Hukum Islam dan Kejahatan Seksual
Latar belakang
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA)
tindak pidana dibagi dalam tiga kategori yaitu: Jinayah, Janhah dan Mukhlafah.
Jinayah yang dimaksudkan adalah jinayah yang disebutkan dalam
konstisusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Janhah adalah
perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu, tetapi tidak
sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, dengan kata
lain berbeda dengan hukuman yang diterima pelaku jinayah. Mukhalafah adalah
jenis pelanggaran ringan yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu.[1]
Jinayah dalam bahasa
indonesia disebut juga dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak
pidana. Sedangkan dalam perundang-undangan
di Indonesia Hukum Pidana membedakan antara tindak kejahatan dan pelanggaran,
dan memberikan sanksi yang relatif berbeda pula.
Untuk kasus kejahatan, dalam KUHPid BAB IX Pasal 86 dijelaskan
bahwa “Apabila disebut baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti
suatu kejahatan tertentu maka disitu termasuk pembantuan dan percobaan
melakukan kejahatan, keculai jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan”.
Dari pasal tersebut dapat diasumsikan penulis bahwa kejahatan itu terbentuk
dari serangkaian tindakan yang dilarang.
Untuk membahas mengenai kejahatan seksual di Indonesia perlu adanya
korelasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan juga Komnas
Perempuan, dalam hal ini, KPAI dan Komnas Perempuan digunakan penulis sebagai
acuan pengambilan data dari survei dan analisis yang telah dilakukan.
Menurut catatan tahun 2016 Komnas Perempuan, dari kasus kekerasan
terhadap perempuan, kekerasan seksual berada pada peringkat kedua, dengan
jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%),
sedangkan pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).[2]
Seiring dengan peningkatan jumlah kekerasan yang tidak dapat
dikendalikan ini, penulis mencoba mengulas mengenai kejahatan seksual menurut
Hukum Islam dan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia.
Rumusan Masalah
Tujuan pokok dari penulisan karya
ilmiah ini adalah:
1.
Bagaimana
Islam Memandang Kejahatan Seksual di Indonesia?
2.
Bagaimana
Supremasi Hukum di Indonesia Dalam Mengatasi Kejahatan Seksual ?
Pembahasan
A.
Kejahatan/Pelecehan Seksual Menurut Hukum Islam dan Dampak Hukumnya
Kejahatan seksual dalam Hukum Islam lebih diidentikkan dengan zina,
namun yang penulis kehendaki disini adalah zina yang dilakukan dengan cara
memaksa dan atau diiringi dengan intimidasi lain, sehingga mengakibatkan
kerusakan fatal pada anggota tubuh korban, kemudian kejahatan seksual ini tidak berujung
pada kematian korban, sebab bila membahas tetang kematian korban, maka hukum
yang diakibatkan akan berbeda. Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan
seks yang diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku
lain secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks.[3]
Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan
tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa
adanya unsur subhat.[4]
Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila, seperti lesbian dan
homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si pelaku tidak dihukum hadd
melainkan dengan Takzir, dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang
yang melakukan pemaksaan saja (pemerkosa) yang dijatuhi hukuman hadd. Namun
ada sebagian pendapat yang menyatakan, bahwa hukuman si pemaksa dikategorikan
sebagai tindakan yang sadis dan masuk dalam delik hirabah. Hal ini di
dasarkan pada lafadz wayas’auna fi al-ard fasadan (orang yang membuat
kerusakan dimuka bumi). Kejahatan pemerkosaan, sabotase, bahkan terorisme
termasuk dalam kategori jarimah permapokan (perampasan) yang pelakunya harus
dikenakan hukuman yang berat.[5]
Dari uraian singkat diatas, dapat ditarik kesimpulan bawasannya
kejahtan seksual tidak dihukumi sebagaimana pelaku zina pada umumnya, namun
pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman berupa takzir selama perbuatan itu
tidak menimbulkan cidera serius, jika terjadi cidera serius dan bersifat paten
maka bukan lagi termasuk dalam pelecehan seksual melainkan kejahatan seksual
yang nantinya akan mendapat hukuman berupa diyat.
Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlaq umat manusia yang
selalu cenderung melakukan kehendak sesuai dengan hawa nafsu, bersamanya
disertakan Al-Qur’an yang tidak akan termakan oleh zaman, memberikan ketentuan
dan ketetapan serta ancaman kepada siapa saja yang melakukan perbuatan
terlarang. Pelecehan seksual dalam Al-Qur’an tidak terbahas secara eksplisit,
namun Allah memberikan kemampuan kepada hambanya untuk menganalisis melalui
akal yang sempurna sehingga larangan pelecehehan seksual terbahas dalam
Al-Qur’an secara Implisit dan atau tersirat, sebagaimana Allah berfirman dalam
beberapa ayat sebagai berikut:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ
وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ
وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ
أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٞ ٢١[6]
Tafsir:
1.
(Hai orang-orang
yang beriman! Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan) mengikuti
godaan-godaannya. (Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan,
sesungguhnya setan itu) yakni yang diikutinya itu (selalu menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji) yakni perbuatan yang buruk (dan yang mungkar) menurut
syariat, yaitu jika perbuatan itu diikuti (Sekiranya tidaklah karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari
kalian bersih) hai orang-orang yang menuduh, disebabkan berita bohong yang
kalian katakan itu (selama-lamanya) tidak akan menjadi baik dan tidak akan
menjadi bersih dari dosa ini hanya dengan bertobat daripadanya (tetapi Allah
membersihkan) menyucikan (siapa yang dikehendaki-Nya) dari dosa, yaitu dengan
menerima tobatnya. (Dan Allah Maha Mendengar) tentang apa yang telah kalian
katakan (lagi Maha Mengetahui) tentang apa yang kalian maksud.[7]
2.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.”
Yakni jalan-jalan, cara-cara dan apasaja yang diperintahkannya.”barang siapa
yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh
mengerjakan perbuatan keji dan mungkar,” ini merupakan peringatan dengan
ungkapan yang sangat tajam, ringkas dan baik....[8]
قُل
لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ
ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ ٣٠[9]
Tafsir:
1. (Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan
pandangannya) dari apa-apa yang tidak dihalalkan bagi mereka melihatnya. Huruf
Min di sini adalah Zaidah (dan memelihara kemaluannya) daripada hal-hal yang
tidak dihalalkan untuknya (yang demikian itu adalah lebih suci) adalah lebih
baik (bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat") melalui penglihatan dan kemaluan mereka, kelak Dia akan
membalasnya kepada mereka.[10]
2. (katakanlah
kepada laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya”.
Pandangan mata dapat menjadi rusaknya hati, seperti yang disebutkan oleh
sebagian salaf: “pandangan mata merupakan panah beracun yang mengincar hati.”
Oleh kerena itu, Allah memerintah kita untuk menjaga kemaluan sebagaimana Dia
memerintahkan kita untuk menjaga pandangan yang merupakan pendorong ke arah
itu. Firman Allah “katakanlah kepada laki-laki yang beriman: hendaklah
mereka menahan padangannya dan memelihara kemaluannya.” Menjaga kemaluan
kadangkala maksudnya adalah mencegah diri dari perbuatan zina seperti Allah
sebutkan dalam ayat “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”(QS.
al-Mu’minuun: 5). [11]
وَقُل
لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ... ٣١[12]
Tafsir:
1. (Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan
pandangannya) daripada hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka melihatnya
(dan memelihara kemaluannya) dari hal-hal yang tidak dihalalkan untuknya (dan
janganlah mereka menampakkan) memperlihatkan (perhiasannya, kecuali yang biasa
tampak daripadanya) yaitu wajah dan dua telapak tangannya, maka kedua
perhiasannya itu boleh dilihat oleh lelaki lain, jika tidak dikhawatirkan
adanya fitnah. Demikianlah menurut pendapat yang membolehkannya. Akan tetapi
menurut pendapat yang lain hal itu diharamkan secara mutlak, sebab merupakan
sumber terjadinya fitnah. Pendapat yang kedua ini lebih kuat demi untuk menutup
pintu fitnah. (Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya)
hendaknya mereka menutupi kepala, leher dan dada mereka dengan kerudung atau
jilbabnya (dan janganlah menampakkan perhiasannya) perhiasan yang tersembunyi,
yaitu selain dari wajah dan dua telapak tangan (kecuali kepada suami mereka).[13]
2. Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah
mereka menahan pandangan mereka” yakni dari perkara
yang haram mereka lihat, diantranya melihat kepada laki-laki selain dari suami
mereka. Oleh sebab itu sebagian besar ulama berpendapat, wanita tidak boleh
melihat kepada laki-laki yang bukan mahram, baik dengan syahwat ataupun tanpa
syahwat. Sebagian ulama beralil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh abu
dawud dan at-Tirmidzi, dari jalur az-Zuhri, dari Nabhan, maula Ummu Salamah, ia
bercerita, Ummu Salamah bercerita kepadanya bahwa suatu hari ia dan Maimunah
bersama Rasulullah SAW, ia berkata” ketika kami berada disisi beliau, tiba-tiba
datanglah Ibnu Ummi Maktum dan masuk menemui beliau. Peristiwa itu terjadi
setelah turunnya perintah berhijab. Rasulullah Saw berkata: Berhijablah darinya”.
Aku berkata:” Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang tidak dapat melihat
kami dan tidak mengenali kami?” Maka Rasulullah menjawab:
أَوْ عَمْيَاوَانِ
أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟
“Apakah kalian
berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?”
Sebagian ulama lainnya berpendapat:”kaum wanita
boleh melihat kaum laki-laki bukan mahramnya asalkan tanpa disertai syahwat.
Seperti yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih, bahwa Rasulullah Saw,
menyaksikan kaum Habasyah yang sedang bermain tombak pada hari ‘Ied di dalam
Masjid, sementara ‘Aisyah Ummul Mukminin r.a juga menyaksikan mereka dari
belakang beliau, beliau menutupinya dari
mereka hingga ‘Aisyah jemu dan pulang”.[14]
...وَلَا
تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا
لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ
مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٣
Tafsir:
1.
(Dan
janganlah kalian paksakan budak-budak wanita kalian) yaitu sahaya wanita milik
kalian (untuk melakukan pelacuran) berbuat zina (sedangkan mereka sendiri
menginginkan kesucian) memelihara kehormatannya dari perbuatan zina. Adanya
keinginan untuk memelihara kehormatan inilah yang menyebabkan dilarang memaksa,
sedangkan syarath di sini tidak berfungsi sebagaimana mestinya lagi (karena
kalian hendak mencari) melalui paksaan itu (keuntungan duniawi) ayat ini
diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubay, karena dia memaksakan
hamba-hamba sahaya perempuannya untuk berpraktek sebagai pelacur demi mencari
keuntungan bagi dirinya. (Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya
Allah kepada mereka yang telah dipaksa itu adalah Maha Pengampun) (lagi Maha
Penyayang).[15]
2.
“Dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran” Dahulu kaum
Jahiliyyah, apabila mereka memiliki budak-budak wanita, mereka mengirimnya
untuk berzina dan mengharuskan budak-budak itu mengirimkan setoran yang mereka
ambil setiap waktu. Ketika Islam datang, Allah melarang kaum mukminin dari hal
itu. Sebab turunnya ayat yang mulia ini seperti yang disebutkan oleh sejumlah
tafsir dari kalangan Salaf dan Khalaf berkenaan dengan ‘Abdullah bin Ubay bin
Salul, ia memiliki budak wanita yang ia paksa untuk melacur karena mengharapkan
setoran darinya, karena menginginkan anak-anak mereka dan kekuasaannya,
demikian anggapannya. ”Sedang mereka sendiri menginginkan kesucian” ini dilihat
dari kebiasaan umum terjadi, tidak bisa diambil makna implisit dari Firman
Allah tersebut. “Karena kamu Hendak mencari keuntungan duniawi” yakni
mengharapkan setoran mereka, bayaran mereka dan anak-anak mereka. Rasulullah
telah melarang mengambil uang hasil upah membekam, bayaran pelacur dan bayaran
dukun.”Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu)
yakni memberi ampunan untuk mereka. Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan perkataan
‘Abdullah bin Abbas r.a:” jika kalian melakukannya (pelacuran karena dipaksa
tuannya), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang kepada
mereka dan dosa mereka ditimpakan kepada orang-orang yang memaksa mereka”.
Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha’ al-Khurasani, al-A’masy dan
Qatadah. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah
mengangkat (memaafkan) dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang
dilakukan karena terpaksa.[16]
3.
“Sedang mereka
sendiri menghendaki kesucian” itu adalah suatu jumlah muta’aridhah (kalimat
pemisah antara jumlah pertama dan kedua), yang gunanaya untuk menjelek-jelekkan
anjuran berbuat keji dan memaksa orang untuk mengerjakan kekejian itu. Padahal
secara prinsip, setiap hamba adalah dibawah asuhan tuan. Maka jika hamba itu
cenderung berbuat keji, tuannya harus meluruskan. Adapun untuk menyuruhnya
melakukan perbuatan keji itu sekalipun si hamba sahaya itu tetap enggan dan
bermaksud menjaga diri, maka upaya seperti itu sangat melampaui batas. Seorang
hamba sahaya yang bersikap demikian jauh lebih baik daripada tuannya. Dia lebih
mulia dan terhormat daripada tuannya. “karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi” itu memberikan isyarat tentang kerenahan pekerjaan mereka itu. Sebab
milik manusia yang paling berharga adalah harga diri, lalu barang yang sangat
berharga itu ditukar dengan harga yang paling rendah. “Karena sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang sesudah mereka disiksa” itu
menunjukkan bahwa pihak yang dipaksa, dalam hal ini adalah hamba sahaya, akan
diampuni Allah, sedang pihak yang memaksa dalam hal ini adalah tuan, akan
dilaknat dan dimurkai Allah.[17]
Ayat
pertama, ayat tersebut menjelaskan secara umum mengenai
larangan mengikuti perbuatan yang identik dengan sifat syaitan, yaitu perbuatan
yang di dominasi oleh syawat sehingga cenderung untuk melakukan perbuatan keji
dan mungkar menurut syara’. Keumuman ayat ini telah mencakup berbagai tindak
kejahatan secara umum, sehingga menurut hemat penulis ayat ini berkaitan dengan
tindak pidana kejahatan seksual.
Ayat
kedua dan ketiga, spesifikasi ayat tersebut terkait
pembahasan mengenai pergaulan laki-laki dan perempuan (lawan jenis), serta
membuktikan bahwa al-Qur’an telah membicarakan pelecehan seksual secara
implisit melalui kalimat yang halus. Lebih jauh kedua ayat tersebut memberikan
penjelasan mengenai tatacara agar seseorang dapat menjaga mahkota (keperawanan)
agar senantiasa terhindar dari berbagai upaya yang mengarah kepada perbuatan
zina. Jika diteliti lebih lanjut ayat ini merupakan ayat yang mengantisipasi
dari berbagai perbuatan pelecehan seksual yang dimulai dari diri sediri, hal
ini dapat terlihat bagaimana ayat ini melarang memandang lawan jenis dengan
berlebihan, melarang memandang bagian tubuh yang menjadi aurat bagi lawan
jenisnya. Hal ini senada dengan tujuan pelarangan pelecehan seksual perundang-undangan
di Indonesia yaitu melindungi hak asasi manusia yang merupakan hak dasar secara
kodrati melekat pada manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Ayat
keempat, ayat ini mengindikasikan adanya praktek prostitusi
yang dilakukan oleh si tuan kepada si budak, dengan tujuan memperoleh
keuntungan dari usaha tersebut, sedangkan si tuan memaksa budaknya untuk
berbuat demikian. Sebagaimana KUHP juga melarang dan mempidanakan pelaku
prostitusi sebagaimana yang diatur dalam KUHP pasal 297. Seseorang yang dipaksa melakukan suatu
perbuatan dalam hukum Islam dinyatakan ia tidak bersalah sepanjang dapat
dibuktikan bahwa memang ia melakukan dengan sangat terpaksa dan diiringi
intimidasi. Lalu bagaimana dengan paksaan melakukan zina? Dalam surat an-Nahl
Allah berfirman :
مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ
بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ
وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرٗا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٞ مِّنَ ٱللَّهِ
وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٦ [18]
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.
Menurut hemat penulis pemaksaan
melakukan zina dapat diqiyaskan dengan pemaksaan seseorang untuk menjadi kafir,
dengan catatan ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menolak serta mendapat
ancaman yang dapat membahayakan jiwanya. Selama ia masih bisa menetapkan
hatinya untuk beriman maka ia tidak berdosa. Kekerasan semacam ini telah
dianggap tindakan pidana dalam KUHP pasal 285 tentang kejahatan terhadap
asusila.
Dalam Hukum Islam mencederai anggota yang bersifat tunggal seperti
alat kelamin, mulut, hidung, akan dikenakan diat (denda) penuh yaitu 100
ekor unta, sedangkan bila yang diciderai adalah salah satu anggota tubuh yang
bersifat ganda seperti mata, tangan, kaki, telinga, payudara (baik perempuan
maupun laki-laki) maka dikenai diat setengah yaitu 50 ekor unta. Pada
pencederaan sepasang testis dikenakan diat penuh, dan setengah diat pada
pencederaan salah satunya. Hal itu sebagaimana pencederaan sepasang bokong,
sepasang mulut kemaluan wanita, sepasang payudara (perempuan dan laki-laki),
dan setengah diat pada salah satunya, maka diatnya adalah setengah.[19]
Kejahatan seksual pada wanita yang masih berstatus gadis, berdampak pada
hilangnya Kesucian (keperawanan), sehingga menurut hemat penulis, pelaku
tindak kejahatan ini akan mendapatkan hukuman diat secara penuh
dalam Hukum Islam. Sedangkan kejahatan seksual yang ditujukan pada laki-laki
seperti terpotongnya ujung dari penis, walaupun hanya pucuknya namun hal itu
dapat mempengaruhi pada pengeluaran air seni dari korban.[20] Begitu
juga dengan kejahatan yang dilakukan melalui lubang anus, meskipun tidak ada
selaput yang rusak, tetapi kejahatan ini dapat menimbulkan kerusakan yang fatal
pada diameter lubang anus, sehingga menurut hemat penulis hal ini dapat dikenai
diat penuh.
Adapun dasar hukum yang melandasi diat ini adalah Firman Allah
dalam Surat An-Nisa’ ayat 92
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن
يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَٔٗا فَتَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن
يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ
فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ فَمَن
لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٩٢
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[21]
Hadits Nabi Muhammad SAW
عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ حَزْمٍ, عَنْ
أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ
إِلَى أَهْلِ اَلْيَمَنِ فَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ مَنْ اِعْتَبَطَ
مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ بَيِّنَةٍ, فَإِنَّهُ قَوَدٌ, إِلَّا أَنْ يَرْضَى
أَوْلِيَاءُ اَلْمَقْتُولِ, وَإِنَّ فِي اَلنَّفْسِ اَلدِّيَةَ مِائَةً مِنْ
اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلْأَنْفِ إِذَا أُوعِبَ جَدْعُهُ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَللِّسَانِ
اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلشَّفَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلذِّكْرِ اَلدِّيَةُ, وَفِي
اَلْبَيْضَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلصُّلْبِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْعَيْنَيْنِ
اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلرِّجْلِ اَلْوَاحِدَةِ نِصْفُ اَلدِّيَةِ, وَفِي
الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْجَائِفَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي
اَلْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِنْ
أَصَابِعِ اَلْيَدِ وَالرِّجْلِ عَشْرٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلسِّنِّ خَمْسٌ
مِنْ اَلْإِبِلِ وَفِي اَلْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَإِنَّ اَلرَّجُلَ
يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ, وَعَلَى أَهْلِ اَلذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ (
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي اَلْمَرَاسِيلِ وَالنَّسَائِيُّ, وَابْنُ
خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَأَحْمَدُ, وَاخْتَلَفُوا
فِي صِحَّتِهِ )[22]
Dari Abu Bakar Ibnu Muhammad Ibnu Amar Ibnu Hazem, dari ayahnya,
dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman -dan dalam hadits itu disebutkan-
"Bahwa barangsiapa yang secara nyata membunuh seorang mukmin dengan
sengaja maka ia harus dibunuh, kecuali ahli waris yang terbunuh rela; diyat (denda) membunuh jiwa ialah seratus unta;
hidung yang dipotong habis ada diyatnya; dua buah mata ada diyatnya; lidah ada
diyatnya; dua buah bibir ada diyatnya; kemaluan ada diyatnya; dua biji penis
ada diyatnya; tulang belakang ada diyatnya; kaki sebelah diyatnya setengah;
ubun-ubun diyatnya sepertiga; luka yang mendalam diyatnya sepertiga; pukulan yang menggeser tulang
diyatnya lima belas unta; setiap jari-jari tangan dan kaki diyatnya sepuluh
unta; gigi diyatnya lima unta; luka hingga tulangnya tampak diyatnya lima unta; laki-laki yang dibunuh
karena membunuh seorang perempuan, bagi orang yang biasa menggunakan emas dapat
membayar seribu dinar." Riwayat Abu Dawud dalam hadits-hadits mursal,
Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Mereka
berselisih tentang shahih tidaknya hadits tersebut.
Ketentuan diyat dalam masalah kejahatan seksual dalam pandangan
al-Qur’an dan Hadits di atas memberikan penjelasan mengenai adanya sanksi
kepada pelaku tindakan kejahatan, baik itu kejahatan seksual ataupun kejahatan
lain, namun tidak menjelaskan perbedaan sanksi terhadap korban kejahatan
seksual dibawah umur (belum mencapai usia dewasa), sehingga perlu diadakan
kajian lebih lanjut yang khusus membahas mengenai sanksi tersebut.
Sementara itu sanksi dalam Islam yang paling tinggi adalah Qisas
(Hukuman Mati), Diyat (Denda), maaf. Pemakaian dari ketiga jenis
sanksi ini dapat dilihat dari kapasitas kesalahan yang dilakukan, kemudian
dalam penentuan berat atau ringannya sanksi semua diserahkan kepada
pertimbangan Hakim. As-Sayyid Sabiq memberikan pendapat mengenai beberapa ayat
al-Qur’an (al-Baqarah 178-179, an-Nisa’ 92) yang berkaitan dengan hukum Qisas
Diyat mengandung beberapa pemikiran diantaranya adalah:
a.
Hukum
Qisas merupakan bentuk koreksi hukum jahiliyyah yang diskriminatif.
b.
Adanya
hukum alternatif yaitu Qisas, Diyat, atau maaf.
c.
Adanya
keringanan dan kemudahan dari Allah tentang penerapan hukum qisas.
d.
Adanya
sistem rekonsiliasi dalam proses pemindanaan antar para pihak yang bersangkutan
(korban atau wali dan pelaku)
e.
Dalam
qisas akan terjamin kelangsungan hidup.[23]
Kemudian Muhammad Syahrur dalam teorinya batas maksimal (halah
al-had al-a’la) menyatakan “ hukum qisas dalam al-Qur’an merupakan
hukum yang tertinggi, sehingga dalam kasus tertentu hakim dapat menentukan
hukum yang lebih rendah atas persetujuan si korban atau walinya”.[24]
Adapun kejahatan asusila seperti pelaku lesbian dan homoseks,
mereka tidak dihukum hadd tetapi mereka di hukum Ta’zir. Adapun
batasan jumlah takzir Rasulullah telah menentukannya sebagaimana hadits:
حديث أَبِي بُرْدَةَ رضي الله عنه، قَالَ:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ
جَلَدَاتٍ، إِلاَّ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ الله
أخرجه البخاري في: 86 كتاب الحدود: 42 باب كم التعزير والأدب
أخرجه البخاري في: 86 كتاب الحدود: 42 باب كم التعزير والأدب
Abu Burdah r.a. berkata: Adanya Nabi saw. bersabda: Tidak boleh dipukul
lebih dari sepuluh kau kecuali dalam had yang telah ditentukan hukum had oleh
Allah ta'ala. (Bukhari, Muslim).[25]
B.
Kejahatan Seksual Menurut Perundang-Undangan di Indonesia
Indonesia adalah negara hukum, hukum terbentuk berdasar pada
Pancasila, latar belakang berdirinya pancasila tidak lepas dari pemikiran para
tokoh Indonesaia baik yang Nasinolis Sekuler ataupun Nasionalis Religius. Adanya
hukum tidak terlepas dari tujuan utama bangsa Indonesia yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketika kita membahasa mengenai kejahatan terhadap sesama manusia
baik itu kejahatan fisik ataupun non fisik, semua telah diatur dan ditetapkan
oleh sistem perundang-undangan di Indonesia. oleh karena itu dalam membahas
kejahatan seksual ini, penulis mengambil beberapa dasar yurisprudesi yang
berkaitan erat dengan kejahatan seksual diantaranya:
-
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid)
-
UU
PKDRT
-
UU
Perlindungan Anak
-
UU
Hak Asasi Manusia
-
UU
Perkawinan
-
Dan
BKKBN
Kejahatan Seksual di Indonesia sering pula disebut dengan
“Kejahatan Terhadap Kesusilaan” kemudian masyarakat Indonesia lebih mengenalnya
dengan “Pelecehan Seksual”, kejahatan ini telah terbahas dan ditetapkan pula
sanksinya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHPid) dalam bab XIV yang terdiri dari 21 pasal yang membahas
khusus tentang pelecehan seksual. 21 pasal tersebut telah mencakup 4
perundang-undangan terkait seperti yang telah tersebut diatas.
Dalam penetapan sanksi, KUHPid menerapkan beberapa pidana yang
diklasifikasikan menjadi:[26]
a.
Pidana
Pokok
1)
Pidana
Mati
2)
Pidana
Penjara
3)
Pidana
Kurungan
4)
Pidana
Denda
5)
Pidana
Tutupan
b.
Pidana
Tambahan
1)
Pencabutan
hak-hak tertentu
2)
Perampasan
barang-barang tertentu
3)
Pengumuman
putusan hakim
Kekerasan terhadap manusia memiliki sumber ataupun alasan yang
bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan ideologi gender.
Salah satu sumber kekerasan yang diyakini sebagai penyebab kekerasan dari
laki-laki terhadap perempuan adalah ideologi gender. [27]
Kekerasan
yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan gender related violence
yang mempunyai macam dan bentuk kejahatan, diantaranya adalah:[28]
1.
bentuk
pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan.
Perkosaan itu terjadi ketika seseorang melakukan tindakan pemaksaan untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa adanya kerelaan dari yang bersangkutan,
namun ketidakrelaan ini sering kali tidak dapat terungkap dikarenakan berbagai
faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, atau keterpaksaan, baik ekonomi
kultural.
2.
Tindakan
pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestik
Violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak
kecil (Child Abuse).
3.
Bentuk
penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap
anak perempuan.
4.
Kekerasan
dalam bentuk pelacuran (prostitutions). Kekerasan ini dilakukan oleh perorangan
maupun organisasi dengan tujuan untuk suatu mekanisme ekonomi yang merugikan
kaum perempuan. Akibatnya masyarakat selalu memandang rendah pelacur sebagai
sampah masyarakat sementara tempat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi
orang, terutama laki-laki.
5.
Kekerasan
dalam bentuk pornografi, kekerasan ini berupa pelecehan terhadap kaum perempuan
karena menjadikan tubuh perempuan sebagai objek ekonomi seseorang.
6.
Kekerasan
dalam bentuk pemaksaan melakukan sterilisasi dalam KB, dalam rangka memenuhi
target kegiatan ini seringkali menjadi praktek kekerasan yang terstruktur
meskipun semua orang tahu bahwa persoalan tidak hanya berasal dari kaum wanita
tetapi juga dari kaum laki-laki.
7.
Kekerasan
terselubung, (molestations) yaitu kekerasan yang dilakukan dengan memegang atau
menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan
kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
8.
Kejatan
yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual, karena mereka
menganggap itu sebagai suatu tindakan untuk mengekspresikan persahabatan, namun
pada dasarnya tindakan itu bukanlah tindakan yang menyenangkan bagi kaum
wanita.
Dari beberapa pasal yang berasal
dari beberapa yurisprudensi di atas, dapat dipahami bahwa kejahatan seksual
yang terjadi di Indonesia sangat beragam. Sementara itu supremasi hukum masih
sangat dipertanyakan, keberlakuan kekuatan undang-undang sangat berbanding
terbalik dengan kasus kejahatan seksual yang saat ini telah menjamur dan tidak
memandang usia. Menurut hemat penulis, kejahatan seksual ini tidak mungkin bisa
teratasi jika masyarakat tidak berperan aktif dalam berupaya untuk menjaga diri
sendiri dari berbagai kemungkinan timbulnya kejahatan seksual, misalnya saja dalam
berpakaian dan berperilaku. Seringkali kejahatan seksual ini timbuk karena ada umpan
yang sangat menggiurkan terutama dari kalangan wanita yang sering kali berpenampilan
serba minimalis seakan-akan sengaja memancing hasrat lelaki untuk berbuat
asusila.
Kesimpulan
1. Sebelumnya perlu diingat bahwasannya
hukum pidana Islam tidak diterapkan dengan mudah di Indonesia, berbeda dengan
hukum perdata Islam yang sebagian besar saat ini telah berlaku dan dilakukan di
Indonesia. Islam secera tersirat telah menjelaskan beberbagai hal yang
berkaitan dengan kejahatan seksual dengan konsekuensi yang cukup jelas, namun
masih memiliki beberapa dilema hukum jika dikaitkan dengan permasalahan yang
ada saat ini, dimana Islam sangat kental dengan budaya arab, sementara di
Indonesia masyarakat terdiri dari berbagai budaya dengan latar belakang yang
berbeda, hal ini memberikan dampak hukum yang berbeda pula. Namun Islam telah
melarang berbagai bentuk kejahatan secara umum, hal ini dimungkinkan ada
kejahatan lain yang saat ini belum terjadi, dan akan terjadi pada hari
kemudian. Al-Qur’an memang tidak dengan jelas mengatur kejahatan seksual secera
terperinci, namun al-Qur’an memberikan trik agar senantiasa umat Islam
terhindar dari perbuatan yang keji, hal ini adalah salah satu kemuliaan
al-Qur’an dengan menggunakan bahasa yang halus.
2. Perundang-undangan di Indonesia
telah mengatur berbagai macam hal yang berkaitan dengan kejahatan seksual, juga
mempertimbangkan aspek non fisik secara jelas dan terperinci. Penentuan hukuman
tergantung pada berat atau ringannya suatu perbuatan kejahatan itu, tetapi
telah disepakati bahwa segala bentuk kejahatan adalah terencana, sehingga kasus
kejahatan seksual tidak mungkin terlepas dari unsur ke-alpaan seseorang ataupun
terjadi dengan sendirinya. Keterkaitan perundang-undangan kasus pidana umum dan
pidana khusus di Indonesia dengan Hukum Islam dapat dilihat dari tujuan adanya
kedua hukum, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang damai dan makmur dalam
masyarakat, meskipun ada beberapa hal yang masih dipertentangkan, namun
pertentangan itu semata-mata hanya disebabkan perbedaan latar belakang keilmuan
dalam memaknai sebuah hukum.
[1] Makhrus
Munajat, Hukum Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2009), 3.
[3] Wikipedia.org
17 maret 2017.
[4] Makhrus Munajat, Hukum Pidana
Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2009), 134. Lihat Abu
Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Juz II, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), 109.
[5] Makhrus
Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras,
2009), 142.
[6] QS.
an-Nuur 24 ayat 21
[7] Jalaluddin
asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain,
CHM www.maktabah-alhidayah.tk (Pesantren
Persatuan Islam: Tasik malaya, 2009
[8] Abdullah bin
Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir, alih
bahasa, Abdul Ghofar dan Abu Ihsan al-Atsari, Jilid VI, Juz 18, Cet I, (Bogor:
Pusataka Imam Syafi’i, 2004), 27.
[9] QS. An-Nur 24
ayat 30
[10] Jalaluddin
asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain,
CHM,,,.
[11] Abdullah bin
Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir,,,40.
[12] QS. An-Nur 24
ayat 31
[13] Jalaluddin
asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain,CHM...
[14] Abdullah bin
Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir,,,44
[15] Jalaluddin
asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain,CHM...
[16] Abdullah bin
Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir,,,52-53.
[17] Mu’mal Hamidy,
Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 2, (Surabaya; Bina Ilmu Offset,
2011), 669.
[18] QS an-Nahl 16
ayat 106
[19] Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Abu Syauqina, Abu Aulia Rahma, Cet I, (Matraman:
Tinta Abadi Gemilang: 2013), 349.
[20] Ibid,,. 348.
[21] Alqur’an Surat
An-Nisa’ (4) ayat (92)
[22] Bulugh
al-Maram hadits no 967
[23] Makhrus
Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras,
2009), 175. Lihat As-Sayyid Sabiq, Fiqh, II: 433-434.
[24] Ibid,, 175.
Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab, 458.
[25] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Lu’lu’
Wal Marjan, Alib bahasa, Salim Bahreisy, Jilid 2, No Hadits 1110,
(Surabaya; Bina Ilmu Offset, t.t), 633.
[26] KUHPidana BAB
II pasal 10 tentang PIDANA
[27] Rika
Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah tangga, Cet
II, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2009), 14.
[28] Perempuan dan
Penyelesaian,, 16-17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar