latar belakang
Istilah perkawinan dibawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam
sebenrarnya masih simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan kesepakaran yang
berbeda. Maksud pernikahan di bawah umur menurut pendapat mayoritas yaitu orang
yang belum mencapai baligh bagi pria dengan ditandai keluarnya air mani dan
belum mencapai menstruasi bagi wanita yang menurut fiqh Syafi’i minimal dapat
terjadi pada usia 9 tahun. Sedangakan Imam Hanafi berpendapat bahwa usia baligh
bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan perempuan adalah 17 tahun,
sementara Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Syafi’i menyebut usia 15 tahun
sebagai tanda baligh, baik untuk laki-laki maupun perempuan.[1]
Dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, batas usia perkawinan
adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, jika melakukan
penyimpangan dari ketentuan usia di atas, maka dapat di selesaikan melalui
dispensasi perkwinan di Pengadilan Agama. Kemudian Kompilasi Hukum Islam
menetapkan usia perkwinan berdasarkan ketetapan yang tertera dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi
laki-laki.
Selain UUP di atas, Indonesia memiliki beberapa perundang-undangan
yang berkaitan dengan usia dewasa, diantaranya adalah BW (hukum perdata), KUHPid,
UU BKKBN, UUPA (Perlindaungan Anak). Dalam hukum perdata Indonesia Usia dewasa
yaitu 18 tahun, KUHPid menetapkan usia dewasa adalah 21 tahun. BKKBN menginginkan
usia perkawinan adalah 25 bagi laki-laki, dan 21 tahun bagi perempuan. UUPA
pasal 4 ayat (1) menetapkan usia dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki, dan 18
tahun bagi perempuan.
Latar
belakang terjadinya perbedaan dalam penetapan usia dewasa menurut
perundang-undangan yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh akibat mental dalam
pelaksanaan undang-undang tersebut, karena dalam penerapan hukuman perdata
tidaklah sama dengan hukuman pidana.
Di sisi lain, perkawinan yang menyeleweng dari penetapan usia KHI,
yaitu 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki dapat diselesaikan melalui jalur
hukum di Pengadilan Agama yaitu Dispensasi Nikah, adanya upaya ini adalah untuk
memberikan solusi bagi mereka yang terlibat suatu perkar hingga terpaksa untuk
melakukan perkawinan di bawah usia yang telah ditetapkan. Makalah ini akan
membahas mengenai DispensasNikah perspektif Kaidah Fikih
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
korelasi Dispensasi nikah dan Kaidah Fiqh?
2.
Bagaimana
korelasi Dispensasi nikah dan cabang-cabang kaidah Fiqh?
A.
Pengertian Dispensasi Nikah
Keberadaan
dispensasi nikah ini sebagai bentuk dari pengejawantahan pasal 7 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974, tentang syarat-syarat perkawinan yaitu “Dalam hal
penyimpangan pada ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak
wanita”. Yang dimaksud ayat (1) adalah syarat keharusan menikah pada usia
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sehingga apa bila usia
pasangan suami isteri atau salah satunya kurang dari usia yang ditetapkan maka
di haruskan meminta dispensasi, dalam hal in diatur dengan meminta perizinan
kepada majelis hakim di Pengadilan Agama.
Adapun
pengertian dispensasi menurtu KBBI adalah pengecualian dari aturan karena
adanya pertimbangan yang khusus, karena pertimbangan yang dikehendaki bersifat
khusus, maka yang berhak memberikan ketetapan hukum hanya pihak pengadilan
berdasakan ketetapan majelis hakim.
Dengan
adanya dispensasi ini, diharapkan dapat membantu para pihak yang dalam hal ini
terpaksa harus melakukan perkawinan dibawah usia yang ditetapkan, karena jika
tidak dilakukan perkawinan dikhawatirkan akan menciptakan mudarat yang lebih
besar, sedangkan maqasid syari’ah juga termasuk menjaga kehormatan, dalam hal
ini menjaga nama baik keluarga.
B.
Korelasi Kaidah Fiqh dan Dispensasi Nikah
Secara
terminologis, langkah penentuan usia kawin di dasarkan pada metode Masalahat
Mursalah. Namun demikian karena sifatnya ijtihady, yang kebenarannya
relatif, sehingga ketentuan tersebut tidak bersifat kaku.[2] Meskipun sifatnya ijtihady, jika di lacak
lebih jauh penentuan usia nikah yang ditetapkan oleh UUP dan KHI merujuk pada
Firman Allah:
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ
تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ
فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩[3]
Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar
Ayat
tersebut memberikan petunjuk yang bersifat umum, meskipun tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur dapat membahayakan kesejahteraan dan
akan banyak menimbulkan kemudaratan. Akan tetapi menurut pengamatan dan
penelitian beberapa pihak, faktor tidak tercapainya tujuan dari perkawinan
sangat dipengaruhi dengan rendahnya usia kawin. Hal ini diakibatkan karena pola
berfikir yang kurang matang sehingga pasangan tersebut tidak dapat mengatasi
masalah keluarga dengan solusi yang baik, dan pada akhirnya muncul keinginan
untuk bercerai.
Adanya
Dispensasi Nikah ini adalah sebagai upaya untuk memberikan solusi kepada para
pihak yang dengan terpaksa melakukan perkwinan di bawah usia yang telah
ditetapkan, namun dengan catatan jika tidak segera di nikahkan maka akan
menimbulkan bahaya yang lebih besar, contoh yang banyak terjadi di masyarakat yaitu
kehamilan di luar nikah dan masih berusia kurang dari 16 tahun, sedangkan
pelakunya belum mencapai usia 19 tahun dan atau telah melebihi usia 19 tahun,
kemudian meminta penetapan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan izin
melakukan perkawinan dengan tujuan menghindari adanya anak (bayi) yang lahir
tanpa terdampingi oleh hadirnya suami, akibat selanjutnya akan berdampak pada
kondisi mental seorang anak yang apabila dilahirkan tanpa seorang ayah,
mayoritas lingkungan di Indonesia sangat buruk dalam menyikapi hal ini.
Sehingga untuk
menghindari kemudaratan ini, pihak pengadilan diberikan kewenangan untuk
memberikan ketetapan kepada mereka yang meminta Dispensasi perkawinan. Sehingga
menurut hemat penulis, kebijakan ini berkaitan erat dengan kaidah asasi fiqih
yaitu :
أَالضَرَرُ
يُزَالُ
“
Kemudaratan harus dihilangkan”
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Izzudin Ibn Ad al-Salam bahwasannya tujuan syari’ah itu adalah
untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada
tataran yang lebih konkret maka dapat dikatakan maslahat membawa manfaat
sedangkan mafsadat mengakibatkan kemadaratan. Sehingga para ulama lebih
memerinci dengan memberikan beberapa persyaratan dan ukuran tertentu pada
maslahat.[4]
Untuk lebih memahami
maksud dari kaidah di atas dapat kita mulai dari memahami beberapa arti yang
disampaikan para ahli, al-Dhararu berarti membuat kerusakan kepada orang
lain secara mutlak, membuat kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang
tidak diperbolehkan dengan agama, adapun yang diperbolehkan agama yaitu seperti
hukuman Qishas, Hudud, Diyat, dll.[5] Kaidah
tersebut sering di ungkapkan dengan apa yang tersebut dalam hadits:
لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَرَ
“
tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan” (HR. Hakim dan lainnya
dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)
Menurut
Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah, la dharara artinya adalah la
yadhurru al-rajulu al-rajulu (tidak diperbolehkan seseorang berbuat bahaya
terhadap saudara-saudaranya yang menyebabkan haknya jadi berkurang. Sedang al-Dirara
menurut Ibnu Atsir adalah la yujazihi ‘ala idhrar ihi bi idkhal al-dhariri
‘alaihi (tidak diperbolehkan orang yang mendapat perlakuan bahaya dari
orang lain membalasnya dengan bahaya).[6]
Al-Husaini
mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagimu ada
mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada
manfaatnya dan bagi orang lain (tetangga) memudaratkan”.[7]
Menurut
al-Zauhari, al-Dhiraru adalah lawan kata dari manfaat, oleh karena itu,
kata ini mengukuhkan kepada kata yang pertama (al-dhararu). Tetapi
menurut beberapa ulama lain seperti Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Arba’in
al-Nawawiyah mengatakan kata al-Dhararu artinya berbuat kerusakan
kepada orang lain. Sedangkan kata al-dhiraru artinya berbuat kerusakan
kepada orang lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh agama. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan mengenai pengertian ini yaitu tidak diperkenankan memudaratkan dan
di mudaratkan.[8]
Kaidah
di atas di dukung pula dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang mengandung
maksud yang sama dengan kaidah tersebut yaitu diataranya:
...ۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ
ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ ...
... Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. [9]
وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ
أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ ١٨٣
Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan.[10]
Dari dua landasan ayat ini, dapat
dipahami bahwasannya Allah sangat melarang umatnya membuat kerusakan yang
merugikan orang lain, baik kerugian itu bersifat fisik ataupun non fisik. Jika
dikaitkan dengan adanya dispensasi nikah, maka dapat di korelasikan pada sebab
yang melatar belakangi para pihak meminta untuk mendapatkan dispensasi nikah,
yaitu keinginan untuk mendapatkan izin melaksanakan perkawinan karena adanya
suatu perkara yang dapat di selesaikan dengan melakukan perkawinan, perkara
yang sering terjadi di masyrakat adalah Lamaran Keri Meteng Disek (LKMD)
kemudian pelaku belum mencapai usia perkawinan sehingga kedua orang tua sepakat
untuk menikahkan pelaku dengan meminta izin Pengadilan Agama. Sehingga menurut hemat penulis, Dispensasi
yang diberikan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama memberikan kemudahan dan
dapat dikatakan menutup aib keluarga pelaku, dan ini sangat berkaitan erat
dengan tujuan dari kaidah ad-Dararu yuzalu.
C.
Cabang-cabang Kaidah al-Dararu yuzalu
Kaidah-kaidah
yang merupakan cabang dari al-dharar yuzalu diantaranya adalah:
الضَرُورَةُ
تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
“kemudaratan itu membolehkan hal-hal
yang dilarang”
Dalam hal ini dispensasi nikah
merupupakan sarana untuk membolehkan perkawinan dibawah usia yang telah
ditentukan undang-undang, tentu saja hal ini melanggar ketetapan yang telah
diberlakukan, sehingga kaidah ini dapat di jadikan dasar terlaksananya dispensasi
nikah.
الضَّرُوْرَاتُ
تُقَدًّرُ بِقَدَرِهَا
“Keadaan
darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
Dalam penerapan dispensasi nikah, majelis hakim mempunyai hak untuk
memutuskan apakan pihak yang berperkara dapat di izinkan melakukan perkawinan
atau tidak, hal ini juga di dasarkan pada alasan para pihak meminta dispensasi,
sekiranya alasan itu menurut hakim tidak dikategorikan sebagai masalah yang
sangat darurat, maka hakim berhak menolak untuk memberikan izin perkawinan.
Sehingga kadar kedaruratan juga mempengaruhi keputusan majelis hakim dalam
memberikan izin.
الضَّرَرُ
يُزَالُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Keumudaratan harus ditolak dalam batas-batas
yang memungkinkan”
Penerapan kaidah ini mempunyai kesamaan dengan kaidah di atas,
dimana kedua kaidah ini sangat mempertimbangkan ukuran batas-batas kebolehan
seserorang diperbolehkan meminta dispensasi perkawinan.
الضَرَرُ
لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan degan
kemudaratan”
Seseorang yang hendak meminta dispensasi pasti memiliki alasan
untuk mencegah terjadinya bahaya yang akan timbul di kemudian hari, sehingga tidak
mungkin para pihak tersebut melakukan mudarat yang lain untuk menghindari
mudarat yang akan datang, misalnya kemudaratan itu berupa kehamilan, untuk
mencegah terlahirnya seorang anak maka menempuh jalan aborsi. Tindakan yang
seperti inilah yang dilarang, sehingga perlu adanya solusi lain yang lebih
maslahat.
يُحْتَمَلُ
الضَّرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَّرَرِ العَامِ
“Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan
demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Penerapannya yaitu kebolehan putusan hakim untuk melakukan perkawinan meskipun pihak
berperkara masih dibawah usia yang ditetapkan, dengan tujuan menghilangkan
kemungkinan buruk yang akan terjadi di kemudian hari jika pihak tersebut tidak
diberikan izin melakukan perkawinan, seperti terlahirnya seorang anak tanpa diketahui
siapa ayahnya, sehingga dalam lingkungan masyarakat anak tersebut akan mendapat
tekanan mental dan perlakuan yang cenderung diskriminatif dengan dalih anak
haram.
kesimpulan
1.
Korelasi
kaidah fiqh dan Dispensasi nikah dapat terlihat dari kaidah asasi al-dararu yuzalu yang memiliki tujuan dan
maksud yang sama dengan adanya dispensasi nikah, yaitu untuk memberikan solusi
kepada orang-orang yang dengan terpaksa melanggar ketetapan usia perkawinan
yang telah ditetapkan oleh undang-undang no.1 tahun 1974 pasal 7. Dispensasi
ini juga sebagai pengejawantahan dari pasal 7 ayat (2) yang mengharuskan
meminta dispensasi perkawinan bagi mereka yang masih belum mencapai usia 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
2.
Beberapa
kaidah cabang dari kaidah al dararu yuzalu mempunyai korelasi yang dapat
diterapkan, namun menurut hemat penulis tidak semua kaidah cabang dapat
diterapkan, karena setiap kaidah memiliki ke khususan dan batasan tersendiri.
Sedikitnya ada lima kaidah yang dapat dikategorikan mempunuyai korelasi yang
erat pada upaya dispensasi nikah di Pengadilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015.
Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, Jakarta: Kencana, 2006.
Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender), Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III.
Toha
Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, Yogyakarta: Teras, 2011.
[1] Husein,
Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), (Yogyakarta:
LKIS, 2001), 90.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Cet II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 59.
[3] QS.
an-Nisa’ [4] ayat 9.
[4] Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, Cet I, (Jakarta: Kencana, 2006), 67.
[5] Ali Ahmad
Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, 252
[6] Ibnu Atsir, al-Nihayah
fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, 81
[7] Djazuli,,, 68.
[8] Toha Andiko, Ilmu Qowa’id
Fiqhiyyah, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2011), 110.
[9] QS.
al-Baqarah: 2 ayat 231.
[10] QS. Asy Syu’ara: 26 ayat 183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar