Rabu, 08 Maret 2017

hukum islam era modern

I.         Latar belakang
Perkembangan zaman identik dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, berbagai negara berlomba untuk mewujudkan impian memiliki masyarakat yang sejahtera, mendapat kehidupan yang lebih layak. Dengan berbagai cara kelompok pemerintah memberikan pelayanan untuk menjadikan SDM yang cerdas, kreatif, dan inovatif.
Secara otomatis permasalahan yang timbul akan semakin beragam dan dianggap permasalahan yang baru, sehingga para pakar hukum terpaksa melakukan olah pemikiran melalui berbagai sumber dan referensi yang terpercaya untuk mengimbangi permasalahan yang kerap timbul di era modern ini, tidak jarang dari merekan yang berselisih paham pada suatu permasalahan sehingga menimbulkan kesimpulan dan keputusan yang berbeda pula, perselisihan ini cenderung di pengaruhi oleh kapasitas dan lingkungan pakar hukum tersebut.
Dalam lingkungan Islam, Hukum yang diambil selalu bersumber dari Al-qur’an dan Al-Hadits dan selanjutnya akan mengalir bersama para Imam Madzab kemudian terbentuklah Fiqih (klasik). Setelah memasuki abad modern, muncul Fiqh (Kontemporer) yang digagas oleh para tokoh pemikir Islam masa kini. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, penulis mencoba mendeskripsikan tentang “ Hukum Islam Era Modern”     

II.      Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang telah kami paparkan di atas, maka fokus dari makalah ini adalah:
A.    Bagaimana Modernisasi Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat ?
B.     Bagaimana Hukum Islam di Mesir ?
C.     Bagaimana Perkembangan Islam Pada Era Modern ?
D.    Bagaimana Ijtihad Kolektif dalam Trend Hukum Islam Era Modern ?



III.   Pembahasan

A.    Hukum Islam, Hukum Barat, Dan Hukum Adat.
Ketiga unsur ini memiliki latar belakang pembentukan yang berbeda beda. Sistem hukum Islam dibangun dengan landasan wahyu ilahi tradisi ketuhanan dan sangat erat dengan nilai-nilai penghormatan terhadap kemanusiaan, yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam, originalitas dan internalisasinya ditaati oleh seluruh umat Islam, dan hukum islam telah melewati perjalanan sejarah yang panjang seiring perkembangan zaman.[1]
Lahirnya hukum barat berawal dari hukum Romawi (Corpus Luris Civillis) yang kemudian diadobsi oleh Perancis (Code Civil dan Code Commerce) dan Belanda (Burgerlijk Wetboek, dan Wetboek van strafrecht dan Wetboek van khoopandel) dan mulai dipaksakan penggunaannya pada bangsa Indonesia mulai Januari 1848.Sedangkan hukum barat yang berada di Indonesia merupakan buah dari pemikiran yang sekularis, individualis, dan hedonis yang mengagung-agungkan nilai kebebasan manusia atas nilai-nilai ketuhanan yang tidak sesuai dengan budaya indonesia.[2]
Sistem hukum adat dibangun dari tradisi kerakyatan yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat sektarian yang sangat sukar diterapkan secara umum di seluruh lapisan masyarakat khususnya di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. [3]
Menurut Harun Nasution, era Modern bermula pada abad 19, dalam abad ini kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan  dan mendapat tantangan serius dari peradaban barat, terutama terfokus pada dunia Islam. Kemudian beberapa aspek agama Islam dipertanyakan yang salah satunya terkait dengan doktrin hukum Islam, pada masa berikutnya modernitas ini berpengaruh pada konsepsi hukum Islam. Untuk menjawab tantangan tersebut dapat disimak melalui beberapa prinsip syari’at Islam, diataranya mengenai prinsip yang terkait dengan ibadah dan mu’amalah. Dalam konsep  ibadah, hukum asalnya adalah terlarang terkecuali ada dalil yang mendasarinya, kemudian dalam konsep muamalah hukum asal segala sesutu adalah boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang.[4]
Berdasarkan konsep diatas, menurut hemat penulis, modernisasi dalam Islam tidak mempengaruhi pada konsep Ibadah, karena konsep Ibadah dalam Islam kembali kepada nas (Al-qur’an dan Hadits) yang telah mengatur ibadah dengan jelas. Tetapi modernisasi berpengaruh pada sektor kegiatan mu’amalah selama konsep muamalah ini tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam.
Para ahli hukum terdahulu yang telah menggagas sebab konsep hukum modern di negara-negara barat, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan barat pada umumnya, Indonesia lebih memiliki karakteristik adat ketimuran. Hal ini dapat dilihat dari peletakan hukum agama dan hukum negara,  kedua hukum ini berjalan berdampingan dan terus berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia. Kosep hukum modern dalam pandangan Max Weber yakni memeliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Aturan-aturan hukum memiliki kualitas normatif yang umum dan lebih abstrak
2.      Hukum modern adalah hukum positif, hasil keputusan yang diambil secara sadar.
3.      Hukum modern diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja, dikaitkan dengan aturan-aturan hukum yang dapar berlaku melalui pengadilan-pengadilan, bilamana terjadi atas pelanggaran aturan-aturan tersebut.
4.      Hukum modern adalah sistematis, aturan-aturannya, prinsip-prinsipnya, konsep-konsepnya dan doktrin-doktrinnya yang berbeda-beda. Serta bagian hukum prosedural dan hukum meterial yang bermacam-macam, berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem pemikiran normatif yang logis, rasional,, atas dasar dimana semua problem praktis bersifat hukum, pada prinsipnya dapat dipecahkan menurut hukum.
5.      Hukum modern adalah skular, substansinya sama sekali terpisah dari pertimbangan keagamaan dan etis, artinya kesahian tidak lagi dari kebenaran moralnya dan prosedur-prosedurnya dibebaskan dari arti-arti magis dan telah menjadi upaya rasional untuk mencapai maksud-maksud yang rasional.[5]

Pembahasan modernisasi hukum adat dapat kita sandingkan dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria, pada pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku diatas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dengan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama. Kemudian menurut Sunarti Hartono, kerangka pembangunan Sistem Hukum Nasional harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, sehingga setiap bidang hukum yang merupakan bagian dari Sistem Hukum Nasional harus terdiri dari sejumlah peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, maupun hukum kebiasaan, wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, karena pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan maka unsur Hukum Adat dan unsur Hukum Agama ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum dalam Sistem Hukum Nasional, yang akan berkembang dalam bidang masing-masing.[6]
Hukum Adat yang dahulu mayioritas tidak tertulis, kini Hukum Adat menjadi bagian dari UU yang ada di Indonesia dan menjadi pedoman yang wajib di ikuti oleh seluruh penduduk Indonesia, dengan kata lain UU telah mengandung Hukum Adat.

B.     Hukum Islam Modern di Mesir
Periode ini merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi napelion di mesir yang berakhir pada tahun 1801, membuka mata dunia Islam, terutama turki dan mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam disamping kemajuan dan kekuatan barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan blance of power, yang telah pincang dan membahayakan Islam.
Kotak Islam dengan barat sekarang berlainan sekali dengan kotak Islam dengan barat periode klasik. Pada waktu itu, Islam sedang menaik dan barat sedang dalam kegelapan. Sekarang sebaliknya, Islam sedang dalam kegelapan dan barat sedang menaik. Kini, Islam yang ingin belajar dari barat. Dengan demikian, timbulah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau mordenisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikmiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagaimana yang terjadi periode klasik. Usaha-usaha kearah itu mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Akan tetapi, dalam hal itu barat juga bertambah maju.[7] Ide-ide baru yang diperkenalkan napoleon di mesir adalah:
1.      Sistem negara republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu.
2.      Persamaan(egalite).
3.      Kebangsaan (nation). Raja dan para pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan keluar untuk mengembalikan balance of power yang telah membahayakan umat Islam.
Dalam catatan sejarah, Mesir pernah diduduki oleh beberapa kerajaan, yaitu dimulai dari masa Fir’aun, Yunani, dan Romawi, Al-Khulafa Ar-Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Menurut A.J. Butler, pendudukn Negara/ kejaraan tersebut telah menyebabkan Mesir jatuh dalam situasi yang tidak menguntungkan, bahkan seluruh organisasi pemerintahan di Mesir diarahkan untuk tujuanmemeras keuntungan bangsa terjajah untuk kepentingan penguasanya.[8]
Di satu sisi, banyaknya Negara yang menguasai Mesir membawa nilai-nilai postif, tetapi di pihak lain, mau tidak mau, terjadi asimilasi itu terjadi dalam aspek perundang-undangannya. Thaha Husain menuturkan bahwa mereka yang berada dalam roda pemerintahan Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Raja Louis di Perancis daripada mengikuti pola Abdul Hamid di Turki. Mereka membentuk pengadilan-pengadilan negeri dan memberlakukan hukum Barat dari pada hukum Islam.
Perkembangan peradilan dan perundang-undangan di Mesir melewati tiga fase, yaitu sebelum terbentuknya Qanun Al-Mukhtalitah dan Ahliyah. Dalam fase ini terdapat beberapa peraturan dan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Muhammad Ali dan penguasa sebelumnya, di antaranya Qanun Al-Fallah (berkaitan dengan masalah pertanian), Qanun As-Siyasah Hammah (mengatur hal-hal yang berrkaitan dengan adminitrasi umum, termasuk yang menyangkut hak dan kewajiban pegawai serta sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran), Qanun Amaliyat Al-Jusur (mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan jembatan dan pengairan), Qanun As-Siyasah Laihah, Qanun Al-Lailah As Sa’diyah (mengatur tanah-tanah kharaj).
Berbagai undang-undang diatas, tidak sepenuhnya berdasar syariat Islam, tetapi banyak diwarnai oleh intervensi kebijakan penguasa dan undang-undang Perancis. Dengan demikian, dapat dilihat betapa lemahnya peradilan pada fase ini, fana kekuasaan peradilan banyak ditentukan oleh penguasa sehingga dalam pelaksanaannya banyak kesimpangsiuran.mislanya, dalam menjatuhkan putusanya, hakim akan melihat status dan kedudukan sosial seseorang.[9]
1.      Fase Pembaharuan Qadha System peradilan yang berlaku pada fase pertama banyak menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Bahkan di lingkungan pemerintahan sendiri. Pada mas Islmail dibentuk panitiia untuk melakukan pembaharuan system peradilan yang pada akhirnya terbentuklah Mahkamah Al-Ahliyah pada tahun 1857. Selanjutnya pada tahun 1883, Khadewi Taufiq meresmikan pembentukannya. Fase ini melahirkan lembaga-lembaga hukum yang menangani beberapa kasus hukum, yaitu:
a)         Mahkamah Mukhalitah. Menangani kasus-kasus yang terjadi antar sesama orang asing yang mendapat hak-hak istimewa atau antar orang Mesir Mahkamah ini menangani kasus perdata dan pidana. Secara struktual terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juziyah, dan Mahkamah Isti’naf. Sidang-sidang ynag dilakukan Mahkamah ini tetap dipimpin oleh hakim asing, sekalipun sebenarnya tidak dijumpai dictum yang melarang hakim-hakim mesir untuk menjadi pemimpin.
b)        Mahkamah Ahiliyah, menangani kasus-kasus hukum perdata dan pidana yang terjadi dikalangan orang Mesir atau orang asing yang mendapat hak istimewa. Mahkamah ini terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juziyah, Mahkamah Naqd
c)         Mahkamah Syar’iyah, hanya menangani kasus hukum yang menyangkut ahwal Asy -Syakhsyiah, seperti nafkah, talak, dan warits. Itu pun terbatas bagi orang-orang Mesir beragama Islam, sedangkan bagi non muslim ditangani oleh Majelis Miliyyah.[10] Arah pembaharuan Qadha dan Qanun pada fase ini tampaknya berusaha ntuk mewujudkan suatu hukum nasional bagi rajyat mesir dan melakukan peninjauan terhadap hak istimewa orang asing. Sekalipun belum berhasil, pembentukan lembaga merupakan langkah penting bagi perkembangan berikutnya.
2.      Fase Setelah Penghapusan Hak-Hak Istimewa Pada tahun 1937, Mesir dan inggris mengadakan persetujuan tentang penghapusan hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada orang asing. Lima bulan setelah persetujuan ini, Mahkamah Qonsuliah dihapuskan dan tugasnya dialihkan ke mahkamah mukhalitah. Pelimpahan ini hanya bersifat sementara karena mahkamah mukhalitah juga pada perkembangan berikutnya dihapuskan pada tahun 1949. Dengan dihapuskan dua lembaga ini, Mesir mengalami tansisi perundang-undangan. Paling tidak mengalami perubahan yang mendasar dalam system peradilan dan perundang-udangan. Akhirnya, pada tahun 1948 diciptakanlah perundang-undangan Mesir yang menjadikan syariat Islam sebagai sumber resmi. Kemudian tahun 1950 ditetapkan undang-undangan hukum pidana.
Sementara yang dijadikan sebagai sumber-sumber Qanun dan kedudukan syariat Islam di Mesir sebagaimana yang ditetapkan pada tahun 1948 adalah:
1.     Undang-undang Al-Mukhalitah dan Al-Ahli yang pada hakikatnya berasal dari undang-undang Perancis.
2.         Undang-undang perdata modern.
3.         Hukum Mesir sesuai kebutuhan Negara.
4.         Syariat Islam sebagai hukum resmi.
Jika dilihat diatas, tampaklah bahwa hukum Islam merupakan salah satu sumber saja dalam pembentukan perundang-udangan perdata Mesir. Masing-masing sumber berada dalam status yang sama. Dengan kata lain, syariat Islam tidaklah berada dalam status yang sama. syariat Islam tidaklah lebih utama dari undang-undang yang lainnya. Namun, keadaannya berbeda setelah tahun 1980, yaitu, prinsip-prinsip syariat Islam merupakan sumber utama bagi perundang-undangan.[11]
Menurutnya, dalam masyarakat Islam, pemberlakuan hukum keluarga di berbagai kawasan mengalami beberapa fase. Fase pertama terjadi tahun 1911 sampai tahun 1950. Fase kedua terjadi tahun 1951-1970, ketika banyak Negara muslim yang telah merdeka dan mulai menata system perundang-undangan. Pada tahun ini, Mesir selain menghapuskan wakaf keluarga, juga menghapuskan peradilan agama pada tahun 1955-1956 dan memberi wewenang pada peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa keluarga. Fase ketiga terjadi dari tahun 1971-1986, pada fase ini hukum keluarga mulai dikembangkan.
Isi hukum keluarga di Mesir, antara lain disebutkan bahwa dalam hal poligami, istri pertama dapat meminta cerai dari suaminya kalau parkawinan suaminya dengan wanita lain menyebabkan ia menderita. Istri kedua dapat meminta cerai dari suaminya jika si istri merasa tertipu. Dalam hal perceraian di Mesir, disebutkan alasannya adalah menderita penyakit menular, gila dan dipenjara lima tahun atau lebih. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan.
Adapun dalam hukum pidana di Mesir diakui bahwa masih adanya kesenjangan, misalnya dalam kasus pembunuhan sengaja, dihukumi kerja paksa seumur hidup atau terbatas. Hukum kerja paksa itu berkisar antara 3-5 tahun. Menurut undang-undang, hukum kerja paksa terbatas dapat diganti dengan penjara minimal 6 bulan, sedangkan orang yang dipenjara kurang dari 1 tahun dapat dibebaskan. Akhirnya, tampak bahwa seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja bisa bebas daria ancaman hukuman. Menurut hukum Islam, sanksi hukuman pembunuhan dengan sengaja adalah qishas (Al-Baqarah: 178-179). Namun, jika terdapat suatu sebab syariat yang dapat mengalihkan hukum qishas, dikenakan diyat atau ta’zir. Dalam hal ini, meskipun terjadi perubahan hukuman, pelaku pembunuhan dengan sengaja tidak bebas dari sanksi hukum. Faktor-faktor yang menyebabkan agama Islam dapat berkembang cepat di indonesia adalah:
1.         Syarat untuk masuk agama Islam sangat mudah.
2.         Agama Islam tidak mengenal kasta.
3.         Penyebaran agama Islam dilakukan dengan damai.
4.         Sifat bangsa indonesia yang ramah tamah.
5.         Upacara-upacara keagamaan Islam lebih sederhana.

C.    Perkembangan Islam Pada Masa Modern.

1.        Pada Bidang Ilmu Pengetahuan
Ajaran Islam mendapat respon yang positif dari zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) hinggah periode Islam. Jatuhnya mesir ke tangan barat menyadarkan umat Islam bahwa di barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan cara untuk meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam.
            Sebenarnya pembaharu dan perkembangan ilmu pengetahuan telah di mulai sejak periode pertengahan, terutama pada masa kerajaan usmani. Pada abad ke-17, mulai terjadi kemunduran khususnya ditandai oleh kekalahan-kekalahan yang di alami melalui peperangan melawan negara-negara eropa. Peristiwa tersebut diawali dengan terpukul mundurnya tentara usmani ketika dikirim untuk menguasai wina pada tahun 1683. Kerajaan usmani menyerahkan hungarai kepada australia, daerah podolia kepada polandia, dan azow kepada rusia dengan perjanjian carlowiz yang ditanda tangani tahun 1699.[12]
Kekalahan yang menyakiti ini mendorong raja-raja dan pemuda-pemuda kerajaan usmani mengadakan berbagai penelitian untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahn mereka dan rahasia keunggulanlawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan eropa , terutama prancis sebagai negara yang terkemuka usmani. Orang-orang eropa yang selama ini dipandang sebagai kafir dan rendah mulai dihargai.
 Bahkan, duta-dutapun dikiriim ke eropa untuk mempelajari kemajuan berbagai disiplin ilmu serta suasana dari dekat. Pada tahun 1720, celebi memed di angkat sebagai duta di prancis dengan tugas khusus mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi lainya mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan,dan institusi-institusi lainya serta memberi laporan tentang kemajuan thnik, organisasi angkatan perang modern, rumah sakit, observatorium, peraturan, karantina, kebun binatang, adat istiadat  dan lain sebagainya seperti ia lihat di prancis. Di tahun 1741 M anaknya, said memed dikirim pula ke prancis.
            Laporan-laporan ke dua duta ini menarik perhatian sultan ahmad III(1703-1730) untuk memulai pembaharuan di kerajaan usmani. Pada tahun 1717 M. Seorang perwira prancis bernama de rochefart datang ke istabul dengan usul membntuk suatu korps artlti tentara usmani berdasarkan ilmu-ilmu kemiliteran modern. Di tahun 1729, datang lagi seorang perancis yakni comte de boneval yang kemudian masuk Islam dengan nama baru humbaraci pasya.ia bertuga melatih tentara usmani untuk memakai alat-alat ( meriam ) modern. Untuk menjalankan tugas ini, ia dibantu oleh macarthy dari irlandia, ramsay dari skotlandia dan mornai dari prancis. Atau usaha ahli-ahli eropa inila , tahtik dan tehnik militer, modern pun dimasukan ke dalam angakatan perang usmani. Maka pada tahun 1734 M, dibuka sekolah tehnik militer untuk pertama kalinya.[13]

2.        Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Pembaharuan
Bangsa turki tercatat dalam sejarah Islam dengan keberhasilannya mendirikan dua dinasti turki salju dan dinasti turki usmani. Di dunia Islam, ilmu pengetahuan medern mulai tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak napeleon bonarparte menduduki mesir pada tahun 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau dibawah pengaruh eropa. Akhirnya serangan kekalahan berjalan hingga memuncak dengan jatuhnya dinasti usmani di turki. Proses ini terutama disebabkan ali memainkan peranan penting dalam kampanye militer melawan perancis. Ia diangkat oleh pengusaha usmani menjadi pasya pada tahun 1805 dan memerintah mesir hingga tahun 1894.
            Buku-bulu ilmu pengetahuan dalam bahasa arab diterbitkan. Akan tetapi,saat itu terdapat kontroversial percetakan pertama yang didirikan di mesir ditentang oleh para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Muhammad ali pasya mendirikan beberapa sekolah tehnik dengan guru-gurunya dari luar negaranya. Ia mengirim lebih dari 4000 pelajar ke eropa untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebudayaan turki merupakan perpaduan antara kebudayaan persia, bizantium dan arab. Dari kebudayaan persia, mereka banyak menerima ajaran-ajaran tentang etika dan tatakrama dan teknologi.[14]          

3.        Arsitektur
            Arsitektur ada yang berfungsi melayani kegamaan, seperti masjid, makam, madrasah dan ada pula yang berfunsi melayani kepentingan sekuler istana, benteng, pasar, dan lain sebagainya.
            Setelah di temukan ladang minyak pada tahun 1933, saudi arabia tidak lagi sebagai neraga miskin tetapi termasuk salah satu negara kaya. Dengan kekayaan yang melimah, saudi arabia banyak membangun jalan raya antar kota, jalan kereta api antara kota riyad dengan kota pelabuahan ad-dammam di partai teluk persia. Dibidang perhotelan telah dibangun hotel-hotel mewah bertaraf internasioanal, antara lain terdapat di sekitar masjidil haram mekah dan masjid nabawi madinah.[15]
            Masjidil haram artinya masjid yang dihormati atau dimuliakan. Masjid ini berbentuk empat persegi terletak di tengah-tengah kota mekah, serta merupakan masjid tertua di dunia. Di tengah bangunan masjid itu terdapat ka’bah yang disebut juga dengan baitullah (rumah allah) dan baitul aqiq (rumah kemerdekaan) yang telah di tetapak sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia dalam mengerjakan shalat. Selain itu juga terdapat hajar aswad (batu hitam yang terletak di dinding ka’bah) makam ibrahim, hijr ismail, san sumur zamzam yang letaknya tidak jauh dari ka’ah.

D.    Ijtihad Kolektif (Trend Hukum Islam Modern)
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah seluruh ayat dalam al-Qur’an adalah 6236 ayat, ada juga yang berpendapat bahwa jumlah ayat pada al-Qur’an adalah 6666 ayat.[16]Dalam hal ini menurut pendapat Abdul Wahhab Khalaf berkaitan dengan ayat-ayat hokum tentang kemasyarakatan hanya sekitar 228 ayat.[17]
Sejalan dengan hal tersebut menurut Ibnu al-Qoyyim bahwa hadis-hadis yang menjelaskan tentang dasar-dasar hukum (ushulal-hukm) hanya sekitar 500 buah, ada juga yang berpendapat 1200 hadis, pendapat lain menyebutkan ada sekitar 3000 buah hadis ahkam.[18] Keterbatasan ayat maupun hadis yang membincang tentang hukum tersebut bukan berarti menjadikan fikih bersifat jumud atau statis, akan tetapi justru membuka peluang dalam hal pencarian hukum-hukum dengan menyesuaikan kondisi masyarakat pada suatu waktu tertentu, yang berarti ada sebuah kelonggaran untuk upaya ijtihad dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Adanya perbedaan pendapat zaman madzahib misalnya, antara imam madzhab satu dengan yang lainnya tidak bias terhindarkan lagi. Hal itu bias jadi akibat kondisi dan situasi yang berbeda serta wilayah mujtahidnya yang berbeda, dan banyak dipengaruhi faktor yang lain. Misalnya, politik, kondisi sosialma syarakat, serta pengetahuan dan referensi mujtahidnya yang berbeda.
Dalam perkembangannya ijtihad mengalami pembaharuan-pembaharuan, sejak zaman Nabi Muhammad, kemudianpada masa Khulafaur Rasyidin, selanjutnya dikembangkan pada masa Imam madzhab, akan tetapi kemudian ijtihad mulai berhenti pada zaman madzahib tersebut. Baru kemudian pada abad 14-an muncul lagi yang salah satunya diprakarsai oleh Ibnu Taimiyah dengan Muwaffaqatsarih  al-ma‟qul  li  salih  al-manqal-nya.[19]
Kemudian pada abad 19 muncul Jamaludin  al-Afghani, seorang politikus besar  yang  menyebarkan semangat pemberontakan terhadap imperialisme-kolonialisme sebagai usaha untuk melepaskan umat  Islam  dari bangsa  Barat  dengan membentuk Pan-Islamisme. Setelah itu Muhammad Abduh pada akhir dan awal abad 20, mempunyai gagasan untuk kembali pada al-Qur’an dan Hadis, karena melihat kondisi masyarakat yang terpecah belah karena terlalu fanatik terhadap suatu madzhab tertentu.[20]
Dalam hal ini menurut Fazlur Rahman, perlu ada sebuah upaya dari ulama masa kini untuk melakukan aktifitas-aktifitas pemecahan masalah (ijtihad) yang terjadi di era modern ini. Menurutnya pemahaman mengenai al-Qur’an dan hadits haruslah sebagai sebuah petunjuk dalam pemecahan-pemecahan masalah yang diperlukan saat ini, bukan berarti mengulang situasi masa lampau yang notabene berbeda kondisi dan situasinya.[21]
Dalam perkembangannya ijtihad mengalami modifikasi-modifikasi seiring dengan perkembangan zaman. Di era modern ini misalnya, ijtihad dalam bentuk kolektif yaitu ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh para ulama yang punya kompetensi untuk melakukan pemecahan masalah dan kemudian menetapkan hukumnya, bentuk ijtihad ini merupakan salah satu yang sangat populer saat ini. Di Indonesia sendiri, penerapan ijtihad kolektif seringkali dilakukan terutama oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan semisal Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah dan juga Majelis Ulama Indonesia.
Walaupun popular digunakan di era modern, ijtihad kolektif sejatiya sudah ada sejak zaman sahabat. Ijtihad kolektif pada masa sahabat sebagai salah satu cara menentukan konklusi hokum dari suatu problematika hidup  yang  sedang dihadapi.[22] Para sahabat menjadikan ijtihad kolektif sebagai salah satu cara untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad  (ijtihad fardi/individual)  meski dalam aplikasinya seorang mujtahid tidak berdosa ketika melakukan kesalahan dalam penentuan hukum dari suatu masalah.
Menurut Kiai Sahal Mahfudz, ijtihad kolektif harus melibatkan ulama dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda. Ijtihad kolektif juga harus dilakukan dengan beberapa prinsip. Pertama, adalah kolektifitas yang dibangun atas dasar niat dan ittikad mencari ridha Allah. Kedua, keputusan yang diambil bukan untuk kepentingan pribadi atau berdasarkan hawa nafsu. Menggali hokum betul-betul secara kolektif, tidak secara individu. Keempat, identifikasi masalah dan solusi yang dilahirkan berdasarkan kajian kolektif dengan mempertimbangkan seluruh disiplin ilmu dari para pakar. Kelima, individu yang tergabung benar-benar orang yang ahli di bidangnya, sesuai dengan permasalahan yang yangdikaji.[23]
Harus diakui bahwa persoalan  yang  dihadapi oleh umat  Islam  dewasainisemakin kompleks.  Salah satu di antarannya yang harus mendapatkan perhatian serius adalah masalah-masalah kontemporer yang belum banyak disentuh oleh para ulama dulu. Oleh karena itu, untuk menyikapi masalah itu perlu ada kesamaan dalam berpikir sehingga hasilnya pun mudah dicerna oleh masyarakat biasa. Dengan demikian, ijtihad kolektif dalam menyikapi permasalahan yang ada tidak dapat dinafikan dalam kehidupan kita di masa sekarang. Cuma yang menjadi kendala adalah bagaimana cara yang efektif untuk itu.  Apakah harus dengan cara melalui lembaga tertentu ataukah cukup dengan mengangkat masalah yang ada di depan para ulama, kemudian dari sekian pendapat itu, disatukan sebagai hasil ijtihad kolektif atau semacam fatwa jamai, kemudian ditangani oleh sebuah lembaga tertentu yang secara khusus bertugas untuk mensosialisasikan kepada masyarakat secara umum.
Keberadaan lembag adalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada saat ini memang urgen. Muhammadiyah dan NU misalnya, keduanya merupakan dua lembaga terbesar di Indonesia saat ini. Keberadaan lembaga-lembaga seperti ini diharapkan bias menjadi jawaban atas persoalan yang kompleks di masyarakat saat ini. Kemudian muncul tuntutan akan pentingnya bagi Muhammadiyah dan NU untuk melakukan ijtihad kolektif sebagai rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan dakwah Islam di Indonesia.[24]
Ijtihad kolektif ini diharapkan bisa menjadi jembatan dari tuntutan publik yang sangat mendesak untuk mengetahui keputusan hukum-hukum dalam masalah-masalah yang baru dan kelangkaan ulama yang menguasai semua ilmu ijtihad. Dengan mendorong semangat forum-forum ilmiah agar mau berpikir bagi kemaslahatan umat yang saat ini sangat dibutuhkan.

IV.   Kesimpulan
1.        Modernisasi dalam hukum Islam tidak mempengaruhi dan tidak merubah pada sekte ibadah, namun adanya modernisasi ini mempengaruhi pada sekte mua’malah dan sosial masyarakat. Sedangkan modernisasi hukum barat mencoba untuk memberikan suatu produk hukum dengan mengesampingkan unsur budaya dan agama (skularisme. Dan modernisasi pada hukum adat (Indonesia) yaitu mulai merasuk pada pasal-pasal Undang-undang yang berlaku dalam hal ini menjadi sebuah ketetapan yang tertulis.
2.        Jadi hukum Islam di Mesir merupakan salah satu sumber dalam pembentukan perundang-udangan perdata Mesir. Syariat Islam tidaklah lebih utama dari undang-undang yang lainnya. Namun, keadaannya berbeda setelah tahun 1980, yaitu, prinsip-prinsip syariat Islam merupakan sumber utama bagi perundang-undangan.
3.        Perkembangan Islam pada abad modern ditandai dengan perkembangan di beberapa bidang, yaitu: bidang pendidikan, bidang kebudayaan, dan bidang pembangunan (arsitektur).
4.        Ijtihad kolektif merupakan salah satu bentuk upaya pembumian nilai-nilai integralitas agama. Olehkarenaitu, ia merupakan suatu keharusan di zaman ini untuk dijadikan acuan dalam setiap interaksi pemikiran dalam menyikapi semua problematika  yang  dihadapi umat  Islam dewasa ini. Secara khusus ijtihad kolektif merupakan tawaran bagi  para ulama yang ada di Indonesia dalam rangka menghadapi setiap permasalahan yang semakin haris semakin kompleks. Namun demikian, untuk lebih signifikannya wacana ini, perlu ada lembaga khusus  yang  bergerak menampung semua elemen masyarakat atau ulama sehingga dengan itu setiap persoalan yang ada nantinya benar-benar dapat disikapi secara kolektif

Daftar Pustaka

Ahmad Junaidi, Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal: Telaah Konsep Ijtihad Kolektif untuk Merespon
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj, Machnun Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994)
Darsono Ibrahim, Tonggak Islam kebudayaan Islam, (Solo: Tiga Serngkai Pustaka Mandiri,2008)
Dinamika Kehidupan Umat Islam, Jurnal, (STAIN Jember, 2014), 15.
Fathurrahman Azhari, Perjalanan Ijtihad Dalam Perkembangan Fikih, Jurnal, (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, Banjarmasin, tt).
Fazlur Rahman,MembukaPintuIjtihad, terjemahan, (Bandung: Pustaka, 1995), 219.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dari Gerakan, cet II, (jakarta: Bulan Bintang,1990)
JumlahAyat Al-Qur’an, 6666 atau 6236, diaksespadatanggal 09 Desember 2016.
Jamal Ma’murAsmani, MengembangkanFikihSosial KH. MA. SahalMahfudz, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015),
JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Josheph Schacht, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University Press, 1964
Lukman Arake,  Jurnal, Ijtihad Kolektif; Sebagai Wacana Pembumian Teks Al-Qur’an dan Hadits.
Mahmood Tahir, Family Law Reform in the Moslem World,  (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972)
Nasarudin Umar. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif  keindonesiaan, integrasi Sistem Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional, IAIN Ambon, 2014
Suchmadi, Ketentuan Nikah Dan Poligami, Kodifikasia, Jurnal Penelitian Keagamaan Dan Sosial Budaya, Vol. 1 No 1 Tahun 2007.
Sunaryati, Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: 1991)
Thonthowi, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi Islam Mukaddimah No. 19, (Yogyakarta: PTAIS DIY, 2005).
WahbahZuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, (Bairut: Dar-al-FikriBairut, 1986).




[1] Nasarudin Umar. Konsep hukum Modern: Suatu Perspektif  keindonesiaan, integrasi Sistem Hukum Agama dan Sistem hukum Nasional, IAIN Ambon, 2014, 2
[2] Ibid,,, 2.
[3] Ibid,,, 1.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dari Gerakan, cet II, (jakarta: Bulan Bintang,1990) 42.
[5] Yasmin Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, dan Pelaksanaannya Dalam Pengakuan Hukum Indonesia), (Bandung: Widya Padjajaran, 1988) 2-3.
[6] Sunaryati, Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: 1991)
[7] Suchmadi, Ketentuan Nikah Dan Poligami, Kodifikasia, Jurnal Penelitian Keagamaan Dan Sosial Budaya, Vol. 1 No 1 Tahun 2007.

[8]. Ibid


[9] Josheph Schacht, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University Press, 1964.
[10] JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

[11] Mahmood Tahir, Family Law Reform in the Moslem World,  (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972)

[12] Nurul Aen, Sejarah peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia , 2008)
[13] Darsono Ibrahim, Tonggak Islam kebudayaan Islam, (Solo: Tiga Serngkai Pustaka Mandiri,2008)
[14] Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj, Machnun Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994)
[15] Thonthowi, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi Islam Mukaddimah No. 19, (Yogyakarta: PTAIS DIY, 2005).
[16]https://mujahidintempos.wordpress.com/about/jumlah-ayat-al-quran-6666-atau-6236-2/, JumlahAyat Al-Qur’an, 6666 atau 6236, diaksespadatanggal 09 Desember 2016.
[17]FathurrahmanAzhari, PerjalananIjtihadDalamPerkembanganFikih,Jurnal, (FakultasSyariahdanEkonomi Islam IAIN Antasari, Banjarmasin, tt).
[18]Ibid.
[19]Ahmad Junaidi, Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal: Telaah Konsep Ijtihad Kolektif untuk Merespon
Dinamika Kehidupan Umat Islam, Jurnal, (STAIN Jember, 2014), 15.
[20]Ibid, 16-17.
[21]Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan, (Bandung: Pustaka, 1995), 219.
[22]Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, (Bairut: Dar-al-FikriBairut, 1986), 486.
[23]Jamal  Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudz, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), 30.
[24]Lukman Arake,  Jurnal, Ijtihad Kolektif (Sebagai Wacana Pembumian Teks Al-Qur’an danHadits), 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar