku kepada korban,
semisal pelaku memotong lidah korban, maka hukuman bagi pelaku adalah dipotong
lidah juga. Kemudian untuk diyat yang paling berat adalah 100 ekor unta, jika
tidak ada unta maka diganti dengan harga yang senilai dengan harga unta saat
itu.
Salah
satu tujuan adanya hukuman adalah menjadikan jera kepada sang pelaku, dan
memberikan dokitrin rasa takut bagi siapa saja yang akan melakukan tindakan
pidana. Menurut penulis, kadar hukuman yang diberikan antara UU penghapusan
KDRT dan Fiqh, lebih berat kadar hukuman menurut fiqh, hal ini dapat diketahui
dari jenis hukuman qisas, dimana pelaku mendapatkan hukuman yang sama dengan
apa yang dilkukan, tidak dengan mendekam di penjara (UU KDRT) sehingga dengan
hukuman semacam ini, akan menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang akan
melakukan penganiyaan.
Jika
dilihat dari segi banyak sedikitnya diyat (denda) yang berlaku dalam fiqh juga
sangat berbeda jauh dengan denda yang diberikan oleh UU KDRT, dalam fiqh diyat
paling banyak adalah 100 ekor unta, sementara jika kita lihat lebih lanjut
harga unta saat ini jika dibuat dalam satuan nilai tukar rupiah sangat besar.
Pada tahun 2016 ini harga 1 ekor unta dewasa adalah 4.000 real atau sekira 14
juta rupiah.[24] Jika saja hukuman ini dibandingkan dengan denda pada UU KDRT maka
perbandingannya sangat jauh, maksimal UU KDRT menetapkan denda pada kekerasan
yang paling berat adalah 500 juta, sedangkan fiqh dapat dihitung 14 juta x 100
ekor unta, maka hasilnya 1,4 Milyar.
Berlanjut
pada perbandingan antara hukuman qisas (fiqh) dan penjara (UU KDRT), fokus
perbandingan dalam kedua jenis hukuman ini terletak pada efek jera yang
ditimbulkan karena adanya kedua hukuman tersebut dan akibat-akibat lain yang
akan timbul dikemudian hari. Sekilas hukuman qisas terlihat sangat kejam, tapi
bukankah kekejaman itu sama dengan apa yang dilakukan kepada korban? Sedangkan
hukuman penjara dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mempunyai durasi maksimal 20 tahun
penjara, sekilas terlihat sangat berat. Namun sisi lain, dalam menjalani
hukuman itu, pelaku masih memungkinkan mendapatkan grasi (diskon) hukuman dan
pelaku tidak merasakan kekerasan atau penganiayaan sebagaimana apa yang
dirasakan korban saat pelaku melakukan kekerasan. Sementara terkait hukuman UU
KDRT yang menyangkut non fisik, penulis menganggap hukuman yang telah di
tetapkan sudah cukup adil, karena kekerasan non fisik tidak menimbulkan luka
atau cacat yang permanen sehingga dengan adanya hukuman penjara atau denda bagi
pelaku sudah cukup. Untuk kekerasan non fisik ini, penulis belum menemukan
referensi yang akurat dalam HKI sehingga penulis menganggap HKI tidak mengatur
hukuman yang bersifat non fisik sebagaimana UU KDRT.
c.
Analisi Kekurangan dan Kelebihan UU Penghapusan KDRT
setiap keputusan yang mengikat dan mencakup masyarakat luas tentu
memiliki kekurangan dan kelebihan, adapun mengenai undang-undang ini, penulis
akan memberikan analisis berupa kekurangan dan kelebihan dengan berkaca pada
pengaplikasian di masyarakat.
1.
Kelebihan
a)
UU
penghapusan KDRT ini mempertegas hukum di Indonesia terkait kekerasan dalam
rumah tangga.
b)
UU
penghapusan KDRT ini dapat memberikan jaminan perlindungan dan keadilan kepada
korban.
c)
UU
penghapusan KDRT ini membahas dan mengklasifikasikan kekerasan dengan lebih
detail dari KUHPidana.
2.
Kekurangan
a)
Ketentuan
pidana UU penghapusan KDRT ini masih tergolong ringan, sehingga banyak orang
yang meremehkan hukuman dari tindak kekerasan dalam rumah tangga.
b)
UU
penghapusan KDRT ini sudah waktunya
untuk di amandemen mengingat saat ini usia UU ini telah berlaku selama 12
tahun.
d.
Analisi Kekurangan dan Kelebihan HKI dalam Penanggulangan KDRT
Hukum Keluarga Islam menggunakan dasar hukum dari nash al-Qur’an
dan Hadits, sehingga tidak diragukan lagi mengenai kebernarannya. Adapun
terkait dengan analisis kekurangan dan kelebihan ini, penulis mefokuskan pada
penerapan HKI di lingkungan masyarakat khususnya di Indonesia.
1.
Kelebihan
a)
Ketentuan
Pidana Dalam HKI dapat memberikan rasa takut kepada masyarakat untuk melakukan
kekerasan, dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga.
b)
Dalam
HKI banyak penafsiran hukum sehingga menjadikan hukuman lebih fleksibel dan
menyesuaikan kondisi lingkungan saat pengeniayaan itu terjadi.
2.
Kekurangan
a)
Dalam
HKI tidak membahas mengenai pidana terkait penganiayaan non fisik
b)
Ketentuan
pidana dalam HKI mayoritas menggunakan referensi salaf, sehingga relevansi
hukuman yang terkandung perlu penafsiran lebih lanjut, misalnya: masih
menggunakan nilai dan satuan masyarakat arab.
Daftar Pustaka
Abdullah bin
Muhammad bin Abdurahman bin ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Abdul Ghoffar,
Cet II, Bogor; Pustaka Imam Syafi’i, 2003
Al-Imam
Taqiyyudin Abu Bakar Muhammad al-Husaini al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, Kairo:
Dar al-Salam, 2013
Ibnu Hajar al-Asqalani,
Bulugh al-Maram, bab diyat, hadits ke 1, Surabaya: Alhidayah, tt
Luwis Ma’luf,
al-Munjid, Beirut: Dar al-Fikr, 1954.
Makhrus Munajat,
Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, Yogyakarta; Teras, 2009
Mudjab Mahalli,
Menikah Engkau Menjadi Kaya, Cet IX, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2006.
Muhammad Abu
Zahrah, Ushul Fiqh, Cet XVII, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014
Nurul Irfan,
Hukum Pidana Islam, Cet I, Jakarta: Amzah, 2016.
Rachmat Syafi’i,
Ilmu Ushul Fiqih, Cet I, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, Alih bahasa, Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, Jilid IV, Cet I,
Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Siti soetami,
Pengantar Tata Hukum Indonesia,Cet V, (Bandung: Rafika Aditama, 2007
UU No. 23 Tahun
2004, Tentang Pengahapusan KDRT.
[1] Mudjab Mahalli, Menikah
Engkau Menjadi Kaya, Cet IX, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2006),
45.
[2]UU No. 23 Tahun 2004, Tentang
Pengahapusan KDRT, Pasal 1.
[3]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,
Alih bahasa, Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, Jilid IV, Cet I, (Jakarta: Tinta
Abadi Gemilang, 2013), 271.
[4]Rachmat Syafi’i, Ilmu Ushul
Fiqih, Cet I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) 111.
[5]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
Cet XVII, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014) 424.
[6]UU No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan KDRT pasal 44 ayat 1-4.
[7]UU No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan KDRT pasal 45 ayat 1-2.
[8]UU No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan KDRT pasal 46-48.
[9]Siti Soetami, Pengantar Tata
Hukum Indonesia,Cet V, (Bandung: Rafika Aditama, 2007), 39.
[10]Luwis Ma’luf, al-Munjid,(Beirut:
Dar al-Fikr, 1954) 88.
[11]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,,,
271.
[12]Makhrus Munajat, Hukum Pidana
Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta; Teras, 2009) 3.
[13]Ibid,,,4.
[14]Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, Cet I, (Jakarta: Amzah, 2016) 28.
[15]Al-Qur’an,
Al-Maidah (5) ayat 45.
[16]Abdullah bin Muhammad bin
Abdurahman bin ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Abdul Ghoffar,
Cet II, (Bogor; Pustaka Imam Syafi’i, 2003) 94.
[17]Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam,,, 40.
[18]Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh
al-Maram, bab diyat, hadits ke 1, (Surabaya: Alhidayah, tt) 260.
[19]Ibid,,,. 262.
[20]Ibid,,,. 263.
[21]Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar
Muhammad al-Husaini al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar, (Kairo: Dar al-Salam,
2013) 568.
[22]Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam,,,. 30. Lihat juga Ibrahim Anis, Abdul Halim Muntashir, dkk.,
al-Mu’jam al-Wasith, 740.
[23]Makhrus Munajat, Hukum Pidana
Islam di Indonesi,,,. 168.