Rabu, 19 September 2018


Usia Perkawinan Perspektif Agama di Indonesia
Oleh: Nur Afif Maftuchin Aljabar

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yang disahkan pada 1 Januari 1974, Indonesia telah memberi ketetapan usia perkawinan yang diperuntukkan semua agama di Indonesia yang tertera pada pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1)   Perkawinan hanya di izinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2)   Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita
(3)   Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3)[1] dan (4)[2] Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)[3]
Ketetapan usia perkawinan juga telah di tetapkan oleh agama yang telah berkembang di Indonesia yaitu:
1.      Agama Islam
Perkawinan dalam agama Islam pada umunya di dasarkan pada perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Aisyah, menurut Hadits Shahih pernikahan Nabi dan Siti Aisyah dilakukan saat Siti Aisyah berusia 6 tahun, kemudian mulai tinggal bersama pada usia 9 tahun. Berdasarkan hadits yang tertera dalam Shahih Muslim No. Indeks 1422 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ محمد بْنُ الْعَلَاءِ: حَدَّثَنَا أَبُوْ أَسَامَةَ. (ح) وَحَدَّثَناَ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ قَالَ: وَخَدْتُ فِي كِتَابِيْ عَنْ أَبِيْ أُسَامَةَ, عَنْ هِشَامٍ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ عَأءِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِسِتٍّ سِنِيْنَ, وَبَنَى بِيْ وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ...[4]

“ Hadits Riwayat Aisyah ra. Dia berkata: Rasulullah Saw menikahiku saar aku berusia enam tahun, dan beliau menggauliku saat aku berusia sembilan tahun...”
           
Pada umunya semua rujukan umat Islam terkait usia perkawinan bermuara pada hadits tersebut, temasuk pula pendapat pengikut para Imam Mazhab. Pertama, al-Syafi’i dalam pembahasan tentang “meminta izin gadis kecil untuk dinikahkan” menyatakan “Aisyah dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr dengan Nabi SAW, hal itu menunjukkan bahwa Abu Bakr (sebagai orang tua) lebih berhak kepada Aisyag (sebagai anak) dengan persoalan perkawinan. Sebab, bocah 7 dan 9 tahun tentu belum memiliki kedewasaan yang memadai (untuk mengambil keputusan)” (al-Syafi’i, 1393H: 167). Kedua, al-Sarakhsi (W. 490 H) yang merupakan ulama mazhab Hanafi menulis dalam bukunya al-Mabsuthi “kita mendengar bahwa Nabi SAW menikahi Aisyah sewaktu masih kanak-kanak berusia 6 tahun. Baliau baru hidup serumah dengannya saat Aisyah telah berusia 9 tahun. Kehidupan diatara keduanya hanya berlangsung selama 9 tahun ketika Nabi SAW pulang ke Hadirat Ilahi pada tahun 11 H. Hadits tentang usia ‘Aiyah saat dinikahi oleh Nabi SAW tersebut merupakan bukti perihal legalitas perkawinan anak-anak (dibawah umur).(al-Sarakhsy, 1406H: 212). Ketiga, dari kalangan ulama mazhab Maliki Ibn ‘Abd al-Barr mengemukakan “Abu Bakr al-Shiddiq menikahkan puterinya, Aisyah yang masih berstatus gadis belia di usia 6 atau 7 tahun. Oleh kerena itu, seorang ayah boleh mengawinkan puterinya yang masih kanak-kanak, baik perawan maupun janda, meski belum mencapai usia menstruasi, tanpa seizinnya” (Ibn Abd al-Barr, 1407 H: 231). Keempat, Ibn Qudamah dari mazhab Hambali, mengutarakan dalam bukunya al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal “Adapun gadis merdeka, maka ayahnya memegang otoritas pernikahan putrinya yang masih perawan (tanpa diperselisihkan oleh para ulama). Dasarnya, Abu Bakr al-Shiddiq mengawinkan putrinya Aisyah dengan Nabi SAW ketika masih berumur 6 tahun”(Ibn Qudamah, 1408 H: 26)[5]
            Sehingga dapat di ambil kesimpulan bahwasannya agama Islam membolehkan melakukan perkawinan pada usia 6 tahun bagi perempuan, dan tidak menentukan usia bagi laki-laki. Namun bila berkaca dari peristiwa ini, maka usia perkawinan laki-laki hendaknya lebih tua

2.      Agama Kristen Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik BAB III yang membahas halangan-halangan melakukan perkawinan disebutkan bahwa halangan yang pertama adalah Laki-Laki belum berumur genap 16 (enam belas) tahun, dan perempuan sebelum berumur genap 14 (empat belas) tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah, kewenangan penentuan usia perkawinan yang lebih tinggi dilakukan oleh Konferensi Para Uskup  untuk melaksanakan perkawinan secara licit.(1083;1) [6]
Halangan perkawinan karena usia ini memberikan indikasi ketetapan usia perkawinan bagi umat Kristen untuk melangsungkan perkawinan, sementara jika ingin melakukan perubahan ketetapan tersebut harus melalui keputusan konferensi uskup.

3.      Agama Kristen Protestan
Dalam Kitab Hukum Kanonik BAB III yang membahas halangan-halangan melakukan perkawinan disebutkan bahwa halangan yang pertama adalah Laki-Laki belum berumur genap 16 (enam belas) tahun, dan perempuan sebelum berumur genap 14 (empat belas) tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah, kewenangan penentuan usia perkawinan yang lebih tinggi dilakukan oleh Konferensi Para Uskup  untuk melaksanakan perkawinan secara licit.(1083;1) [7]
Halangan perkawinan karena usia ini memberikan indikasi ketetapan usia perkawinan bagi umat Kristen untuk melangsungkan perkawinan, sementara jika ingin melakukan perubahan ketetapan tersebut harus melalui keputusan konferensi uskup.
4.      Agama Buddha
Menurut agama Budha empat sikap hidup yang dapat digunakan dalam mencari pasangan hidup sekaligus untuk membina hubungan suami istri yang harmonis sebagaimana yang termaktub dalam Anguttara Nikaya II: 62 disebutkan bahwa setiap pasangan yang menikah setidaknya memiliki kesamaan dalam empat hal yaitu: keyakinan (sadha), moral (sila), kedermawanan (ceda), dan kesamaan kebijaksanaan (panna).[8] Selain itu perkawinan dalam agama Buddha merupakan suatu pilihan hidup, bukan keharusan atau ketentuan pokok dari agama itu sendiri, sehingga hidup membujang pun tidak melanggar norma dari ajaran ini. Karena hal itulah maka tidak ada keterangan yang secara pasti menerangkan usia perkawinan bagi agama Buddha dan perkawinan itu cenderung mengikuti adat di mana agama ini berkembang. Sehingga di Indonesia umat Buddha dalam melangsungkan perkawinan tetap mengikuti peraturan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No 1 Tahun 1974
5.      Agama Hindu
Dalam Manava Dharma Sastra dikatakan bahwa seorang wanita walaupun telah berusia cukup, tetapi jika yang bersangkutan tidak pernah datang bulan, maka tidak dianggap memenuhi syarat untuk kawin, bahkan dikatakan tidak sehat secara fisik, yang disebut Teluh/Keming, wanita semacam ini perlu di hindari untuk di kawini, Syarat perkawinan dalam agama Hindu yang berkembang di Indonesia mengaharuskan usia dari mempelai pria 21 tahun sedangkan wanita berusia minimal 18 tahun. [9]

6.      Agama Konghucu
Agama Konghucu memiliki dua jenis Kitab pijakan yaitu Kitab Si Shu (Kontorer) dan Wu Jing (Klasik), kemudian dari dua jenis ini masing-masing memiliki isi tersendiri. Pertama. Wu Jing (lima buku tentang ujian lama) yaitu terdiri dari; Shi Jing (Kitab Odes), Shu Jing (Kitab Sejarah), Yi Jing (Kitab Perubahan), Li Jing (Buku Ritual), Chunqiu Jing (Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur). Kedua, Si Shu (empat buku) yaitu; Da Xue (Ajaran Besar), Zhong Yong (Tengah Sempurna), Lun Yu (Sabda Suci), Meng Zi (Bingcu).
Keterangan yang menyatakan usia perkawinan terdapat dalam kitab Li Jing (Buku Ritual) I A QU LI (Adat Susila) Bagian 1 ayat 7 yaitu: Orang lahir sampai 10 tahun dinamai anak wajib belajar. Ketika usia 20 tahun dinamai pemuda dan tiba saat menerima upacara mengenakan topi (tanda akil baliq). Ketika 30 tahun dinamai orang dewasa dan sudah menikah. Ketika berusia 40 tahun dinamai orang yang sudah kuat memangku jabatan. Ketika usia 50 tahun dinamai orang yang sudah mulai beruban dan dapat memangku jabatan dalam pemerintahan. Ketika usia 60 tahun dinamai orang menjelang tua dan ia berhak memberi petunjuk dan menugaskan. Usia 70 tahun ia dinamai orang tua dan ia boleh mewakilkan tugasnya kepada orang lain. Usia 80 sampai 90 tahun dinamai orang sangat tua. Orang yang usianya dibawah 7 tahun dinamai anak yang wajib di kasihi dan di kasihani. Anak yang wajib di kasihani dan orang yang sudah sangat tua biar melakukan tindakan dosa tidak dapat di hukum. Orang yang berusia 100 tahun dinamai orang yang wajib di rawat...[10]
            Dari ayat ini dapat diasumsikan bahwasannya agama Konghucu memiliki usia perkawinan yang dikehendaki dari kitab sucinya yaitu tidak kurang dari 20 tahun dan tidak melampaui 30 tahun, ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Sebab dalam kitab ini dikatakan bahwasannya usia baligh  terjadi saat usia 20 tahun.  

7.      Penghayat
Sebagai terusan dari UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengenai identitas penghayat dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk, pemerintah memberikan ketegasan pada PP 37 Tahun 2007 pasal 81 bab X sebagai berikut:
a.         Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan
b.         Pemuka Penghayat kepercayaan sebagaimana di maksud pada ayat 1di tujukan dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan untuk menandatangani surat perkawinan penghayat Kepercayaan
c.         Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di daftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
Sehingga dalam prosesi perkawinannya sangat sederhana, setelah dilakukan pengesahan oleh pemuka penghayat, kemudian perkawinan tersebut dicatatkan pada Catatan Sipil guna memperoleh akta perkawinan, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan selain menurut agama dan kepercayaan itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil,,,”.
Mengenai Usia perkawinan bagi Penghayat ini belum ada keterangan yang jelas dan bersifat universal bagi seluruh penganut Penghayat, namun proses perkawinan yang dilakuka dianggap tidak menyalahi ataupun berlawanan dengan UU No. 1 Tahun 1974, hal ini terbukti dari di berikannya akta perkawinan bagi mempelai pria maupun wanita. Asumsi sementara usia perkawinan dalam Penghayat turut menyesuaikan dengan UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.


[1] Pasal 6 Ayat (3): Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya , maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini (permintaan izin kawin pada orang tua bagi anak yang berusia di bawah 21 tahun) cukup di peroleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
[2] Pasal 6 Ayat (4): Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
[3] Pasal 6 Ayat (6): ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
[4] Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naysabouri, Sahih Muslim, Juz 1, Edisi 5, (Lebanon; Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2012), h 604.
[5] Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur Perspektif Fiqh Islam, HAM Internasional, UU Nasional, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), h 20-22.
[6] Konverensi Wali Gerja Indonesia, Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik), Alih Bahasa, Edisi 2006, (Jakarta; 2006)
[7] Konverensi Wali Gerja Indonesia, Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik), Alih Bahasa, Edisi 2006, (Jakarta; 2006)
[8] Anguttara Nikaya II
[9] I Nyoman Arthayasa, Sujawlanto, Ketut Yeti Suneli, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya, 2004), h 12-14.
[10] Kitab Li JI (Kitab Suci Tentang Kesusilaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar