Usia Perkawinan
Perspektif Agama di Indonesia
Oleh: Nur Afif Maftuchin Aljabar
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yang disahkan
pada 1 Januari 1974, Indonesia telah memberi ketetapan usia perkawinan yang
diperuntukkan semua agama di Indonesia yang tertera pada pasal 7 Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1)
Perkawinan hanya di izinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.
(2)
Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang
tua pihak pria atau pihak wanita
(3)
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut Pasal 6 ayat (3)[1]
dan (4)[2]
Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat
(2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)[3]
Ketetapan usia perkawinan juga telah di tetapkan oleh agama yang
telah berkembang di Indonesia yaitu:
1.
Agama Islam
Perkawinan dalam agama Islam pada
umunya di dasarkan pada perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Aisyah,
menurut Hadits Shahih pernikahan Nabi dan Siti Aisyah dilakukan saat
Siti Aisyah berusia 6 tahun, kemudian mulai tinggal bersama pada usia 9 tahun. Berdasarkan
hadits yang tertera dalam Shahih Muslim No. Indeks 1422 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
أَبُوْ كُرَيْبٍ محمد بْنُ الْعَلَاءِ: حَدَّثَنَا أَبُوْ أَسَامَةَ. (ح)
وَحَدَّثَناَ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ قَالَ: وَخَدْتُ فِي كِتَابِيْ
عَنْ أَبِيْ أُسَامَةَ, عَنْ هِشَامٍ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ عَأءِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَنِيْ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِسِتٍّ سِنِيْنَ, وَبَنَى بِيْ وَأَنَا بِنْتُ
تِسْعِ سِنِيْنَ...[4]
“ Hadits Riwayat Aisyah ra. Dia berkata:
Rasulullah Saw menikahiku saar aku berusia enam tahun, dan beliau menggauliku
saat aku berusia sembilan tahun...”
Pada umunya semua rujukan umat Islam terkait usia perkawinan bermuara pada hadits
tersebut, temasuk pula pendapat pengikut para Imam Mazhab. Pertama, al-Syafi’i dalam pembahasan tentang “meminta izin gadis kecil
untuk dinikahkan” menyatakan “Aisyah dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr
dengan Nabi SAW, hal itu menunjukkan bahwa Abu Bakr (sebagai orang tua) lebih
berhak kepada Aisyag (sebagai anak) dengan persoalan perkawinan. Sebab, bocah 7
dan 9 tahun tentu belum memiliki kedewasaan yang memadai (untuk mengambil
keputusan)” (al-Syafi’i, 1393H: 167). Kedua, al-Sarakhsi
(W. 490 H) yang merupakan ulama mazhab Hanafi menulis dalam bukunya al-Mabsuthi
“kita mendengar bahwa Nabi SAW menikahi Aisyah sewaktu masih kanak-kanak
berusia 6 tahun. Baliau baru hidup serumah dengannya saat Aisyah telah berusia
9 tahun. Kehidupan diatara keduanya hanya berlangsung selama 9 tahun ketika
Nabi SAW pulang ke Hadirat Ilahi pada tahun 11 H. Hadits tentang usia ‘Aiyah
saat dinikahi oleh Nabi SAW tersebut merupakan bukti perihal legalitas
perkawinan anak-anak (dibawah umur).(al-Sarakhsy, 1406H: 212). Ketiga,
dari kalangan ulama mazhab Maliki Ibn ‘Abd al-Barr mengemukakan “Abu Bakr
al-Shiddiq menikahkan puterinya, Aisyah yang masih berstatus gadis belia di
usia 6 atau 7 tahun. Oleh kerena itu, seorang ayah boleh mengawinkan puterinya
yang masih kanak-kanak, baik perawan maupun janda, meski belum mencapai usia
menstruasi, tanpa seizinnya” (Ibn Abd al-Barr, 1407 H: 231). Keempat,
Ibn Qudamah dari mazhab Hambali, mengutarakan dalam bukunya al-Kafi fi Fiqh
al-Imam Ahmad bin Hanbal “Adapun gadis merdeka, maka ayahnya memegang
otoritas pernikahan putrinya yang masih perawan (tanpa diperselisihkan oleh
para ulama). Dasarnya, Abu Bakr al-Shiddiq mengawinkan putrinya Aisyah dengan
Nabi SAW ketika masih berumur 6 tahun”(Ibn Qudamah, 1408 H: 26)[5]
Sehingga dapat di
ambil kesimpulan bahwasannya agama Islam membolehkan melakukan perkawinan pada
usia 6 tahun bagi perempuan, dan tidak menentukan usia bagi laki-laki. Namun
bila berkaca dari peristiwa ini, maka usia perkawinan laki-laki hendaknya lebih
tua
2.
Agama Kristen Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik BAB III
yang membahas halangan-halangan melakukan perkawinan disebutkan bahwa halangan
yang pertama adalah Laki-Laki belum berumur genap 16 (enam belas) tahun, dan
perempuan sebelum berumur genap 14 (empat belas) tahun, tidak dapat
melangsungkan perkawinan yang sah, kewenangan penentuan usia perkawinan yang
lebih tinggi dilakukan oleh Konferensi Para Uskup untuk melaksanakan perkawinan secara licit.(1083;1)
[6]
Halangan perkawinan karena usia ini
memberikan indikasi ketetapan usia perkawinan bagi umat Kristen untuk melangsungkan
perkawinan, sementara jika ingin melakukan perubahan ketetapan tersebut harus
melalui keputusan konferensi uskup.
3.
Agama Kristen Protestan
Dalam Kitab Hukum Kanonik BAB III
yang membahas halangan-halangan melakukan perkawinan disebutkan bahwa halangan
yang pertama adalah Laki-Laki belum berumur genap 16 (enam belas) tahun, dan
perempuan sebelum berumur genap 14 (empat belas) tahun, tidak dapat
melangsungkan perkawinan yang sah, kewenangan penentuan usia perkawinan yang
lebih tinggi dilakukan oleh Konferensi Para Uskup untuk melaksanakan perkawinan secara licit.(1083;1)
[7]
Halangan perkawinan karena usia ini
memberikan indikasi ketetapan usia perkawinan bagi umat Kristen untuk melangsungkan
perkawinan, sementara jika ingin melakukan perubahan ketetapan tersebut harus
melalui keputusan konferensi uskup.
4.
Agama Buddha
Menurut agama Budha empat sikap hidup yang
dapat digunakan dalam mencari pasangan hidup sekaligus untuk membina hubungan
suami istri yang harmonis sebagaimana yang termaktub dalam Anguttara Nikaya II:
62 disebutkan bahwa setiap pasangan yang menikah setidaknya memiliki kesamaan
dalam empat hal yaitu: keyakinan (sadha), moral (sila), kedermawanan (ceda),
dan kesamaan kebijaksanaan (panna).[8]
Selain itu perkawinan dalam agama Buddha merupakan suatu pilihan hidup, bukan
keharusan atau ketentuan pokok dari agama itu sendiri, sehingga hidup membujang
pun tidak melanggar norma dari ajaran ini. Karena hal itulah maka tidak ada keterangan yang secara pasti
menerangkan usia perkawinan
bagi agama Buddha dan perkawinan itu cenderung mengikuti adat di mana agama ini
berkembang. Sehingga di Indonesia umat Buddha dalam melangsungkan perkawinan
tetap mengikuti peraturan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No 1 Tahun
1974
5.
Agama Hindu
Dalam Manava Dharma Sastra dikatakan
bahwa seorang wanita walaupun telah berusia cukup, tetapi jika yang
bersangkutan tidak pernah datang bulan, maka tidak dianggap memenuhi syarat
untuk kawin, bahkan dikatakan tidak sehat secara fisik, yang disebut
Teluh/Keming, wanita semacam ini perlu di hindari untuk di kawini, Syarat
perkawinan dalam agama Hindu yang berkembang di Indonesia mengaharuskan usia
dari mempelai pria 21 tahun sedangkan wanita berusia minimal 18 tahun. [9]
6.
Agama Konghucu
Agama Konghucu memiliki dua jenis
Kitab pijakan yaitu Kitab Si Shu (Kontorer) dan Wu Jing (Klasik), kemudian dari
dua jenis ini masing-masing memiliki isi tersendiri. Pertama. Wu Jing
(lima buku tentang ujian lama) yaitu terdiri dari; Shi Jing (Kitab Odes), Shu
Jing (Kitab Sejarah), Yi Jing (Kitab Perubahan), Li Jing (Buku Ritual), Chunqiu
Jing (Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur). Kedua, Si Shu (empat buku)
yaitu; Da Xue (Ajaran Besar), Zhong Yong (Tengah Sempurna), Lun Yu (Sabda
Suci), Meng Zi (Bingcu).
Keterangan yang menyatakan usia perkawinan terdapat dalam kitab Li
Jing (Buku Ritual) I A QU LI (Adat Susila) Bagian 1 ayat 7 yaitu: Orang
lahir sampai 10 tahun dinamai anak wajib belajar. Ketika usia 20 tahun dinamai
pemuda dan tiba saat menerima upacara mengenakan topi (tanda akil baliq).
Ketika 30 tahun dinamai orang dewasa dan sudah menikah. Ketika berusia 40 tahun
dinamai orang yang sudah kuat memangku jabatan. Ketika usia 50 tahun dinamai
orang yang sudah mulai beruban dan dapat memangku jabatan dalam pemerintahan.
Ketika usia 60 tahun dinamai orang menjelang tua dan ia berhak memberi petunjuk
dan menugaskan. Usia 70 tahun ia dinamai orang tua dan ia boleh mewakilkan
tugasnya kepada orang lain. Usia 80 sampai 90 tahun dinamai orang sangat tua.
Orang yang usianya dibawah 7 tahun dinamai anak yang wajib di kasihi dan di
kasihani. Anak yang wajib di kasihani dan orang yang sudah sangat tua biar
melakukan tindakan dosa tidak dapat di hukum. Orang yang berusia 100 tahun
dinamai orang yang wajib di rawat...[10]
Dari ayat ini
dapat diasumsikan bahwasannya agama Konghucu memiliki usia perkawinan yang
dikehendaki dari kitab sucinya yaitu tidak kurang dari 20 tahun dan tidak
melampaui 30 tahun, ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Sebab dalam
kitab ini dikatakan bahwasannya usia baligh terjadi saat usia 20 tahun.
7.
Penghayat
Sebagai terusan dari UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan mengenai identitas penghayat dalam
pembuatan Kartu Tanda Penduduk, pemerintah memberikan ketegasan pada PP 37
Tahun 2007 pasal 81 bab X sebagai berikut:
a.
Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka
penghayat kepercayaan
b.
Pemuka Penghayat kepercayaan sebagaimana di maksud pada ayat 1di
tujukan dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan
untuk menandatangani surat perkawinan penghayat Kepercayaan
c.
Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di
daftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
Sehingga dalam
prosesi perkawinannya sangat sederhana, setelah dilakukan pengesahan oleh
pemuka penghayat, kemudian perkawinan tersebut dicatatkan pada Catatan Sipil
guna memperoleh akta perkawinan, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan “Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan selain menurut agama dan
kepercayaan itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
pada kantor catatan sipil,,,”.
Mengenai Usia
perkawinan bagi Penghayat ini belum ada keterangan yang jelas dan bersifat
universal bagi seluruh penganut Penghayat, namun proses perkawinan yang
dilakuka dianggap tidak menyalahi ataupun berlawanan dengan UU No. 1 Tahun
1974, hal ini terbukti dari di berikannya akta perkawinan bagi mempelai pria
maupun wanita. Asumsi sementara usia perkawinan dalam Penghayat turut
menyesuaikan dengan UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16
tahun bagi perempuan.
[1] Pasal 6 Ayat (3): Dalam hal seorang dari
kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya , maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini (permintaan izin kawin
pada orang tua bagi anak yang berusia di bawah 21 tahun) cukup di peroleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
[2] Pasal 6 Ayat (4): Dalam hal kedua orang tua
telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
[3] Pasal 6 Ayat (6): ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5
pasal ini (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
[4] Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naysabouri,
Sahih Muslim, Juz 1, Edisi 5, (Lebanon; Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2012), h
604.
[5] Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur
Perspektif Fiqh Islam, HAM Internasional, UU Nasional, (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2011), h 20-22.
[6] Konverensi Wali Gerja Indonesia, Codex Iuris Canonici (Kitab
Hukum Kanonik), Alih Bahasa, Edisi 2006, (Jakarta; 2006)
[7] Konverensi Wali Gerja Indonesia, Codex Iuris Canonici (Kitab
Hukum Kanonik), Alih Bahasa, Edisi 2006, (Jakarta; 2006)
[9] I Nyoman Arthayasa, Sujawlanto, Ketut Yeti Suneli, Petunjuk
Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya, 2004), h 12-14.
[10] Kitab Li JI
(Kitab Suci Tentang Kesusilaan)