Rabu, 08 Maret 2017

tafsir ayat fasakh nikah

Nama               : Nur Afif Maftuchin Aljabar
Prodi/Kls         : Hukum Keluarga / A
Semester          : 1
Judul makalah : Fasakh Nikah
Email               : nafif253@gmail.com

A.    Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan juga merupakan awal untuk menuju kehidupan sosial di lingkungan masyarakat dengan satu tujuan perkawinan yaitu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah. Perkawinan tidak hanya mengikat antara satu orang lak-laki dengan seorang perempuan, melaikan perkawinan juga melibatkan dua keluarga bahkan lebih, karena itu jika ada permasalahan yang timbul, penyelesaian yang dilakukan haruslah mempertimbangkan kelangsungan hubungan baik dengan keluarga yang bersangkutan.
Meskipun telah diterangkan dalam pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 3 KHI tentang tujuan perkawinan, perceraian masih tetap menduduki perkara tertinggi di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini dikarenakan Islam telah memberikan hak kepada suami dan isteri untuk membubuarkan perkawinan dengan berbagai cara yang telah diatur dengan berbagai syarat yang harus terpenuhi, pembubaran ini dapat dilakukan dengan cara khulu’, talak, dan fasakh.
Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhisyarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yang meliputi: hak atas suami isteri, hak isteri terhadap suami. Termasuk di dalamnya adab suami terhadap isteri yang telah dicontohkan Rasulullah.[1]
Dalam kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena di khawatirkan dapat berakibat bahaya yang lebih besar daripada disatukan ,dan jika terus menerus dipaksa justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau balau.[2]
Dalam kajian hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum takhlifi maupun hukum wad’i bisa bernilai sah, dan bisa pula bernilai batal.[3] Kata sah berasal dari bahasa Arab “ sahih” yang secara etimologi berarti sesuatu dalam kondisi baik dan tidak tercatat. Menurut istilah Usul Fiqh kata sah digunakan kepada satu ibadah atau akan yang dilaksanakan dengan melengkapisegala syarat dan rukunnya. Kata batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bilamana satu akad tidak dinilai sah berarti batal.[4]
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjeleaskan tentang fasakh nikah yang kemudian pembahasannya diawali dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema yang ada. Dalam hal ini penulis akan memaparkan beberapa ayat dan tafsirnya yang berkaitan dengan fasakh nikah, kemudian mejelaskan pula tinjauan hukum dari Fiqh, Undang-Undang, dan juga Kompilasi Hukum Islam
A.    RumusanMasalah
Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini, adapun rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana tafsir ayat-ayat Al-Qur’an tentang Fasakh nikah?
2.      Bagaimana tinjauan Fiqh tentang Faksakh nikah?
3.      Bagaimana tinjauan KHI tentang Fasakh nikah?

B.     Pembahasan
1.        Metode Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Fasakh
Pada dasarnya tidak ada ayat Al-Qur’an menjelaskan secara langsung mengenai fasakh dalam perkawinan, melainakan Al-Qur’an menjelaskannya dengan makna yang tersirat dari beberapa ayat, sehingga untuk dapat memahami dalil ini diperlukan sabab nuzul dan berbagai hadits pendukung untuk menguatkan dasar berlakunya fasakh dalam Islam.
Untuk dapat mengetahui dasar hukum fasakh maka penulis dalam hal ini akan menggunakan metode tafsir maudhu’i (tematik). Metode tafsir maudhu’i secara bahasa maudhu’i berasal dari kata موضع yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an. Berdasarkan pengertian bahasa secara sederhana, metode tafsir maudhu’i ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdsarkan tema atau topik permasalahan.
Definisi diatas dapat dipahami bahwa sentral dari metode maudhu’i ini adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertibturunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain yang dapat memahami ayat lalu menganalisanya secara cermat dan menyeluruh[5].
Pengertian  tafsir  tematik/maudhu’i  secara  terminologis banyak  dikemukakan  oleh  para  pakar  tafsir  yang  pada  prinsipnya bermuara  pada  makna  yang  sama. Salah satunya menurut Dr. Abdul Hayyi al-Farmawi, tafsir  maudhu’i/tematik  adalah  pola  penafsiran  dengan cara  menghimpun  ayat-ayat  al-Qur’an  yang  mempunyai  tujuan yang  sama  dengan  arti  sama-sama  membicarakan  satu  topik  dan menyusun berdasarkan masa turun ayat serta memperhatikan latar belakang  sebab-sebab  turunnya,  kemudian  diberi  penjelasan, uraian, komentar dan pokok-pokok kandungan hukumannya.[6]
Dalam sebuah metode tentu ada beberapa tahapan yang harus dilalui, langkah-langkah metode maudhu’i adalah sebagai berikut:[7]
-          Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhui’i (tematik)
-          Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang terdapat pada seluruh surat al-Qur’an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat Makiyyat ataupun Madaniyyat.
-          Menentukan urutan ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya, jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu.
-          Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat – ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily)
-          Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh yang mencakup semua segi dari tema kajian.
-          Mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadits-hadits itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain untuk mempelajari tema itu.
-          Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa arab) dan shair-shair mereka dalam menjelaskan lafadz-lafadz yang tedapat pada ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
-          Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudhu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengadung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad.

2.        Ayat-Ayat Tentang Fasakh Nikah
a.      Surat Al-Baqarah Ayat 221.

وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١

221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran

Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah ayat 221.
Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Murtsid bin Abu Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke Madinah, sedang ia di masa jahiliyyah, memiliki hubungan dengan perempuan yang bernama ‘Anaq, lalu wanita itu mengunjungi Murtsid dan bertanya: tidakkah engkau masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam telah menghalangi diantarakita. Lalu wanita itu bertanya lagi, tidakkah engkau bermaksud mengawini aku?  Ia menjawab: Benar, tetapi aku akan menghadap Rasulullah SAW.  Untuk meminta izin kepadanya maka turunlah ayat ini.[8]
Muqatil bin hayyan berkata, ayat ini turun kepada Abi Martsad Al-Ghanawi. Ia meminta izin kepada Rasullullah untuk mengawini seorang perempuan musyrik yang miskin tetapi cantik, yang bernama Anaq. Abu Martsad berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku mengaguminya.” Maka turunlah ayat ini.[9]

TafsirSurat Al-Baqarah ayat 221.
a)      Yang dimaksud dengan “nikah” dalam ayat ini ialah “mengawini” bukan menyetubuhi”, sehingga dikatakan (kepadanya sebagai bantahan) bahwa memang tidak ada dalam Al-Qur’an lafal “wathi” (menyetubuh) sebab, Al-Qur’an menggunakan bahasa sindiran, dan ini diantara kehalusan lafal-lafal al-Qur’an.[10]
b)      Tentang Firman Allah “lebih baik daripada perempuan musyrikah meskipun menarik hatimu” itu suatu isyarat halus, bahwa yang harus diperhatikan dalam memilih jodoh ialah “akhlaq dan agama”, bukan kecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya. [11]
c)      Adalah sudah maklum, bahwa pengampunan itu diberikan kepada seseorang sebelum ia dimasukkan ke dalam surga oleh karena itu lafal pengampunan itu lebih dahulu dari pada lafal sua dalam ayat lain, seperti firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga” (QS. 3. 133), sedang dalam lafal ini ayat surga didahulukan daripada lafal ampunan, karena untuk menjaga bentuk “muqobalah” berhadap-hadapan dengan kata neraka, “ Mereka mengajak ku neraka sedang Allah mengajak ke surga dan pengampunan dengan izin-Nya.[12]
d)     Dalam ayat ini terdapat badi’ Muhasinat Lafdhiyah, yang disebut “Muqobalah”, yaitu disebutnya dua makna atau lebih secara berahadap-hadapan, seperti disebut lafal “amat” (hamba perempuan) berhadapan dengan lafal “abd” (hamba laki-laki) lafal “mukminah” berhadapan dengan lafal “musyrikah” dan lafal “jannah” (surga) berhadapan dengan lafal “nar” (neraka). Ini merupakan segi kebagusan adm kelembutan susunan kalimat yang menjadikan kalimat bertambahelok dan indah.[13]

Jumhur berpendapat bahwa lafal “musyrikat” tidak mencakup ahli kitab, karena Allah berfirman “orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan” (QS. 2: 105) di sini Allah meng’atafkan (mengubungkan) lafal “musyrikin” kepada lafal ahli kitab” sedang ‘ataf menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang berlainan, maka secara zahiriyah, lafal “musyrikat” tidak dapat mencakup lafal “kitabiyyat” (perempuan-perempuan ahli kitab).
Ketika ayat ini tidak mencakup ahli kitab, maka diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab. Pendapat tentang kebolehan ini diungkapkan oleh jumhur ulama dengan berlandaskan pada Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5 “ ... dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya”.[14]
Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Mak-khul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan lainnya. Menurut pendapat lain ayat al baqarah 221 ini dimaksudkan untuk orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan bukan ahli kitab secara keseluruhan. Maka pendapat ini dapat dikarakan mendukung pada pendapat yang pertama.[15]
Namun Ibn Umar tidak menyepakati hal itu dengan mengatakan :
حرم الله تعالى المشركات على المسلين, ولا أعرف شيئا من الإشراك أعظم من أن تقول المرأة: ربها عيسى, أو عبد عباد الله تعالى
Dari perbedaan ini kemudian jumhur berhujjah pada beberapa hal diantaranya yaitu :
-          Dikarenakan lafadz yang yang digunakan adalah “Musyrikat” bukanlah “kitabiyat”
-          Dengan pendapat Qatadah yang mengatakan bahwa ayat yang termaktub adalah ‘amm sedang batinnya tertuju pada wanita musyrik, tidak tertuju pada wanita ahli kitab, dan menurutnya ayat ini tidak di nasakh oleh ayat manapun.
-          Tidak diperbolehkannya menasakh ayat al-baqarah dengan ayat al-maidah dikarenakan surat al baqarah diturunkan lebih awal di madinah, sedangkan surat al maidah diturunkan ditempat lain.

Ath Thabari berkata setelah mengikuti pembicaraan ini: pendapat yang paling kuat tentang takwil ayat ini (QS. 2. 221) adalah pendapat Qatadah yang mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan firmannya: “ dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah” itu, ialah mereka yang nun ahli kitab yaitu perempuan-perempuan yang musyrikah, dan ayat tersebut dzahirnya adalah ‘amm (umum) sedang batinnya khas (khusus), tidak dinasakh oleh ayat manapun, dan bahwa perempuan-perempuan ahli kitab itu tidak tergolong di dalamnya, sebab Allah telah berfirman “dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.”(QS. 5: 5), yakni halal bagi kaum muslimin mengawini mereka sebagaimana Allah menghalalakan mereka mengawini perempuan-perempuan yang mukminah. [16]
Ayat ini menjadi salah satu dalil terjadinya fasakh karena tidak diperbolehkanya menjalin hubungan rumah tangga yang berlainan agama, begitu juga ketika salah satu dari suami atau isteri mejadi murtad, maka ikatan perkawinan dianggap fasakh (batal/putus). Namun hal ini tidak berlaku pada perempuan ahli kitab, dikarenakan pada zaman nabi Muhammad masih banyak didapati wanita-wanita ahli kitab, sedangkan di zaman sekarang, wanita ahli kitab khususnya di Indonesia tidak ditemukan. Sebab menurut penulis, bagaimana bisa dikatakan ahli kitab, sementara kitab yang mereka pelajari diragukan keasliannya.
Namun   Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.[17] Artinya wanita islam sama sekali tidak diperkenankan menikah dengan laki-laki dari agama lain dengan alasan apapun seperti yang pernah dikatakan oleh Umar ibn Khattab “ lelaki muslim boleh mengawini wanita nasrani, tetapi lelaki Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah”[18]
Hal ini juga menyangkut pada akibat dari fasakh, dimana ketika salah satu dari suami isteri telah berpindah agama, dengan otomatis tidak ada lagi kaitan hukum Islam diantara keduanya.




b.      Surat An-Nisa’ ayat23 dan 24
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣ ۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٢٤
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini memberikan penjelasan mengenai haramnya mengawini anggota keluarga, baik keluarga itu terbentuk karena kelahiran ataupun ikatan perkawinan. Kemudian timbul perbedaan beberapa ulama mengenai status anak tiri, apakah anak tiri yang di nikahi itu disyaratkan bahwa ia harus berada dalam penjagaan anak ayah tiri? Menurut jumhur ulama, hal itu tidak disyaratkan, haram bagi seorang menikahi anak tirinya, baik anak tiri itu dalam penjagaanya ataupun tidak. Menurut ahli zhahir (kaum tekstual), hal itu menjadi syarat bagi larangan tersebut, jika anak tiri tidak berada dalam penjagaan ayah tiri, maka ayah tiri halal menikahinya.[19]
Selain anak tiri perdebatan juga melibatkan anak sesusuan, yang menjadi perdebatan para ulama adalah pengertian dari “ sesusuan”, tentang bagaimana anak itu dapat dikatakan sesusuan. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Auza’I, tidak ada batasan minimal dari menyusu, seberapapun menyusunya seorang anak dengan seorang wanita, hal itu sudah menjadi haram baginya menikahi wanita tersebut. Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’I, syarat bagi haramnya menikah karena hubungan sesusuan adalah minimal 5 (lima) kali. Pendapat ini berhujjah pada hadits  Aisyah yang mengatakan bahwa sebelumnya al-Qur’an menyebutkan 10 kali menyusu yang dimaklumi, kemudian di-Mansukh menjadi 5 kali menyusu yang dimaklumi.[20]
Diterima dari Aisyah, Rasulullah SAW. Bersabda: orang-orang yang haram dinikahi karena sesusuan sama dengan orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan keturunan.[21]
Dalam hal ini, fasakh nikah dapat terjadi bilamana setelah melakukan akad perkawinan, kemudian dikemudian hari diketahui bahwa sang suami/isteri adalah saudara kandung atau saudara sesusuan maka, dengan otomatis atau atas dasar putusan hakim perkawinan menjadi batal. Akibat dari fasakh ini, ulama masih berbeda pendapat mengenai nafkah iddah. Mengenai hal ini, penulis akan menjelaskan dalam sub bab dengan lebih rinci.
Hubungan Dengan Ayat Sebelumnya[22]
Alasan penulis memberikan penjelasan mengenai korelasi ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah ayat sebelumnya (21-22) tidak berkaitan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis, sehingga penulis menganggap perlu memberikan keterangan yang jelas mengenai korelasi antara ayat yang lebih dulu.
Ayat-Ayat dipermulaan surat an-Nisa’ ini, Allah melarang kita menirukan beberapa tradisi jahiliyah perihal anak-anak yatim, harta anak yatim dan mengawini anak-anak yatim tanpa maskawin. Juga kezhaliman yang mereka lakukan dalam masalah warisan, dimana orang perempuan dan anak kecil tidak diberi hak atas harta peninggalan, dengan alasan mereka itu tidak dapat mempertahankan keluarga, tidak dapat memanggul senjata dsb dari beberapa tugas sosial.
Maka ayat-ayat ini menerangkan satu macam lagi dari bentuk kezhaliman yang pernah dialami oleh perempuan-perempuan jahiliyah, misalnya anggapannya mereka itu sebagai barang yang diwarisi, pindah dari satu tangan ke tangan lain. Diantaranya mereka berhak mewarisi isteri keluarganya yang meninggal dunia, tak ubahnya mewarisi harta.
Itulah sebabnya, Allah mengharamkan semua itu dan memerintahkan untuk selalu berubuat baik terhadap perempuan, dengan pergaulan dan persahabatan yang baik. Ia panggil kaum perempuan untuk menyadari dirinya dari kezhaliman dan permusuhan yang nyatanyata iru.  
Asbabun Nuzul Surat An-NisaAyat 23
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang “wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada mantan istri anak angkat.[23]
Asbabun Nuzul Surat An-Nisa’ Ayat 24
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 24) di waktu perang Humain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ma’mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.
Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 23-24
Ayat yang mulia ini adalah ayat yang menerangkan haramnya mahram bedasarkan keturunan (nasab) dan hal-hal yang mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. “Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan”. Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh, kemudian ia membaca حرمت....وبنات الأخت “ merekalah (maharam dari) nasab. Jumhur ulama menggunakan dalil tentang haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah وبناتكم, karena ia adalah anak perempuan, amak aita remasuk kedalam ayat tersebut, sebagaimana mazhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada pendapat dari Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukan anak menurut hukum syar’i, sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam Firman Allah يوصيكم...حظ الأنثيين  (QS. An-Nisa’: 11) sesunguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma’, maka iapun tidak termasuk kedalam ayat ini. [24]
Sebagian ahli fiqh berkata, “setiap apa saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan kecuali empat bentuk”. Sebagian lagi mengatakan kecuali enam bentuk yang kesemuanya tersebut dalam kitab-kitab furu’ diantaranya yaitu: “Ibu saudaramu yang laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada seorang perempuan (lainya) menyusui saudara laki-laki kamu atau saudara perempuanmu , maka perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya. Akan tetapi diharamkan bagimu ibu dari keduanya berdasarkan nasab, karena ibu dari keduanya itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menhadi sisa permasalahan tersbut.” Setelah diteliti, ternyata tidak ada pengecualian sidikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian terdapat dalam nasab dan sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara (mendasar) tidak ada yang menolak hadits tersebut sedikitpun. [25]
Kemudian para Imam berbeda pendapat tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya sekedar menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini. Sedangkan menurut Malik, riwayat dari Ibn Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama lain berkata, “kurang dari tiga kali susuan tidak mengharamkan. Sebagaimana yang tercantum dalam shahih muslim dari jalan hasyim bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “satu atau dua isapan (susuan) tidak mengharamkan.” Kemudian diriwayatkan pula Qatadah berkata dari Abil Khalil, dari ‘Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul Fadhl berkata, Rasulullah SAW bersabda: “satu atau dua susuan atau satu dan dua isapan tidak mengharamkan,” di dalam lafadz yang lain.” Satu dua sedotan tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim). Dan diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ruwaih, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur, yaitu diriwayatkan dari ‘Ali, ‘Aisyah, ‘Ummul Fadl, Ibnu az-Zubair, Sulaiman bin Yasar dan Sa’id bin Jubair. Ulama yang lain berkata “Kurang dari lima isapan tidak mengharamkan, berdasarkan hadits dalam sahih muslim dari riwayat Malik dari ‘Abdullah bin Abu Bakar, dari ‘Urwah dai ‘Aisyah ra. Ia berkata, dahulu (ayat ini) termasuk diantara ayat al-Qur’an: “sepuluh kali susuan yang diketahui (didapat) mengharamkan.” Kemudian di nasakh (dihapus hukum itu) dengan lima kali susuan yang diketahui. Di saat Nabi wafat, maka hal tersebut adalah ayat al-Qur’an yang dibaca.[26]
Kamudian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah menjadi haram akibat air susu dari pihak ayah persusuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur empat Imam dan lain-lain. Atau hanya dikhususkan dengan pihak ibu persusuan saja dan tidak terkait hingga pada ayah persusuan, sebagaimana satu pendapat sebagaian ulama salaf yang sebenarnya terbagi pada dua golongan.[27] namun hal ini penulis tidak menyertakan pembahasan lebih lanjut, rincian masalah ini terdapat dalam kitab besar yang berisikan hukum-hukum.
Ibnu Kasir berpendapat makana Mubhammat  artinya umum untuk yang sudah digauli ataupun yang belum digauli, maka diharamkan dengan semata-mata akad dengannya dan hal ini yang disepakati. Jika ada yang bertanya, dari segi apa diharamkannya isteri anak-anak dari sepersusuan sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur ulama, bahkan dihikayatkan sebagaian orang bahwa hal ini sebagai ijma’, padahal anak dari sepersusuan itu bukan dari keturunannya? Maka jawabannya ialah bedasarkan sabda Rasulullah SAW : “Diharamkan karena sepersusuan apa-apa diharamkan karena nasab”[28]
Kemudian terkait Firman Allah: وأمهات..... فلا جناح عليكم. Ibu mertua diharamkan dengan (hanya sekedar) akad terhadap puterinya, baik sudah digauli ataupun belum. Sedangkan Rabibah yaitu anak isteri tidak diharamkan, hingga ibunya digauli. Jika ibunya dicerai sebelum digauli, maka ia boleh mengawini puterinya. Untuk itu Allah berfirman وربائكم.... فلا جناح عليكم. “ serta anak-anak perempuan (tiri) yang berada dibawab pemeliharaanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu”. Dalam mengawini mereka. Hal ini merupakan ke khususan bagi anak tiri. Kemudian Jumhur berpendapat bahwasannya anak tiri tidak diharamkan dengan semata-mata akad terhadap ibunya, berbeda dengan ibu mertua yang diharamkan dengan semata-mata akad. Inilah Madzhab Imam empat dan tujuh ahli fiqh serta Jumhur fuqaha, baik yang lalu maupun sekarang. Menurut jumhur ulama bahwa rabibah itu haram, baik berada dibawah pemeliharaannya ataupun tidak. Mereka mengatakan: Firman Allah ini berdasarkan kebiasaan yang banyak terjadi dan tidak mengandung pengertian apapun seperti Firman Allah: “dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian”(QS. An-Nuur: 33)[29]
                        Kedua ayat ini menunjukkan salah satu beberapa sebab terjadinya fasakh bilamana ketika telah terjadi perkawinan yang sah, dan dikemudian hari ditemukan bukti yang sah bahwa suami atau isterinya masih memiliki hubungan darah atau susuan bahkan saudara tiri. Meskipun terjadi beberapa perdebatan mengenai keabsahan dari status persusuan dan anak tiri, penulis tetap mencantumkan ayat ini sebagai dasar hukum fasakh nikah.
3.      Surat Al-Mumtahanahayat 10

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَٰتٖ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِۖ لَا هُنَّ حِلّٞ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۚ وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ وَسۡ‍َٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ وَلۡيَسۡ‍َٔلُواْ مَآ أَنفَقُواْۚ ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡۖ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ١٠

10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
AsbabunNuzul Al-Mumtahanah Ayat 10[30]
Diriwayatkan oleh asy-syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim) yang bersumber dari al-miswar dan Marwan  bin al-Hakim bahwa setelah Rasulullah SAW. membuat perjanjian Hudaibiyah dengan kaum kafir Quraisy, datanglah wanita-wanita mu’minat dari Mekkah. Maka turunlah ayat ini, yang memerintahkan untuk menguji dulu wanita-wanita yang hijrah itu, dan setelah jelas keimanan mereka, tidak boleh dikembalikan ke Makkah.
Diriwayatkan oleh ath-Thobaroni dengan sanad yang lemah, yang bersumber dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad bahwa setelah Rasulullah SAW membuat perjanjian Hudaibiyah, Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith berhijrah dari Makkah ke Madinah. Kedua saudaranya yang bernama Imran bin ‘Uqbah dan al-Walid bin ‘Uqbah menyusul Ummu Kaltsum (saudaranya) hingga sampai pada Rasulullah, keduanya meminta agar Ummu Kaltsum diserahkan kembali kepada mereka dengan turunnya ayat ini, Allah membatalkan perjanjian Rasulullah dengan kaum musyrikin, khusus tentang wanita-wanita, yaitu melarang kaum wanita beriman kembali kepada kaum musyrikin.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Yazid bin Abi Habib bahwa ayat ini, turun berknenaan dengan kisah Umaimah binti Basyr, isteri Abu Hassan as-Dahdahah, yang hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah perjanjian Hudaibiyah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Muqatil bahwa Sa’idah, isteri shaifi bin ar-Rahib, hijrah dari Mekkah ke Madinah meninggalkan suaminya yang musyrik. Ia berhijrah setelah perjanjian Hudaibiyah. Kaum Quraisy menuntut pengembaliannya. Dengan turunnya ayat ini, Sa’idah tidak dikembalikan.
Diriwayatkan Ibnu Jarir yang bersumber dari az-Zuhri bahwa az-Zuhri menghadap Rasulullah yang sedang membuat perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain: barang siapa yang melarikan diri ke Madinah, hendaknya kembali ke Makkah. Akan tetapi ketika wanita-wanita (yang sudah Islam) melarikan diri ke pihak Mukminin, turunlah ayat ini, yang kemudian melarang mengembalikan Muk’minat ke Mekkah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dari al-Kalbi, dari Abu Shalil yang bersunber dari Ibnu Abbas bahwa ‘Umar bin Khattab masuk Islam, akan tetapi isterinya masih mengikuti kaum musyrikin. Maka turunlah ayat ini yang melarang kaum mukminin berpegang pada perkaiwnan wanita kafir.
Tafsir Surat Al-Mumtahanah Ayat 10:
Ayat diatas menjelaskan bahwa: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang (untuk  bergabung) kepada kamu perempuan-perempuan mukminah, yakni yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan dalam keadaan sebagai wanita-wanita yang berhijrahmeniggalkan Mekkah, maka ujilah mereka menyangkut keimanan mereka. Misalnya, memerintahkan mereka bersumpah mengenai kehadiran mereka ke Mekkah. Jangan ada yang menduga ujian itu karena Allah tidak mengetahui hakikat keimanan mereka. Sama sekali tidak! Allah lebih mengetahui dari siapapuntentang hakikat keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui keadaan mereka -yakni menduga keras berdasar indikator-indikator yang memadaibahwa mereka benar-benar wanita-wanita mukminah, maka janganlah dalam bentuk dan keadaan apapun kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir walaupun mereka itu adalah suami-suami wanita-wanita mukminah tadi sebab mereka, para wanita mukminah itu tidak halalmenjadi misteri-isteribagi mereka, pria-pria kafir itu, dan mereka, yakni pria-pria kafir itu, pun tidak halal juga menjadi suami-suami sejak bagi mereka kini dan akan datang.[31]
Ayat yang menjadi tujuan utama penulis yang berkenaan dengan tema adalah tertuju pada lafadz فلا ترعوهن إلى الكفار.....فإن علمتم  yang akan diulas melalui tafsir Ibn Kasir. Firman Allah: “Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kemabalikan mereka pada (suamisuami mereka) orang-orang kafir.” Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa keimanan itu dapat dilihat secara pasti, kemudian dilanjutkan dengan pembahsan ayat selanjutnya لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهم. Ayat ini mengharamkan wanita-wanita muslimah menikah dengan lelaki musyrik. Padahal pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan menikah dengan wanita muslimah. Berdasarkan hal tersebut terlaksanalah pernikahan Abdul ‘Ash bin ar-Rabi’ dengan Puteri Rasulullah SAW,, Zainab ra, dimana  pada saat itu Zainab sebagai seorang muslimah, sedangkan Abdul ‘Ash bin ar-Rabi’ masih memeluk agama kaumnya. Dan ketika dia masuk tawanan perang Badar, Zainab mengutus seseorang menebusnya dengan kalung yang dahulu milik ibunya, Khadijah binti Khuwailid ra. Ketika melihatnya, Rasulullah sangat pilu sekali dan berkata kepada kaum muslimin: “jika kalian memutuskan untuk membebaskan tawanannya, lakukanlah.” Merekapun melakukannya, dan Rasulullah membebaskannya dengan syarat kaum kafir Quraisy harus mengirimkan Zainab kepada beliau. Dia pun memenuhi permintaan Rasulullah tersebut dan memenuhi janjinya terhadap beliau dengan mengirimkan Zainab kepada beliau bersama Zaid bin Haritsah ra. Maka Zainabpun bermukim di Madinah setelah perang Badar. Hal ini terjadi pada tahun ke2 Hijrah, lalu Rasulullah mengembalikan Zainab kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama dan tidak meminta mahar yang baru.[32]
Ketegasan Rasulullah membatasi kebebasan memilih pasangan sagat tampak pada ayat ini, dimana seorang muslimah benar-benar dilarang bersuami dengan orang musyrik, walaupun telah terjadi ikatan perkawinan yang telah mereka.  Oleh karena itu penulis menganggap ayat ini memiliki kaitan yang erat dengan tema yang diangkat.

4.        Fasakh Nikah Menurut Fiqh  dan Kompilasi Hukum Islam.
a.      Fasakh Menurut Fiqh
Secara bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Sedangkan pengertian fasakh secara istilah menurut Sayyid Sabiq adalah membatalkan akad nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri, fasakh terjadi apabila ada celah pada akad nikah atau ada sebab baru yang mencegah berlang sungnya hubungan suami isteri.[33]
Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.[34]
Syarat-syarat nikah merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Pada garis besarnya syarat sahnya perkawinan itu ada dua, yaitu:
1)      Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya isteri.
2)      Akad nikahnya dihadiri para saksi
Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari:
1)      Pihak laki-laki
2)      Pihak perempuan
3)      Wali atau wali hakim
4)      Dua orang saksi
5)      Ijab dan Qabul.[35]
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Dalam hal ini fasakh dibagi mejadi dua jenis yaitu:
1)  Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a)      Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah sudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b)      Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2)  Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
a)      Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b)      Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.[36]
Sedang fasakh dengan keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah jelas tidak memerlukan keputusan hakim lagi, missal apabila si isteri terbukti bahwa si suami isteri masih saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk memfasakhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Terkadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya tergantung kepada keputusan hakim, missal fasakh karena isteri musyrik dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk islam terlebih dahulu namun isteri keberatan untuk masuk islam, maka akadnya rusak.[37]
Korelasi Fasakh dan Khuluq
Jumhur berpendapat bahwa Khuluq adalah talak Ba’in, seperti yang diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Zubair: “ Ambillah kebunnya dan ceraikan dengan thalaq satu”. (Riwayat Bukhari). Sebagian ulama fiqh lainnya, diantaranya Imam Ahmad bi Hanbal, Dawud bin Ali al-Ashbihani dari kalangan ulama Fiqh, Utsman bin Affan, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas dari kalangan saghabat, semuanya berpendapat Khuluq adalah Fasakh bukan talaq. Ibnul Qayyim berkata: “Dalil yang menunjukkan bahwa Khuluq itu bukan talaq ialah, bahwasannya Allah menetapkan adanya tiga akibat hukum talaq sesudah dukhul dan belum tigakali cerai, dengan ketiga akibat hukum tersebut bertentangan dengan akibat hukum khuluq. Ketiganya itu adalah:[38]
Pertama, suami berhak merujuk isterinya selama ‘iddah. Kedua , thalaq itu tiga kali, maka tidak halal dikawini lagi setelah perempuan itu dithalaq tiga, kecuali jika sudah kawin lagi dengan laki-laki lain dan sudah dicampuri. Ketiga, ‘iddahnya tiga kali suci. Sedangkan Nash menetapkan bahwa khuluq tidak ada ‘iddahnya. Hadits Rasulullah SAW serta pendapat para sahabat menetapkan bahwa ‘iddahnya khuluq hanya satu kali haid. Adapula nash yang memperbolehkan khuluq setelah duakali talaq, dan talaq yang ke tiga dijatuhkan setelah terjadi khuluq, ini membuktikan bahwa khuluq bukan thalaq.[39]
Perselisihan ini membawa dampak kepada ‘iddah. Orang yang berpendapat bahwa khuluq itu sama dnegan thalaq, maka thalaqnya adalah ba’in. Sedangkan yang menganggap fasakh, maka thlaqnya bukan ba’in. Orang yang menceraikan isterinya sampai dua kali, kemudian mengkhuluqnya, lalu akan merujuknya, maka ia berhak merujuknya walaupun isterinya belum kawin dengan laki-laki lain, karena thalaqnya belum sampai tiga kali, Khuluqnya tidak mempengaruhi. Mereka yang menganggap khuluq sebagai thalaq berpendapat bahwa suami tidak diperkenankan merujuk isterinya sampai ia kawin dengan laki-laki lain, karena dengan adanya khuluq itu thalaqnya dianggap genap tiga.
Sebab-Sebab Terjadinya Fasakh
Fasakh bias terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelang sungan perkawinan.[40]
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perkawinan dapat dirusak atau difakasakh, dengan fasakh tersebut akad perkawinannya tidak berguna lagi. Sebab-sebab itu antara lain:[41]
1.      Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan, atau perempuan menipu laki-laki, misalnya orang laki-laki mandul yang tidak dapat memberikan keturunan, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh manakala ia tahu, kecuali ia memilih untuk tetap menjadi isteri dan ridhodipergauli suaminya.
2.      Apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang mengaku sebagai serang yang baik-baik, kemudian ternyata fasik, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh untuk membatalkan akadnya.
3.      Seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan tetapi ternyata janda, maka laki-laki itu berhak meminta ganti rugi maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
4.      Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa si isteri itu cacat tidak dapat dicampuri, misalnya selalu beristihadloh (selalu keluar darah selain darah haid), istihadhah adalah aib karena itu dapat menyebabkan fasakh dan merusak nikah.
5.      Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi di tubuh perempuan itu ada penghalang yang menyebabkan si misteri tidak dapat dipergauli, misalnya kemaluannya tersumbat, tumbuh daging atau robek atau ada tulangnya, suami boleh mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinannya.
6.      Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacar seperti supak, kusta atau gila.
Fasakh dengan Keputusan Hakim
Pada dasarnya fasakh tentu membutuhkan keputusan hakim sebagai putusan yang sah menurut UndangUndang. Oleh karena itu semua fasakh tetap bermuara pada Pengadilan Agama untuk mendapatkan kekuatan hukum. Terkadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya tergantung pada putusan hakim, misalnya fasakh karena isteri musyrik dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk Islam terlebih dahulu tetapi isteri keberatan untuk masuk Islam. Maka akadnya rusak, tetapi kalau isteri tidak keberatan masuk Islam maka akadnya tidak difasakhkan. [42]
b.      Fasakh Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun kompilasi hukum islam hanya sebatas kompilasi (bukan Undang-Undang) namun kedudukannya di ligkungan peradilan agama,sangat mempengaruhi keputusan hakim dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan kewenangan peradilan agama. KHI menerangkan tentang beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan diantarnya adalah:
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a.       Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
-          seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
-          seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
b.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
-          berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
-          berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
-          berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
-          berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
c.       isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.       seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.      perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c.       perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.      perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7  Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e.       perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.       perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1)      Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2)      Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
3)      Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.       para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b.      Suami atau isteri;
c.       Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d.      para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
1)      Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
2)      Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a.       perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b.      anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.       pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
C.    Kesimpulan
1.      Pada dasarnya tidak ada ayat yang secara spesifik membahas mengenai fasakh nikah, melainkan tersirat pada beberapa ayat pada surat-surat tertentu, diantaranya adalah:
a.       Surat al-Baqarah ayat 221.
b.      Surat Annisa’ayat 23 dan 24.
c.       Surat Al-Mumtahanah ayat 10.
Ayat-ayat tersebut secara tersirat menyebutkan beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan, baik sebelum akad maupun sesudah terjadinya akad.
2.      Fasakh terbagi kedalam dua jenis yaitu:
a.       Fasakh yang disebabkan karena sayarat-syarat akad tidak terpenuhi
b.      Fasakh yang datang setelah terjadinya akad.
Sebab-sebab fasakh secara umum adalah:
a.       Suami atau isteri gila
b.      Suami atau isteri murtad
c.       Suami atau isteri memiliki penyakit yang membahayakan dan dapat menular, seperti, HIV, Aids, Kusta,
d.      Suami atau isteri memiliki gangguan pada organ reproduksi sehingga menghalangi tujuan perkawinan, atau tidak bisa memiliki anak.
3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam, pembatalan perkawinan dijelaskan dalam pasal 70-76.


DAFTAR PUSTAKA
Kitab
Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Alih bahasa Abdul ghofar, Jilid 2, cet IV, Bogor:Pustaka Imam Syafi’i. 2005
............ Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi,... jilid 8.
Asy Syaukani Muhammad bin Ali, Fathul QadirJild I, Darul Hadits: Kairo, 1992.
Ash-Shabuni Muhamad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bina Ilmu: Surabaya, 2008.
Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati: Jakarta, 2002.
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Zuhaili Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1995.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowaaihul Bayan, Juz I, Lebanon:Maktaba-alassrya
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi wa Huwa Al-Jami’ Ash-Shahih. Bandung: Maktabah Dahlan, T,th.
Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulugh Al-maram, aplikasi, Versi 3.01
Imam Muslim bin Hajaj al-Naisbury, Shahih Muslim, jilid I, Lebanon: Dar-Al kotob, 1971.
Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, Beirut: ‘Alam al-Kutub, T.th.
Al-Kahlani, Muhmmad bin Isma’ilSubulus As-Salam,Bandung: Dahlan, T,th.
Sahrani,Thiani Sobari, Fiqh Nikah Lengkap,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009
Effendi Satria, Probeleatika Hukum keluarga Islam Kontemporer,Jakarta:PrendaMedia, 2004.
Baidan Nashrudin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
al-Farmawi Abdul Hayyi, al-Bidayah Fi-al-Tafsir al-Maudhu’I, Kairo:al-Hadharat al-Gharbiyyah, 1977
Alhamdani, Risalah Nikah, cet III, Pustaka Setia: Jakarta, 2011.
KompilasiHukum Islam
Saebani Beni Ahmad,  FikihMunakahat, Bandung: PustakaSetia, 2001.
Sahrani Tihani, Sohari, Fiqh Munakahat: kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Wardahcheche.blogspot.com/2013/11/tafsirmaudhu’i.html?m=1  kamis, 21 oktober, 2016.
Jurnal
PENYAKIT AIDS SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN MELALUI FASAKH MENURUT ENAKMEN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI JOHOR MALAYSIA.OLEH: MUHAMMAD SALLEH 2012.
ALASAN PEMBUBARAN MEMBUBARKAN PERKAWINAN MELALUI FASAKH.
OLEH: RH. ABDULLAH, JURNAL SYARI’AH 1997




[1]Thiani Sobari Sahrani, Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009) 153.
[2]Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th) 6864.
[3]Satria Effendi, Probeleatika HukumkeluargaIslamKontemporer, (Jakarta:PrendaMedia, 2004) 19.
[4] Ibid, 20.
[5]Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar 1998) 2.
[6]Abdul Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah Fi-al-Tafsir al-Maudhu’I, (Kairo:al-Hadharat al-Gharbiyyah, 1977), hlm. 52.
[7]Wardahcheche.blogspot.com/2013/11/tafsirmaudhu’i.html?m=1 (kamis, 21 oktober, pukul 9.51WIB)
[8] Muhammad bin Ali Asy Syaukani, FathulQadir, Jilid I, (Darul Hadits: Kairo, 1992), 309.
[9]Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th) 49-50.
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowaaihul Bayan, Juz I, (Lebanon:Maktaba-alassrya), 267.
[11] Ibid,,, 267.
[12] Ibid,,, 267.
[13] Ibid,,, 268.
[14] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowaaihul Bayan,,, 268.
[15] Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 2,,,  419.
[16]Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Bina Ilmu: Surabaya, 2008) 197-202
[17]Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.
[18] Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 2,,,  420.
[19]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Jilid III, (Beirut: Dar Ibn Hazm,1995) 990.
[20] Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulugh Al-maram, Versi 3.01, Hadits ke 925
[21]Imam Muslim bin Hajaj al-Naisbury, Shahih Muslim, jilid I, (Lebanon: Dar-Al kotob, 1971) 622.
[22] Mu’ammal Hamidy, dan Imron A Manan, Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 1, (Surabaya: Bina Ilmu, 2011) 325.
[24] Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Alih bahasa Abdul ghofar, Jilid 2, cet IV, (Bogor:Pustaka Imam Syafi’i. 2005) 264.
[25] Ibid,,,. 267.
[26] Ibid,,,. 267-268.
[27] Ibid,,,. 268.
[28] Ibid,,,. 270
[29] Ibid,,,. 269.
[31]M. QuraishShihab, Tafsir Al-Misbah, Vol XIII, (Lentera Hati: Jakarta, 2002) 604.
[32] Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid 8,,,.145-146.
[33] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) 627.
[34]Beni Ahmad Saebani,  FikihMunakahat,  ( Bandung: PustakaSetia, 2001 ), 105.
[35]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006) 46-49.
[36]Slamet Abidin dan H. Aminudin, fiqih munakahat 2, (Bandung: Pustaka setia, 1999) 73.
[37]H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani 1989)50.
[38] Alhamdani, Risalah Nikah, cet III, (Pustaka Setia: Jakarta, 2011) 265.
[39] Ibid,,,. 265
[40]Tihani dan Sohari Sahrani, FiqhMunakahat: kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2002) 195.
[41] Alhamdani, Risalah Nikah,,,. 271-272.
[42] Alhamdani, Risalah Nikah,,,.273

Tidak ada komentar:

Posting Komentar