I.
Latar belakang
Perkembangan zaman identik dengan perkembangan teknologi
dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, berbagai negara berlomba untuk mewujudkan
impian memiliki masyarakat yang sejahtera, mendapat kehidupan yang lebih layak.
Dengan berbagai cara kelompok pemerintah memberikan pelayanan untuk menjadikan
SDM yang cerdas, kreatif, dan inovatif.
Secara otomatis permasalahan yang timbul akan semakin
beragam dan dianggap permasalahan yang baru, sehingga para pakar hukum terpaksa
melakukan olah pemikiran melalui berbagai sumber dan referensi yang terpercaya
untuk mengimbangi permasalahan yang kerap timbul di era modern ini, tidak
jarang dari merekan yang berselisih paham pada suatu permasalahan sehingga
menimbulkan kesimpulan dan keputusan yang berbeda pula, perselisihan ini
cenderung di pengaruhi oleh kapasitas dan lingkungan pakar hukum tersebut.
Dalam lingkungan Islam, Hukum yang diambil selalu
bersumber dari Al-qur’an dan Al-Hadits dan selanjutnya akan mengalir bersama
para Imam Madzab kemudian terbentuklah Fiqih (klasik). Setelah memasuki abad
modern, muncul Fiqh (Kontemporer) yang digagas oleh para tokoh pemikir Islam
masa kini. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, penulis mencoba mendeskripsikan
tentang “ Hukum Islam Era Modern”
II. Rumusan Masalah
Berkaitan
dengan latar belakang yang telah kami paparkan di atas, maka fokus dari makalah
ini adalah:
A.
Bagaimana Modernisasi Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum
Adat ?
B.
Bagaimana Hukum Islam di Mesir ?
C.
Bagaimana Perkembangan Islam Pada Era Modern ?
D.
Bagaimana Ijtihad Kolektif dalam Trend Hukum Islam Era
Modern ?
III. Pembahasan
A.
Hukum Islam, Hukum Barat, Dan Hukum Adat.
Ketiga
unsur ini memiliki latar belakang pembentukan yang berbeda beda. Sistem hukum
Islam dibangun dengan landasan wahyu ilahi tradisi ketuhanan dan sangat erat
dengan nilai-nilai penghormatan terhadap kemanusiaan, yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam, originalitas
dan internalisasinya ditaati oleh seluruh umat Islam, dan hukum islam telah
melewati perjalanan sejarah yang panjang seiring perkembangan zaman.[1]
Lahirnya
hukum barat berawal dari hukum Romawi (Corpus Luris Civillis) yang kemudian
diadobsi oleh Perancis (Code Civil dan Code Commerce) dan Belanda (Burgerlijk
Wetboek, dan Wetboek van strafrecht dan Wetboek van khoopandel) dan mulai
dipaksakan penggunaannya pada bangsa Indonesia mulai Januari 1848.Sedangkan
hukum barat yang berada di Indonesia merupakan buah dari pemikiran yang
sekularis, individualis, dan hedonis yang mengagung-agungkan nilai kebebasan
manusia atas nilai-nilai ketuhanan yang tidak sesuai dengan budaya indonesia.[2]
Sistem
hukum adat dibangun dari tradisi kerakyatan yang bersumber dari nilai-nilai
kearifan lokal yang bersifat sektarian yang sangat sukar diterapkan secara umum
di seluruh lapisan masyarakat khususnya di Indonesia yang terdiri dari berbagai
macam suku dan budaya. [3]
Menurut
Harun Nasution, era Modern bermula pada abad 19, dalam abad ini kepercayaan
tradisional mulai dipertanyakan dan
mendapat tantangan serius dari peradaban barat, terutama terfokus pada dunia
Islam. Kemudian beberapa aspek agama Islam dipertanyakan yang salah satunya
terkait dengan doktrin hukum Islam, pada masa berikutnya modernitas ini
berpengaruh pada konsepsi hukum Islam. Untuk menjawab tantangan tersebut dapat
disimak melalui beberapa prinsip syari’at Islam, diataranya mengenai prinsip
yang terkait dengan ibadah dan mu’amalah. Dalam konsep ibadah, hukum asalnya adalah terlarang
terkecuali ada dalil yang mendasarinya, kemudian dalam konsep muamalah hukum
asal segala sesutu adalah boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
bahwa sesuatu itu dilarang.[4]
Berdasarkan
konsep diatas, menurut hemat penulis, modernisasi dalam Islam tidak
mempengaruhi pada konsep Ibadah, karena konsep Ibadah dalam Islam kembali
kepada nas (Al-qur’an dan Hadits) yang telah mengatur ibadah dengan jelas.
Tetapi modernisasi berpengaruh
pada sektor kegiatan mu’amalah selama konsep muamalah ini tidak bertentangan
dengan prinsip dan jiwa Islam.
Para ahli hukum terdahulu yang telah menggagas sebab konsep hukum
modern di negara-negara barat, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia
yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan barat pada umumnya, Indonesia
lebih memiliki karakteristik adat ketimuran. Hal ini dapat dilihat dari
peletakan hukum agama dan hukum negara,
kedua hukum ini berjalan berdampingan dan terus berkembang di lingkungan
masyarakat Indonesia. Kosep hukum modern dalam pandangan Max Weber yakni
memeliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Aturan-aturan hukum memiliki kualitas normatif yang umum dan lebih
abstrak
2.
Hukum modern adalah hukum positif, hasil keputusan yang diambil
secara sadar.
3.
Hukum modern diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara
dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja, dikaitkan dengan
aturan-aturan hukum yang dapar berlaku melalui pengadilan-pengadilan, bilamana
terjadi atas pelanggaran aturan-aturan tersebut.
4.
Hukum modern adalah sistematis, aturan-aturannya,
prinsip-prinsipnya, konsep-konsepnya dan doktrin-doktrinnya yang berbeda-beda.
Serta bagian hukum prosedural dan hukum meterial yang bermacam-macam,
berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem
pemikiran normatif yang logis, rasional,, atas dasar dimana semua problem
praktis bersifat hukum, pada prinsipnya dapat dipecahkan menurut hukum.
5.
Hukum modern adalah skular, substansinya sama sekali terpisah dari
pertimbangan keagamaan dan etis, artinya kesahian tidak lagi dari kebenaran
moralnya dan prosedur-prosedurnya dibebaskan dari arti-arti magis dan telah
menjadi upaya rasional untuk mencapai maksud-maksud yang rasional.[5]
Pembahasan modernisasi
hukum adat dapat kita sandingkan dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria,
pada pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku diatas bumi, air
dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang ini dengan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama. Kemudian menurut
Sunarti Hartono, kerangka pembangunan Sistem Hukum Nasional harus didasarkan
pada Pancasila dan UUD 1945, sehingga setiap bidang hukum yang merupakan bagian
dari Sistem Hukum Nasional harus terdiri dari sejumlah peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, maupun hukum kebiasaan, wajib bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945, karena pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan
maka unsur Hukum Adat dan unsur Hukum Agama ditransformasikan atau menjadi
bagian dari bidang-bidang hukum dalam Sistem Hukum Nasional, yang akan
berkembang dalam bidang masing-masing.[6]
Hukum Adat yang dahulu
mayioritas tidak tertulis, kini Hukum Adat menjadi bagian dari UU yang ada di
Indonesia dan menjadi pedoman yang wajib di ikuti oleh seluruh penduduk
Indonesia, dengan kata lain UU telah mengandung Hukum Adat.
B.
Hukum Islam Modern di Mesir
Periode ini merupakan
zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi napelion di mesir yang berakhir pada tahun
1801, membuka mata dunia Islam, terutama turki dan mesir, akan kemunduran dan
kelemahan umat Islam disamping kemajuan dan kekuatan barat. Raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan blance of power, yang telah pincang dan
membahayakan Islam.
Kotak Islam dengan barat
sekarang berlainan sekali dengan kotak Islam dengan barat periode klasik. Pada
waktu itu, Islam sedang menaik dan barat sedang dalam kegelapan. Sekarang
sebaliknya, Islam sedang dalam kegelapan dan barat sedang menaik. Kini, Islam
yang ingin belajar dari barat. Dengan demikian, timbulah apa yang disebut
pemikiran dan aliran pembaharuan atau mordenisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka
Islam mengeluarkan pemikmiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam
maju kembali sebagaimana yang terjadi periode klasik. Usaha-usaha kearah itu
mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Akan tetapi, dalam hal itu barat
juga bertambah maju.[7] Ide-ide
baru yang diperkenalkan napoleon di mesir adalah:
1.
Sistem negara republik
yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu.
2.
Persamaan(egalite).
3.
Kebangsaan (nation). Raja
dan para pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan keluar untuk
mengembalikan balance of power yang
telah membahayakan umat Islam.
Dalam catatan sejarah,
Mesir pernah diduduki oleh beberapa kerajaan, yaitu dimulai dari masa Fir’aun,
Yunani, dan Romawi, Al-Khulafa Ar-Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah.
Menurut A.J. Butler, pendudukn Negara/ kejaraan tersebut telah menyebabkan
Mesir jatuh dalam situasi yang tidak menguntungkan, bahkan seluruh organisasi
pemerintahan di Mesir diarahkan untuk tujuanmemeras keuntungan bangsa terjajah
untuk kepentingan penguasanya.[8]
Di satu sisi,
banyaknya Negara yang menguasai Mesir membawa nilai-nilai postif, tetapi di
pihak lain, mau tidak mau, terjadi asimilasi itu terjadi dalam aspek
perundang-undangannya. Thaha Husain menuturkan bahwa mereka yang berada dalam
roda pemerintahan Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Raja Louis di Perancis
daripada mengikuti pola Abdul Hamid di Turki. Mereka membentuk
pengadilan-pengadilan negeri dan
memberlakukan hukum Barat dari pada hukum
Islam.
Perkembangan peradilan dan perundang-undangan di Mesir
melewati tiga fase, yaitu sebelum terbentuknya Qanun Al-Mukhtalitah dan
Ahliyah. Dalam fase ini terdapat beberapa peraturan dan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Muhammad Ali dan penguasa sebelumnya, di antaranya Qanun
Al-Fallah (berkaitan dengan masalah pertanian), Qanun As-Siyasah Hammah
(mengatur hal-hal yang berrkaitan dengan adminitrasi umum, termasuk yang
menyangkut hak dan kewajiban pegawai serta sanksi hukum bagi yang melakukan
pelanggaran), Qanun Amaliyat Al-Jusur (mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
pembuatan jembatan dan pengairan), Qanun As-Siyasah Laihah, Qanun Al-Lailah As
Sa’diyah (mengatur tanah-tanah kharaj).
Berbagai
undang-undang diatas, tidak sepenuhnya berdasar syariat Islam, tetapi banyak
diwarnai oleh intervensi kebijakan penguasa dan undang-undang Perancis. Dengan
demikian, dapat dilihat betapa lemahnya peradilan pada fase ini, fana kekuasaan
peradilan banyak ditentukan oleh penguasa sehingga dalam pelaksanaannya banyak
kesimpangsiuran.mislanya, dalam menjatuhkan putusanya, hakim akan melihat
status dan kedudukan sosial seseorang.[9]
1. Fase Pembaharuan Qadha System peradilan yang berlaku pada fase pertama
banyak menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Bahkan di lingkungan
pemerintahan sendiri. Pada mas Islmail dibentuk panitiia untuk melakukan
pembaharuan system peradilan yang pada akhirnya terbentuklah Mahkamah
Al-Ahliyah pada tahun 1857. Selanjutnya pada tahun 1883, Khadewi Taufiq
meresmikan pembentukannya. Fase ini melahirkan lembaga-lembaga hukum yang
menangani beberapa kasus hukum, yaitu:
a)
Mahkamah
Mukhalitah. Menangani kasus-kasus yang terjadi antar sesama orang asing yang
mendapat hak-hak istimewa atau antar orang Mesir Mahkamah ini menangani kasus
perdata dan pidana. Secara struktual terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah
Juziyah, dan Mahkamah Isti’naf. Sidang-sidang ynag dilakukan Mahkamah ini tetap
dipimpin oleh hakim asing, sekalipun sebenarnya tidak dijumpai dictum yang
melarang hakim-hakim mesir untuk menjadi pemimpin.
b)
Mahkamah
Ahiliyah, menangani kasus-kasus hukum perdata dan pidana yang terjadi
dikalangan orang Mesir atau orang asing yang mendapat hak istimewa. Mahkamah
ini terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juziyah, Mahkamah Naqd
c)
Mahkamah Syar’iyah, hanya
menangani kasus hukum yang menyangkut ahwal Asy -Syakhsyiah, seperti nafkah,
talak, dan warits. Itu pun terbatas bagi orang-orang Mesir
beragama Islam, sedangkan bagi non muslim ditangani oleh Majelis Miliyyah.[10] Arah pembaharuan Qadha dan Qanun pada fase ini tampaknya berusaha ntuk
mewujudkan suatu hukum nasional bagi rajyat mesir dan melakukan peninjauan
terhadap hak istimewa orang asing. Sekalipun belum berhasil, pembentukan lembaga
merupakan langkah penting bagi perkembangan berikutnya.
2. Fase Setelah Penghapusan Hak-Hak Istimewa Pada tahun 1937, Mesir dan inggris mengadakan
persetujuan tentang penghapusan hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada
orang asing. Lima bulan setelah persetujuan ini, Mahkamah Qonsuliah dihapuskan
dan tugasnya dialihkan ke mahkamah mukhalitah. Pelimpahan ini hanya bersifat
sementara karena mahkamah mukhalitah juga pada perkembangan berikutnya
dihapuskan pada tahun 1949. Dengan dihapuskan dua lembaga ini, Mesir mengalami
tansisi perundang-undangan. Paling tidak mengalami perubahan yang mendasar
dalam system peradilan dan perundang-udangan. Akhirnya, pada tahun 1948
diciptakanlah perundang-undangan Mesir yang menjadikan syariat Islam sebagai
sumber resmi. Kemudian tahun 1950 ditetapkan undang-undangan hukum pidana.
Sementara yang
dijadikan sebagai sumber-sumber Qanun dan kedudukan syariat Islam di Mesir
sebagaimana yang ditetapkan pada tahun 1948 adalah:
1. Undang-undang
Al-Mukhalitah dan Al-Ahli yang pada hakikatnya berasal dari undang-undang
Perancis.
2.
Undang-undang
perdata modern.
3.
Hukum Mesir
sesuai kebutuhan Negara.
4.
Syariat Islam
sebagai hukum resmi.
Jika dilihat
diatas, tampaklah bahwa hukum Islam merupakan salah satu sumber saja dalam
pembentukan perundang-udangan perdata Mesir. Masing-masing sumber berada dalam
status yang sama. Dengan kata lain, syariat Islam tidaklah berada dalam status
yang sama. syariat Islam tidaklah lebih utama dari undang-undang yang lainnya.
Namun, keadaannya berbeda setelah tahun 1980, yaitu, prinsip-prinsip syariat
Islam merupakan sumber utama bagi perundang-undangan.[11]
Menurutnya,
dalam masyarakat Islam, pemberlakuan hukum keluarga di berbagai kawasan
mengalami beberapa fase. Fase pertama terjadi tahun 1911
sampai tahun 1950. Fase kedua terjadi tahun 1951-1970, ketika banyak Negara
muslim yang telah merdeka dan mulai menata system perundang-undangan. Pada tahun ini, Mesir selain menghapuskan
wakaf keluarga, juga menghapuskan peradilan agama pada tahun 1955-1956 dan
memberi wewenang pada peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa keluarga.
Fase ketiga terjadi dari tahun 1971-1986, pada fase ini hukum keluarga mulai
dikembangkan.
Isi hukum keluarga di Mesir, antara lain disebutkan bahwa dalam hal poligami, istri pertama dapat meminta cerai dari suaminya kalau parkawinan suaminya dengan wanita lain menyebabkan ia menderita. Istri kedua dapat meminta cerai dari suaminya jika si istri merasa tertipu. Dalam hal perceraian di Mesir, disebutkan alasannya adalah menderita penyakit menular, gila dan dipenjara lima tahun atau lebih. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan.
Isi hukum keluarga di Mesir, antara lain disebutkan bahwa dalam hal poligami, istri pertama dapat meminta cerai dari suaminya kalau parkawinan suaminya dengan wanita lain menyebabkan ia menderita. Istri kedua dapat meminta cerai dari suaminya jika si istri merasa tertipu. Dalam hal perceraian di Mesir, disebutkan alasannya adalah menderita penyakit menular, gila dan dipenjara lima tahun atau lebih. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan.
Adapun dalam hukum pidana
di Mesir diakui bahwa masih adanya kesenjangan, misalnya dalam kasus pembunuhan
sengaja, dihukumi kerja paksa seumur hidup atau terbatas. Hukum kerja paksa
itu berkisar antara 3-5 tahun. Menurut undang-undang, hukum kerja paksa
terbatas dapat diganti dengan penjara minimal 6 bulan, sedangkan orang yang
dipenjara kurang dari 1 tahun dapat dibebaskan. Akhirnya, tampak bahwa
seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja bisa bebas daria ancaman
hukuman. Menurut hukum Islam, sanksi hukuman pembunuhan dengan sengaja adalah
qishas (Al-Baqarah: 178-179). Namun, jika terdapat suatu sebab syariat yang
dapat mengalihkan hukum qishas, dikenakan diyat atau ta’zir. Dalam hal ini,
meskipun terjadi perubahan hukuman, pelaku pembunuhan dengan sengaja tidak
bebas dari sanksi hukum. Faktor-faktor yang menyebabkan agama Islam dapat berkembang cepat di
indonesia adalah:
1.
Syarat untuk masuk agama
Islam sangat mudah.
2.
Agama Islam tidak mengenal
kasta.
3.
Penyebaran agama Islam
dilakukan dengan damai.
4.
Sifat bangsa indonesia
yang ramah tamah.
5.
Upacara-upacara keagamaan
Islam lebih sederhana.
C.
Perkembangan Islam Pada Masa Modern.
1.
Pada
Bidang Ilmu Pengetahuan
Ajaran Islam mendapat
respon yang positif dari zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800
M) hinggah periode Islam. Jatuhnya mesir ke tangan barat menyadarkan umat Islam
bahwa di barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan
ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan cara
untuk meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam.
Sebenarnya pembaharu dan perkembangan ilmu pengetahuan
telah di mulai sejak periode pertengahan, terutama pada masa kerajaan usmani.
Pada abad ke-17, mulai terjadi kemunduran khususnya ditandai oleh
kekalahan-kekalahan yang di alami melalui peperangan melawan negara-negara
eropa. Peristiwa tersebut diawali dengan terpukul mundurnya tentara usmani
ketika dikirim untuk menguasai wina pada tahun 1683. Kerajaan usmani
menyerahkan hungarai kepada australia, daerah podolia kepada polandia, dan azow
kepada rusia dengan perjanjian carlowiz yang ditanda tangani tahun 1699.[12]
Kekalahan yang menyakiti
ini mendorong raja-raja dan pemuda-pemuda kerajaan usmani mengadakan berbagai
penelitian untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahn mereka dan rahasia
keunggulanlawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan eropa , terutama prancis
sebagai negara yang terkemuka usmani. Orang-orang eropa yang selama ini dipandang
sebagai kafir dan rendah mulai dihargai.
Bahkan, duta-dutapun dikiriim ke eropa untuk
mempelajari kemajuan berbagai disiplin ilmu serta suasana dari dekat. Pada
tahun 1720, celebi memed di angkat sebagai duta di prancis dengan tugas khusus
mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi
lainya mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan,dan
institusi-institusi lainya serta memberi laporan tentang kemajuan thnik,
organisasi angkatan perang modern, rumah sakit, observatorium, peraturan,
karantina, kebun binatang, adat istiadat
dan lain sebagainya seperti ia lihat di prancis. Di tahun 1741 M
anaknya, said memed dikirim pula ke prancis.
Laporan-laporan ke dua duta ini menarik perhatian sultan
ahmad III(1703-1730) untuk memulai pembaharuan di kerajaan usmani. Pada tahun
1717 M. Seorang perwira prancis bernama
de rochefart datang ke istabul dengan usul membntuk suatu korps artlti
tentara usmani berdasarkan ilmu-ilmu kemiliteran modern. Di tahun 1729, datang
lagi seorang perancis yakni comte de boneval yang kemudian masuk Islam dengan
nama baru humbaraci pasya.ia bertuga melatih tentara usmani untuk memakai
alat-alat ( meriam ) modern. Untuk menjalankan tugas ini, ia dibantu oleh
macarthy dari irlandia, ramsay dari skotlandia dan mornai dari prancis. Atau
usaha ahli-ahli eropa inila , tahtik dan tehnik militer, modern pun dimasukan
ke dalam angakatan perang usmani. Maka pada tahun 1734 M, dibuka sekolah tehnik
militer untuk pertama kalinya.[13]
2.
Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Pembaharuan
Bangsa turki tercatat
dalam sejarah Islam dengan keberhasilannya mendirikan dua dinasti turki salju
dan dinasti turki usmani. Di dunia Islam, ilmu pengetahuan medern mulai
tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak napeleon bonarparte
menduduki mesir pada tahun 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar
dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau dibawah pengaruh eropa. Akhirnya
serangan kekalahan berjalan hingga memuncak dengan jatuhnya dinasti usmani di
turki. Proses ini terutama disebabkan ali memainkan peranan penting dalam
kampanye militer melawan perancis. Ia diangkat oleh pengusaha usmani menjadi
pasya pada tahun 1805 dan memerintah mesir hingga tahun 1894.
Buku-bulu ilmu pengetahuan dalam bahasa arab diterbitkan.
Akan tetapi,saat itu terdapat kontroversial percetakan pertama yang didirikan
di mesir ditentang oleh para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit
babi. Muhammad ali pasya mendirikan beberapa sekolah tehnik dengan guru-gurunya
dari luar negaranya. Ia mengirim lebih dari 4000 pelajar ke eropa untuk
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebudayaan turki merupakan
perpaduan antara kebudayaan persia, bizantium dan arab. Dari kebudayaan persia,
mereka banyak menerima ajaran-ajaran tentang etika dan tatakrama dan teknologi.[14]
3.
Arsitektur
Arsitektur ada yang berfungsi melayani kegamaan, seperti masjid, makam,
madrasah dan ada pula yang berfunsi melayani kepentingan sekuler istana,
benteng, pasar, dan lain sebagainya.
Setelah di temukan ladang minyak pada tahun 1933, saudi
arabia tidak lagi sebagai neraga miskin tetapi termasuk salah satu negara kaya.
Dengan kekayaan yang melimah, saudi arabia banyak membangun jalan raya antar
kota, jalan kereta api antara kota riyad dengan kota pelabuahan ad-dammam di
partai teluk persia. Dibidang perhotelan telah dibangun hotel-hotel mewah
bertaraf internasioanal, antara lain terdapat di sekitar masjidil haram mekah
dan masjid nabawi madinah.[15]
Masjidil haram artinya masjid yang dihormati atau dimuliakan.
Masjid ini berbentuk empat persegi terletak di tengah-tengah kota mekah, serta
merupakan masjid tertua di dunia. Di tengah bangunan masjid itu terdapat ka’bah
yang disebut juga dengan baitullah (rumah allah) dan baitul aqiq (rumah
kemerdekaan) yang telah di tetapak sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia
dalam mengerjakan shalat. Selain itu juga terdapat hajar aswad (batu hitam yang
terletak di dinding ka’bah) makam ibrahim, hijr ismail, san sumur zamzam yang
letaknya tidak jauh dari ka’ah.
D. Ijtihad
Kolektif (Trend Hukum Islam Modern)
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah seluruh ayat dalam
al-Qur’an adalah 6236 ayat, ada juga yang berpendapat bahwa jumlah ayat pada
al-Qur’an adalah 6666 ayat.[16]Dalam hal ini menurut pendapat Abdul Wahhab Khalaf berkaitan dengan
ayat-ayat hokum tentang kemasyarakatan hanya sekitar 228 ayat.[17]
Sejalan dengan hal tersebut menurut Ibnu al-Qoyyim bahwa
hadis-hadis yang menjelaskan tentang dasar-dasar hukum (ushulal-hukm) hanya
sekitar 500 buah, ada juga yang berpendapat 1200 hadis, pendapat lain
menyebutkan ada sekitar 3000 buah hadis ahkam.[18]
Keterbatasan ayat maupun hadis yang membincang tentang hukum tersebut bukan berarti
menjadikan fikih bersifat jumud atau statis, akan tetapi justru membuka peluang
dalam hal pencarian hukum-hukum dengan menyesuaikan kondisi masyarakat pada suatu
waktu tertentu, yang berarti ada sebuah kelonggaran untuk upaya ijtihad dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Adanya perbedaan pendapat zaman madzahib misalnya, antara
imam madzhab satu dengan yang lainnya tidak bias terhindarkan lagi. Hal itu
bias jadi akibat kondisi dan situasi yang berbeda serta wilayah mujtahidnya
yang berbeda, dan banyak dipengaruhi faktor yang lain. Misalnya, politik,
kondisi sosialma syarakat, serta pengetahuan dan referensi mujtahidnya yang
berbeda.
Dalam perkembangannya ijtihad mengalami pembaharuan-pembaharuan,
sejak zaman Nabi Muhammad, kemudianpada masa Khulafaur Rasyidin, selanjutnya
dikembangkan pada masa Imam madzhab, akan tetapi kemudian ijtihad mulai
berhenti pada zaman madzahib tersebut. Baru kemudian pada abad 14-an
muncul lagi yang salah satunya diprakarsai oleh Ibnu Taimiyah dengan Muwaffaqatsarih al-ma‟qul
li salih al-manqal-nya.[19]
Kemudian pada abad
19 muncul Jamaludin al-Afghani, seorang politikus
besar yang menyebarkan semangat pemberontakan terhadap imperialisme-kolonialisme
sebagai usaha untuk melepaskan umat
Islam dari bangsa Barat
dengan membentuk Pan-Islamisme. Setelah itu Muhammad Abduh pada akhir dan
awal abad 20, mempunyai gagasan untuk kembali pada al-Qur’an dan Hadis, karena melihat
kondisi masyarakat yang terpecah belah karena terlalu fanatik terhadap suatu madzhab
tertentu.[20]
Dalam hal ini menurut Fazlur Rahman, perlu ada sebuah upaya dari ulama
masa kini untuk melakukan aktifitas-aktifitas pemecahan masalah (ijtihad) yang
terjadi di era modern ini. Menurutnya pemahaman mengenai al-Qur’an dan hadits haruslah
sebagai sebuah petunjuk dalam pemecahan-pemecahan masalah yang diperlukan saat ini,
bukan berarti mengulang situasi masa lampau yang notabene berbeda kondisi dan situasinya.[21]
Dalam perkembangannya ijtihad mengalami modifikasi-modifikasi
seiring dengan perkembangan zaman. Di era modern ini misalnya, ijtihad dalam bentuk
kolektif yaitu ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh para ulama yang punya kompetensi
untuk melakukan pemecahan masalah dan kemudian menetapkan hukumnya, bentuk ijtihad
ini merupakan salah satu yang sangat populer saat ini. Di Indonesia sendiri,
penerapan ijtihad kolektif seringkali dilakukan terutama oleh organisasi-organisasi
kemasyarakatan semisal Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah dan juga Majelis Ulama
Indonesia.
Walaupun popular digunakan di era modern, ijtihad kolektif sejatiya
sudah ada sejak zaman sahabat. Ijtihad kolektif pada masa sahabat sebagai salah
satu cara menentukan konklusi hokum dari suatu problematika hidup yang
sedang dihadapi.[22]
Para sahabat menjadikan ijtihad kolektif sebagai salah satu cara untuk menghindari
kesalahan dalam berijtihad (ijtihad fardi/individual) meski dalam aplikasinya
seorang mujtahid tidak berdosa ketika melakukan kesalahan dalam penentuan hukum
dari suatu masalah.
Menurut Kiai Sahal Mahfudz, ijtihad kolektif harus melibatkan ulama
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda. Ijtihad kolektif juga harus
dilakukan dengan beberapa prinsip. Pertama, adalah kolektifitas yang
dibangun atas dasar niat dan ittikad mencari ridha Allah. Kedua, keputusan
yang diambil bukan untuk kepentingan pribadi atau berdasarkan hawa nafsu.
Menggali hokum betul-betul secara kolektif, tidak secara individu. Keempat, identifikasi
masalah dan solusi yang dilahirkan berdasarkan kajian kolektif dengan
mempertimbangkan seluruh disiplin ilmu dari para pakar. Kelima, individu
yang tergabung benar-benar orang yang ahli di bidangnya, sesuai dengan
permasalahan yang yangdikaji.[23]
Harus diakui bahwa persoalan
yang dihadapi oleh umat Islam
dewasainisemakin kompleks. Salah
satu di antarannya yang harus mendapatkan perhatian serius adalah masalah-masalah
kontemporer yang belum banyak disentuh oleh para ulama dulu. Oleh karena itu,
untuk menyikapi masalah itu perlu ada kesamaan dalam berpikir sehingga hasilnya
pun mudah dicerna oleh masyarakat biasa. Dengan demikian, ijtihad kolektif dalam
menyikapi permasalahan yang ada tidak dapat dinafikan dalam kehidupan kita di
masa sekarang. Cuma yang menjadi kendala adalah bagaimana cara yang efektif untuk
itu. Apakah harus dengan cara melalui lembaga
tertentu ataukah cukup dengan mengangkat masalah yang ada di depan para ulama,
kemudian dari sekian pendapat itu, disatukan sebagai hasil ijtihad kolektif atau
semacam fatwa jamai, kemudian ditangani oleh sebuah lembaga tertentu yang
secara khusus bertugas untuk mensosialisasikan kepada masyarakat secara umum.
Keberadaan lembag adalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada saat
ini memang urgen. Muhammadiyah dan NU misalnya, keduanya merupakan dua lembaga terbesar
di Indonesia saat ini. Keberadaan lembaga-lembaga seperti ini diharapkan bias menjadi
jawaban atas persoalan yang kompleks di masyarakat saat ini. Kemudian muncul tuntutan
akan pentingnya bagi Muhammadiyah dan NU untuk melakukan ijtihad kolektif sebagai
rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan dakwah Islam di Indonesia.[24]
Ijtihad kolektif ini diharapkan bisa
menjadi jembatan dari tuntutan publik yang sangat mendesak untuk mengetahui
keputusan hukum-hukum dalam masalah-masalah yang baru dan kelangkaan ulama yang
menguasai semua ilmu ijtihad. Dengan mendorong semangat forum-forum ilmiah agar
mau berpikir bagi kemaslahatan umat yang saat ini sangat dibutuhkan.
IV. Kesimpulan
1.
Modernisasi dalam hukum
Islam tidak mempengaruhi dan tidak merubah pada sekte ibadah, namun adanya
modernisasi ini mempengaruhi pada sekte mua’malah dan sosial masyarakat.
Sedangkan modernisasi hukum barat mencoba untuk memberikan suatu produk hukum
dengan mengesampingkan unsur budaya dan agama (skularisme. Dan modernisasi pada
hukum adat (Indonesia) yaitu mulai merasuk pada pasal-pasal Undang-undang yang
berlaku dalam hal ini menjadi sebuah ketetapan yang tertulis.
2.
Jadi hukum Islam di Mesir merupakan salah satu sumber dalam pembentukan
perundang-udangan perdata Mesir. Syariat Islam tidaklah lebih utama dari
undang-undang yang lainnya. Namun, keadaannya berbeda setelah tahun 1980,
yaitu, prinsip-prinsip syariat Islam merupakan sumber utama bagi
perundang-undangan.
3.
Perkembangan Islam pada abad modern ditandai dengan
perkembangan di beberapa bidang, yaitu: bidang pendidikan, bidang kebudayaan,
dan bidang pembangunan (arsitektur).
4.
Ijtihad kolektif merupakan salah satu bentuk upaya pembumian
nilai-nilai integralitas agama. Olehkarenaitu, ia merupakan suatu keharusan di
zaman ini untuk dijadikan acuan dalam setiap interaksi pemikiran dalam menyikapi
semua problematika yang dihadapi umat
Islam dewasa ini. Secara khusus ijtihad kolektif merupakan tawaran bagi para ulama yang ada di Indonesia dalam rangka
menghadapi setiap permasalahan yang semakin haris semakin kompleks. Namun demikian,
untuk lebih signifikannya wacana ini, perlu ada lembaga khusus yang
bergerak menampung semua elemen masyarakat atau ulama sehingga dengan itu
setiap persoalan yang ada nantinya benar-benar dapat disikapi secara kolektif
Daftar Pustaka
Ahmad
Junaidi, Tawaran Ijtihad
Mohammad Iqbal: Telaah Konsep Ijtihad Kolektif untuk Merespon
Anderson,
Hukum Islam di Dunia Modern, Terj, Machnun
Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994)
Darsono
Ibrahim, Tonggak Islam kebudayaan Islam, (Solo: Tiga Serngkai Pustaka
Mandiri,2008)
Dinamika Kehidupan Umat Islam, Jurnal,
(STAIN Jember, 2014), 15.
Fathurrahman Azhari, Perjalanan Ijtihad Dalam Perkembangan Fikih, Jurnal, (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari,
Banjarmasin, tt).
Fazlur
Rahman,MembukaPintuIjtihad, terjemahan, (Bandung: Pustaka, 1995), 219.
Harun
Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dari Gerakan, cet II, (jakarta:
Bulan Bintang,1990)
JumlahAyat Al-Qur’an, 6666
atau 6236, diaksespadatanggal 09 Desember 2016.
Jamal
Ma’murAsmani, MengembangkanFikihSosial KH. MA. SahalMahfudz, (Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2015),
JND
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj. Machnun Husein, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994.
Josheph
Schacht, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University
Press, 1964
Lukman
Arake, Jurnal, Ijtihad Kolektif; Sebagai
Wacana Pembumian Teks Al-Qur’an dan Hadits.
Mahmood
Tahir, Family Law Reform in the Moslem World,
(New Delhi: The Indian Law Institute, 1972)
Nasarudin
Umar. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif
keindonesiaan, integrasi Sistem Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional,
IAIN Ambon, 2014
Suchmadi,
Ketentuan Nikah Dan Poligami, Kodifikasia, Jurnal Penelitian Keagamaan Dan
Sosial Budaya, Vol. 1 No 1 Tahun 2007.
Sunaryati,
Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:
1991)
Thonthowi,
Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi Islam
Mukaddimah No. 19, (Yogyakarta: PTAIS DIY, 2005).
WahbahZuhaily,
Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, (Bairut: Dar-al-FikriBairut, 1986).
[1]
Nasarudin Umar. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif keindonesiaan, integrasi Sistem Hukum Agama
dan Sistem hukum Nasional, IAIN Ambon, 2014, 2
[4]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dari Gerakan, cet
II, (jakarta: Bulan Bintang,1990) 42.
[5]
Yasmin Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, dan
Pelaksanaannya Dalam Pengakuan Hukum Indonesia), (Bandung: Widya
Padjajaran, 1988) 2-3.
[7] Suchmadi, Ketentuan
Nikah Dan Poligami, Kodifikasia,
Jurnal Penelitian Keagamaan Dan Sosial Budaya, Vol. 1 No 1 Tahun 2007.
[10] JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern,
Terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
[11] Mahmood Tahir, Family Law Reform in the
Moslem World, (New
Delhi: The Indian Law Institute, 1972)
[15] Thonthowi, Hukum
Keluarga Islam Di Dunia Islam Kontemporer”,
Jurnal Studi Islam Mukaddimah No. 19, (Yogyakarta:
PTAIS DIY, 2005).
[16]https://mujahidintempos.wordpress.com/about/jumlah-ayat-al-quran-6666-atau-6236-2/, JumlahAyat Al-Qur’an, 6666
atau 6236, diaksespadatanggal 09 Desember 2016.
[17]FathurrahmanAzhari,
PerjalananIjtihadDalamPerkembanganFikih,Jurnal, (FakultasSyariahdanEkonomi
Islam IAIN Antasari, Banjarmasin, tt).
[18]Ibid.
Dinamika Kehidupan Umat Islam, Jurnal, (STAIN Jember, 2014), 15.
[20]Ibid,
16-17.
[23]Jamal
Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA.
Sahal Mahfudz, (Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2015), 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar