Sabtu, 01 April 2017

korelasi dispensasi nikah dan kaidah fiqhiyah

latar belakang
Istilah perkawinan dibawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam sebenrarnya masih simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan kesepakaran yang berbeda. Maksud pernikahan di bawah umur menurut pendapat mayoritas yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dengan ditandai keluarnya air mani dan belum mencapai menstruasi bagi wanita yang menurut fiqh Syafi’i minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Sedangakan Imam Hanafi berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan perempuan adalah 17 tahun, sementara Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Syafi’i menyebut usia 15 tahun sebagai tanda baligh, baik untuk laki-laki maupun perempuan.[1]
Dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, batas usia perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, jika melakukan penyimpangan dari ketentuan usia di atas, maka dapat di selesaikan melalui dispensasi perkwinan di Pengadilan Agama. Kemudian Kompilasi Hukum Islam menetapkan usia perkwinan berdasarkan ketetapan yang tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Selain UUP di atas, Indonesia memiliki beberapa perundang-undangan yang berkaitan dengan usia dewasa, diantaranya adalah BW (hukum perdata), KUHPid, UU BKKBN, UUPA (Perlindaungan Anak). Dalam hukum perdata Indonesia Usia dewasa yaitu 18 tahun, KUHPid menetapkan usia dewasa adalah 21 tahun. BKKBN menginginkan usia perkawinan adalah 25 bagi laki-laki, dan 21 tahun bagi perempuan. UUPA pasal 4 ayat (1) menetapkan usia dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki, dan 18 tahun bagi perempuan.
Latar belakang terjadinya perbedaan dalam penetapan usia dewasa menurut perundang-undangan yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh akibat mental dalam pelaksanaan undang-undang tersebut, karena dalam penerapan hukuman perdata tidaklah sama dengan hukuman pidana.
Di sisi lain, perkawinan yang menyeleweng dari penetapan usia KHI, yaitu 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Pengadilan Agama yaitu Dispensasi Nikah, adanya upaya ini adalah untuk memberikan solusi bagi mereka yang terlibat suatu perkar hingga terpaksa untuk melakukan perkawinan di bawah usia yang telah ditetapkan. Makalah ini akan membahas mengenai DispensasNikah perspektif Kaidah Fikih

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana korelasi Dispensasi nikah dan Kaidah Fiqh?
2.      Bagaimana korelasi Dispensasi nikah dan cabang-cabang kaidah Fiqh?































A.    Pengertian Dispensasi Nikah
Keberadaan dispensasi nikah ini sebagai bentuk dari pengejawantahan pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, tentang syarat-syarat perkawinan yaitu “Dalam hal penyimpangan pada ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Yang dimaksud ayat (1) adalah syarat keharusan menikah pada usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sehingga apa bila usia pasangan suami isteri atau salah satunya kurang dari usia yang ditetapkan maka di haruskan meminta dispensasi, dalam hal in diatur dengan meminta perizinan kepada majelis hakim di Pengadilan Agama.  
Adapun pengertian dispensasi menurtu KBBI adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus, karena pertimbangan yang dikehendaki bersifat khusus, maka yang berhak memberikan ketetapan hukum hanya pihak pengadilan berdasakan ketetapan majelis hakim. 
Dengan adanya dispensasi ini, diharapkan dapat membantu para pihak yang dalam hal ini terpaksa harus melakukan perkawinan dibawah usia yang ditetapkan, karena jika tidak dilakukan perkawinan dikhawatirkan akan menciptakan mudarat yang lebih besar, sedangkan maqasid syari’ah juga termasuk menjaga kehormatan, dalam hal ini menjaga nama baik keluarga.  
B.     Korelasi Kaidah Fiqh dan Dispensasi Nikah
Secara terminologis, langkah penentuan usia kawin di dasarkan pada metode Masalahat Mursalah. Namun demikian karena sifatnya ijtihady, yang kebenarannya relatif, sehingga ketentuan tersebut tidak bersifat kaku.[2]  Meskipun sifatnya ijtihady, jika di lacak lebih jauh penentuan usia nikah yang ditetapkan oleh UUP dan KHI merujuk pada Firman Allah:
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩[3]
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar

Ayat tersebut memberikan petunjuk yang bersifat umum, meskipun tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur dapat membahayakan kesejahteraan dan akan banyak menimbulkan kemudaratan. Akan tetapi menurut pengamatan dan penelitian beberapa pihak, faktor tidak tercapainya tujuan dari perkawinan sangat dipengaruhi dengan rendahnya usia kawin. Hal ini diakibatkan karena pola berfikir yang kurang matang sehingga pasangan tersebut tidak dapat mengatasi masalah keluarga dengan solusi yang baik, dan pada akhirnya muncul keinginan untuk bercerai.
Adanya Dispensasi Nikah ini adalah sebagai upaya untuk memberikan solusi kepada para pihak yang dengan terpaksa melakukan perkwinan di bawah usia yang telah ditetapkan, namun dengan catatan jika tidak segera di nikahkan maka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar, contoh yang banyak terjadi di masyarakat yaitu kehamilan di luar nikah dan masih berusia kurang dari 16 tahun, sedangkan pelakunya belum mencapai usia 19 tahun dan atau telah melebihi usia 19 tahun, kemudian meminta penetapan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan izin melakukan perkawinan dengan tujuan menghindari adanya anak (bayi) yang lahir tanpa terdampingi oleh hadirnya suami, akibat selanjutnya akan berdampak pada kondisi mental seorang anak yang apabila dilahirkan tanpa seorang ayah, mayoritas lingkungan di Indonesia sangat buruk dalam menyikapi hal ini.
Sehingga untuk menghindari kemudaratan ini, pihak pengadilan diberikan kewenangan untuk memberikan ketetapan kepada mereka yang meminta Dispensasi perkawinan. Sehingga menurut hemat penulis, kebijakan ini berkaitan erat dengan kaidah asasi fiqih yaitu :
أَالضَرَرُ يُزَالُ
“ Kemudaratan harus dihilangkan”
Sebagaimana yang dikatakan oleh Izzudin Ibn Ad al-Salam bahwasannya tujuan syari’ah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka dapat dikatakan maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadat mengakibatkan kemadaratan. Sehingga para ulama lebih memerinci dengan memberikan beberapa persyaratan dan ukuran tertentu pada maslahat.[4]
Untuk lebih memahami maksud dari kaidah di atas dapat kita mulai dari memahami beberapa arti yang disampaikan para ahli, al-Dhararu berarti membuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, membuat kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diperbolehkan dengan agama, adapun yang diperbolehkan agama yaitu seperti hukuman Qishas, Hudud, Diyat, dll.[5] Kaidah tersebut sering di ungkapkan dengan apa yang tersebut dalam hadits:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَرَ
“ tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan” (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)
Menurut Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah, la dharara artinya adalah la yadhurru al-rajulu al-rajulu (tidak diperbolehkan seseorang berbuat bahaya terhadap saudara-saudaranya yang menyebabkan haknya jadi berkurang. Sedang al-Dirara menurut Ibnu Atsir adalah la yujazihi ‘ala idhrar ihi bi idkhal al-dhariri ‘alaihi (tidak diperbolehkan orang yang mendapat perlakuan bahaya dari orang lain membalasnya dengan bahaya).[6]
Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagimu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain (tetangga) memudaratkan”.[7]
Menurut al-Zauhari, al-Dhiraru adalah lawan kata dari manfaat, oleh karena itu, kata ini mengukuhkan kepada kata yang pertama (al-dhararu). Tetapi menurut beberapa ulama lain seperti Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Arba’in al-Nawawiyah mengatakan kata al-Dhararu artinya berbuat kerusakan kepada orang lain. Sedangkan kata al-dhiraru artinya berbuat kerusakan kepada orang lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh agama. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai pengertian ini yaitu tidak diperkenankan memudaratkan dan di mudaratkan.[8]
Kaidah di atas di dukung pula dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang mengandung maksud yang sama dengan kaidah tersebut yaitu diataranya:
...ۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ ...
... Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. [9]
وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ ١٨٣
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.[10]

Dari dua landasan ayat ini, dapat dipahami bahwasannya Allah sangat melarang umatnya membuat kerusakan yang merugikan orang lain, baik kerugian itu bersifat fisik ataupun non fisik. Jika dikaitkan dengan adanya dispensasi nikah, maka dapat di korelasikan pada sebab yang melatar belakangi para pihak meminta untuk mendapatkan dispensasi nikah, yaitu keinginan untuk mendapatkan izin melaksanakan perkawinan karena adanya suatu perkara yang dapat di selesaikan dengan melakukan perkawinan, perkara yang sering terjadi di masyrakat adalah Lamaran Keri Meteng Disek (LKMD) kemudian pelaku belum mencapai usia perkawinan sehingga kedua orang tua sepakat untuk menikahkan pelaku dengan meminta izin Pengadilan Agama.  Sehingga menurut hemat penulis, Dispensasi yang diberikan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama memberikan kemudahan dan dapat dikatakan menutup aib keluarga pelaku, dan ini sangat berkaitan erat dengan tujuan dari kaidah ­ad-Dararu yuzalu.

C.    Cabang-cabang Kaidah  al-Dararu yuzalu
Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari al-dharar yuzalu diantaranya adalah:

الضَرُورَةُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang

Dalam hal ini dispensasi nikah merupupakan sarana untuk membolehkan perkawinan dibawah usia yang telah ditentukan undang-undang, tentu saja hal ini melanggar ketetapan yang telah diberlakukan, sehingga kaidah ini dapat di jadikan dasar terlaksananya dispensasi nikah.
الضَّرُوْرَاتُ تُقَدًّرُ بِقَدَرِهَا
Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
Dalam penerapan dispensasi nikah, majelis hakim mempunyai hak untuk memutuskan apakan pihak yang berperkara dapat di izinkan melakukan perkawinan atau tidak, hal ini juga di dasarkan pada alasan para pihak meminta dispensasi, sekiranya alasan itu menurut hakim tidak dikategorikan sebagai masalah yang sangat darurat, maka hakim berhak menolak untuk memberikan izin perkawinan. Sehingga kadar kedaruratan juga mempengaruhi keputusan majelis hakim dalam memberikan izin.
الضَّرَرُ يُزَالُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Keumudaratan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”
Penerapan kaidah ini mempunyai kesamaan dengan kaidah di atas, dimana kedua kaidah ini sangat mempertimbangkan ukuran batas-batas kebolehan seserorang diperbolehkan meminta dispensasi perkawinan.
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Kemudaratan tidak boleh dihilangkan degan kemudaratan”
Seseorang yang hendak meminta dispensasi pasti memiliki alasan untuk mencegah terjadinya bahaya yang akan timbul di kemudian hari, sehingga tidak mungkin para pihak tersebut melakukan mudarat yang lain untuk menghindari mudarat yang akan datang, misalnya kemudaratan itu berupa kehamilan, untuk mencegah terlahirnya seorang anak maka menempuh jalan aborsi. Tindakan yang seperti inilah yang dilarang, sehingga perlu adanya solusi lain yang lebih maslahat.
يُحْتَمَلُ الضَّرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَّرَرِ العَامِ
“Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Penerapannya yaitu kebolehan putusan hakim  untuk melakukan perkawinan meskipun pihak berperkara masih dibawah usia yang ditetapkan, dengan tujuan menghilangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi di kemudian hari jika pihak tersebut tidak diberikan izin melakukan perkawinan, seperti terlahirnya seorang anak tanpa diketahui siapa ayahnya, sehingga dalam lingkungan masyarakat anak tersebut akan mendapat tekanan mental dan perlakuan yang cenderung diskriminatif dengan dalih anak haram.






kesimpulan
1.      Korelasi kaidah fiqh dan Dispensasi nikah dapat terlihat dari kaidah asasi  al-dararu yuzalu  yang memiliki tujuan dan maksud yang sama dengan adanya dispensasi nikah, yaitu untuk memberikan solusi kepada orang-orang yang dengan terpaksa melanggar ketetapan usia perkawinan yang telah ditetapkan oleh undang-undang no.1 tahun 1974 pasal 7. Dispensasi ini juga sebagai pengejawantahan dari pasal 7 ayat (2) yang mengharuskan meminta dispensasi perkawinan bagi mereka yang masih belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
2.      Beberapa kaidah cabang dari kaidah al dararu yuzalu mempunyai korelasi yang dapat diterapkan, namun menurut hemat penulis tidak semua kaidah cabang dapat diterapkan, karena setiap kaidah memiliki ke khususan dan batasan tersendiri. Sedikitnya ada lima kaidah yang dapat dikategorikan mempunuyai korelasi yang erat pada upaya dispensasi nikah di Pengadilan Agama.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, Jakarta: Kencana, 2006.
Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III.
Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, Yogyakarta: Teras, 2011.




[1] Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), (Yogyakarta: LKIS, 2001), 90.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 59.
[3] QS. an-Nisa’ [4] ayat 9.
[4] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, (Jakarta: Kencana, 2006), 67.
[5] Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, 252
[6] Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, 81
[7] Djazuli,,, 68.
[8] Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2011), 110.
[9] QS. al-Baqarah: 2 ayat 231.
[10] QS. Asy Syu’ara: 26 ayat 183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar