Sabtu, 01 April 2017

korelasi dispensasi nikah dan kaidah fiqhiyah

latar belakang
Istilah perkawinan dibawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam sebenrarnya masih simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan kesepakaran yang berbeda. Maksud pernikahan di bawah umur menurut pendapat mayoritas yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dengan ditandai keluarnya air mani dan belum mencapai menstruasi bagi wanita yang menurut fiqh Syafi’i minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Sedangakan Imam Hanafi berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan perempuan adalah 17 tahun, sementara Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Syafi’i menyebut usia 15 tahun sebagai tanda baligh, baik untuk laki-laki maupun perempuan.[1]
Dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, batas usia perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, jika melakukan penyimpangan dari ketentuan usia di atas, maka dapat di selesaikan melalui dispensasi perkwinan di Pengadilan Agama. Kemudian Kompilasi Hukum Islam menetapkan usia perkwinan berdasarkan ketetapan yang tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Selain UUP di atas, Indonesia memiliki beberapa perundang-undangan yang berkaitan dengan usia dewasa, diantaranya adalah BW (hukum perdata), KUHPid, UU BKKBN, UUPA (Perlindaungan Anak). Dalam hukum perdata Indonesia Usia dewasa yaitu 18 tahun, KUHPid menetapkan usia dewasa adalah 21 tahun. BKKBN menginginkan usia perkawinan adalah 25 bagi laki-laki, dan 21 tahun bagi perempuan. UUPA pasal 4 ayat (1) menetapkan usia dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki, dan 18 tahun bagi perempuan.
Latar belakang terjadinya perbedaan dalam penetapan usia dewasa menurut perundang-undangan yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh akibat mental dalam pelaksanaan undang-undang tersebut, karena dalam penerapan hukuman perdata tidaklah sama dengan hukuman pidana.
Di sisi lain, perkawinan yang menyeleweng dari penetapan usia KHI, yaitu 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Pengadilan Agama yaitu Dispensasi Nikah, adanya upaya ini adalah untuk memberikan solusi bagi mereka yang terlibat suatu perkar hingga terpaksa untuk melakukan perkawinan di bawah usia yang telah ditetapkan. Makalah ini akan membahas mengenai DispensasNikah perspektif Kaidah Fikih

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana korelasi Dispensasi nikah dan Kaidah Fiqh?
2.      Bagaimana korelasi Dispensasi nikah dan cabang-cabang kaidah Fiqh?































A.    Pengertian Dispensasi Nikah
Keberadaan dispensasi nikah ini sebagai bentuk dari pengejawantahan pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, tentang syarat-syarat perkawinan yaitu “Dalam hal penyimpangan pada ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Yang dimaksud ayat (1) adalah syarat keharusan menikah pada usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sehingga apa bila usia pasangan suami isteri atau salah satunya kurang dari usia yang ditetapkan maka di haruskan meminta dispensasi, dalam hal in diatur dengan meminta perizinan kepada majelis hakim di Pengadilan Agama.  
Adapun pengertian dispensasi menurtu KBBI adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus, karena pertimbangan yang dikehendaki bersifat khusus, maka yang berhak memberikan ketetapan hukum hanya pihak pengadilan berdasakan ketetapan majelis hakim. 
Dengan adanya dispensasi ini, diharapkan dapat membantu para pihak yang dalam hal ini terpaksa harus melakukan perkawinan dibawah usia yang ditetapkan, karena jika tidak dilakukan perkawinan dikhawatirkan akan menciptakan mudarat yang lebih besar, sedangkan maqasid syari’ah juga termasuk menjaga kehormatan, dalam hal ini menjaga nama baik keluarga.  
B.     Korelasi Kaidah Fiqh dan Dispensasi Nikah
Secara terminologis, langkah penentuan usia kawin di dasarkan pada metode Masalahat Mursalah. Namun demikian karena sifatnya ijtihady, yang kebenarannya relatif, sehingga ketentuan tersebut tidak bersifat kaku.[2]  Meskipun sifatnya ijtihady, jika di lacak lebih jauh penentuan usia nikah yang ditetapkan oleh UUP dan KHI merujuk pada Firman Allah:
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩[3]
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar

Ayat tersebut memberikan petunjuk yang bersifat umum, meskipun tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur dapat membahayakan kesejahteraan dan akan banyak menimbulkan kemudaratan. Akan tetapi menurut pengamatan dan penelitian beberapa pihak, faktor tidak tercapainya tujuan dari perkawinan sangat dipengaruhi dengan rendahnya usia kawin. Hal ini diakibatkan karena pola berfikir yang kurang matang sehingga pasangan tersebut tidak dapat mengatasi masalah keluarga dengan solusi yang baik, dan pada akhirnya muncul keinginan untuk bercerai.
Adanya Dispensasi Nikah ini adalah sebagai upaya untuk memberikan solusi kepada para pihak yang dengan terpaksa melakukan perkwinan di bawah usia yang telah ditetapkan, namun dengan catatan jika tidak segera di nikahkan maka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar, contoh yang banyak terjadi di masyarakat yaitu kehamilan di luar nikah dan masih berusia kurang dari 16 tahun, sedangkan pelakunya belum mencapai usia 19 tahun dan atau telah melebihi usia 19 tahun, kemudian meminta penetapan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan izin melakukan perkawinan dengan tujuan menghindari adanya anak (bayi) yang lahir tanpa terdampingi oleh hadirnya suami, akibat selanjutnya akan berdampak pada kondisi mental seorang anak yang apabila dilahirkan tanpa seorang ayah, mayoritas lingkungan di Indonesia sangat buruk dalam menyikapi hal ini.
Sehingga untuk menghindari kemudaratan ini, pihak pengadilan diberikan kewenangan untuk memberikan ketetapan kepada mereka yang meminta Dispensasi perkawinan. Sehingga menurut hemat penulis, kebijakan ini berkaitan erat dengan kaidah asasi fiqih yaitu :
أَالضَرَرُ يُزَالُ
“ Kemudaratan harus dihilangkan”
Sebagaimana yang dikatakan oleh Izzudin Ibn Ad al-Salam bahwasannya tujuan syari’ah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka dapat dikatakan maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadat mengakibatkan kemadaratan. Sehingga para ulama lebih memerinci dengan memberikan beberapa persyaratan dan ukuran tertentu pada maslahat.[4]
Untuk lebih memahami maksud dari kaidah di atas dapat kita mulai dari memahami beberapa arti yang disampaikan para ahli, al-Dhararu berarti membuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, membuat kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diperbolehkan dengan agama, adapun yang diperbolehkan agama yaitu seperti hukuman Qishas, Hudud, Diyat, dll.[5] Kaidah tersebut sering di ungkapkan dengan apa yang tersebut dalam hadits:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَرَ
“ tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan” (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)
Menurut Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah, la dharara artinya adalah la yadhurru al-rajulu al-rajulu (tidak diperbolehkan seseorang berbuat bahaya terhadap saudara-saudaranya yang menyebabkan haknya jadi berkurang. Sedang al-Dirara menurut Ibnu Atsir adalah la yujazihi ‘ala idhrar ihi bi idkhal al-dhariri ‘alaihi (tidak diperbolehkan orang yang mendapat perlakuan bahaya dari orang lain membalasnya dengan bahaya).[6]
Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagimu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain (tetangga) memudaratkan”.[7]
Menurut al-Zauhari, al-Dhiraru adalah lawan kata dari manfaat, oleh karena itu, kata ini mengukuhkan kepada kata yang pertama (al-dhararu). Tetapi menurut beberapa ulama lain seperti Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Arba’in al-Nawawiyah mengatakan kata al-Dhararu artinya berbuat kerusakan kepada orang lain. Sedangkan kata al-dhiraru artinya berbuat kerusakan kepada orang lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh agama. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai pengertian ini yaitu tidak diperkenankan memudaratkan dan di mudaratkan.[8]
Kaidah di atas di dukung pula dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang mengandung maksud yang sama dengan kaidah tersebut yaitu diataranya:
...ۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ ...
... Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. [9]
وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ ١٨٣
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.[10]

Dari dua landasan ayat ini, dapat dipahami bahwasannya Allah sangat melarang umatnya membuat kerusakan yang merugikan orang lain, baik kerugian itu bersifat fisik ataupun non fisik. Jika dikaitkan dengan adanya dispensasi nikah, maka dapat di korelasikan pada sebab yang melatar belakangi para pihak meminta untuk mendapatkan dispensasi nikah, yaitu keinginan untuk mendapatkan izin melaksanakan perkawinan karena adanya suatu perkara yang dapat di selesaikan dengan melakukan perkawinan, perkara yang sering terjadi di masyrakat adalah Lamaran Keri Meteng Disek (LKMD) kemudian pelaku belum mencapai usia perkawinan sehingga kedua orang tua sepakat untuk menikahkan pelaku dengan meminta izin Pengadilan Agama.  Sehingga menurut hemat penulis, Dispensasi yang diberikan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama memberikan kemudahan dan dapat dikatakan menutup aib keluarga pelaku, dan ini sangat berkaitan erat dengan tujuan dari kaidah ­ad-Dararu yuzalu.

C.    Cabang-cabang Kaidah  al-Dararu yuzalu
Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari al-dharar yuzalu diantaranya adalah:

الضَرُورَةُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang

Dalam hal ini dispensasi nikah merupupakan sarana untuk membolehkan perkawinan dibawah usia yang telah ditentukan undang-undang, tentu saja hal ini melanggar ketetapan yang telah diberlakukan, sehingga kaidah ini dapat di jadikan dasar terlaksananya dispensasi nikah.
الضَّرُوْرَاتُ تُقَدًّرُ بِقَدَرِهَا
Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
Dalam penerapan dispensasi nikah, majelis hakim mempunyai hak untuk memutuskan apakan pihak yang berperkara dapat di izinkan melakukan perkawinan atau tidak, hal ini juga di dasarkan pada alasan para pihak meminta dispensasi, sekiranya alasan itu menurut hakim tidak dikategorikan sebagai masalah yang sangat darurat, maka hakim berhak menolak untuk memberikan izin perkawinan. Sehingga kadar kedaruratan juga mempengaruhi keputusan majelis hakim dalam memberikan izin.
الضَّرَرُ يُزَالُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Keumudaratan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”
Penerapan kaidah ini mempunyai kesamaan dengan kaidah di atas, dimana kedua kaidah ini sangat mempertimbangkan ukuran batas-batas kebolehan seserorang diperbolehkan meminta dispensasi perkawinan.
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Kemudaratan tidak boleh dihilangkan degan kemudaratan”
Seseorang yang hendak meminta dispensasi pasti memiliki alasan untuk mencegah terjadinya bahaya yang akan timbul di kemudian hari, sehingga tidak mungkin para pihak tersebut melakukan mudarat yang lain untuk menghindari mudarat yang akan datang, misalnya kemudaratan itu berupa kehamilan, untuk mencegah terlahirnya seorang anak maka menempuh jalan aborsi. Tindakan yang seperti inilah yang dilarang, sehingga perlu adanya solusi lain yang lebih maslahat.
يُحْتَمَلُ الضَّرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَّرَرِ العَامِ
“Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Penerapannya yaitu kebolehan putusan hakim  untuk melakukan perkawinan meskipun pihak berperkara masih dibawah usia yang ditetapkan, dengan tujuan menghilangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi di kemudian hari jika pihak tersebut tidak diberikan izin melakukan perkawinan, seperti terlahirnya seorang anak tanpa diketahui siapa ayahnya, sehingga dalam lingkungan masyarakat anak tersebut akan mendapat tekanan mental dan perlakuan yang cenderung diskriminatif dengan dalih anak haram.






kesimpulan
1.      Korelasi kaidah fiqh dan Dispensasi nikah dapat terlihat dari kaidah asasi  al-dararu yuzalu  yang memiliki tujuan dan maksud yang sama dengan adanya dispensasi nikah, yaitu untuk memberikan solusi kepada orang-orang yang dengan terpaksa melanggar ketetapan usia perkawinan yang telah ditetapkan oleh undang-undang no.1 tahun 1974 pasal 7. Dispensasi ini juga sebagai pengejawantahan dari pasal 7 ayat (2) yang mengharuskan meminta dispensasi perkawinan bagi mereka yang masih belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
2.      Beberapa kaidah cabang dari kaidah al dararu yuzalu mempunyai korelasi yang dapat diterapkan, namun menurut hemat penulis tidak semua kaidah cabang dapat diterapkan, karena setiap kaidah memiliki ke khususan dan batasan tersendiri. Sedikitnya ada lima kaidah yang dapat dikategorikan mempunuyai korelasi yang erat pada upaya dispensasi nikah di Pengadilan Agama.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, Jakarta: Kencana, 2006.
Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III.
Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, Yogyakarta: Teras, 2011.




[1] Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), (Yogyakarta: LKIS, 2001), 90.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 59.
[3] QS. an-Nisa’ [4] ayat 9.
[4] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, (Jakarta: Kencana, 2006), 67.
[5] Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, 252
[6] Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, 81
[7] Djazuli,,, 68.
[8] Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2011), 110.
[9] QS. al-Baqarah: 2 ayat 231.
[10] QS. Asy Syu’ara: 26 ayat 183

Minggu, 26 Maret 2017

Kejahatan Seksual dalam Pandangan Hukum Islam



Hukum Islam dan Kejahatan Seksual
Latar belakang
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) tindak pidana dibagi dalam tiga kategori yaitu: Jinayah, Janhah dan Mukhlafah. Jinayah yang dimaksudkan adalah jinayah yang disebutkan dalam konstisusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Janhah adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu, tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, dengan kata lain berbeda dengan hukuman yang diterima pelaku jinayah. Mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu.[1]
Jinayah dalam bahasa indonesia disebut juga dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana.  Sedangkan dalam perundang-undangan di Indonesia Hukum Pidana membedakan antara tindak kejahatan dan pelanggaran, dan memberikan sanksi yang relatif berbeda pula.
Untuk kasus kejahatan, dalam KUHPid BAB IX Pasal 86 dijelaskan bahwa “Apabila disebut baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti suatu kejahatan tertentu maka disitu termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan, keculai jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan”. Dari pasal tersebut dapat diasumsikan penulis bahwa kejahatan itu terbentuk dari serangkaian tindakan yang dilarang.
Untuk membahas mengenai kejahatan seksual di Indonesia perlu adanya korelasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan juga Komnas Perempuan, dalam hal ini, KPAI dan Komnas Perempuan digunakan penulis sebagai acuan pengambilan data dari survei dan analisis yang telah dilakukan.
Menurut catatan tahun 2016 Komnas Perempuan, dari kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada pada peringkat kedua, dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%), sedangkan pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).[2]
Seiring dengan peningkatan jumlah kekerasan yang tidak dapat dikendalikan ini, penulis mencoba mengulas mengenai kejahatan seksual menurut Hukum Islam dan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia.


Rumusan Masalah
Tujuan pokok dari penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.      Bagaimana Islam Memandang Kejahatan Seksual di Indonesia?
2.      Bagaimana Supremasi Hukum di Indonesia Dalam Mengatasi Kejahatan Seksual ?




Pembahasan
A.    Kejahatan/Pelecehan Seksual Menurut Hukum Islam dan Dampak Hukumnya
Kejahatan seksual dalam Hukum Islam lebih diidentikkan dengan zina, namun yang penulis kehendaki disini adalah zina yang dilakukan dengan cara memaksa dan atau diiringi dengan intimidasi lain, sehingga mengakibatkan kerusakan fatal pada anggota tubuh korban,  kemudian kejahatan seksual ini tidak berujung pada kematian korban, sebab bila membahas tetang kematian korban, maka hukum yang diakibatkan akan berbeda. Pelecehan seksual adalah perilaku  pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lain secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks.[3]
Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.[4] Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila, seperti lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan Takzir, dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja (pemerkosa) yang dijatuhi hukuman hadd. Namun ada sebagian pendapat yang menyatakan, bahwa hukuman si pemaksa dikategorikan sebagai tindakan yang sadis dan masuk dalam delik hirabah. Hal ini di dasarkan pada lafadz wayas’auna fi al-ard fasadan (orang yang membuat kerusakan dimuka bumi). Kejahatan pemerkosaan, sabotase, bahkan terorisme termasuk dalam kategori jarimah permapokan (perampasan) yang pelakunya harus dikenakan hukuman yang berat.[5]
Dari uraian singkat diatas, dapat ditarik kesimpulan bawasannya kejahtan seksual tidak dihukumi sebagaimana pelaku zina pada umumnya, namun pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman berupa takzir selama perbuatan itu tidak menimbulkan cidera serius, jika terjadi cidera serius dan bersifat paten maka bukan lagi termasuk dalam pelecehan seksual melainkan kejahatan seksual yang nantinya akan mendapat hukuman berupa diyat.
Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlaq umat manusia yang selalu cenderung melakukan kehendak sesuai dengan hawa nafsu, bersamanya disertakan Al-Qur’an yang tidak akan termakan oleh zaman, memberikan ketentuan dan ketetapan serta ancaman kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terlarang. Pelecehan seksual dalam Al-Qur’an tidak terbahas secara eksplisit, namun Allah memberikan kemampuan kepada hambanya untuk menganalisis melalui akal yang sempurna sehingga larangan pelecehehan seksual terbahas dalam Al-Qur’an secara Implisit dan atau tersirat, sebagaimana Allah berfirman dalam beberapa ayat sebagai berikut:

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ٢١[6]
Tafsir:
1.      (Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan) mengikuti godaan-godaannya. (Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu) yakni yang diikutinya itu (selalu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji) yakni perbuatan yang buruk (dan yang mungkar) menurut syariat, yaitu jika perbuatan itu diikuti (Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih) hai orang-orang yang menuduh, disebabkan berita bohong yang kalian katakan itu (selama-lamanya) tidak akan menjadi baik dan tidak akan menjadi bersih dari dosa ini hanya dengan bertobat daripadanya (tetapi Allah membersihkan) menyucikan (siapa yang dikehendaki-Nya) dari dosa, yaitu dengan menerima tobatnya. (Dan Allah Maha Mendengar) tentang apa yang telah kalian katakan (lagi Maha Mengetahui) tentang apa yang kalian maksud.[7]
2.      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.” Yakni jalan-jalan, cara-cara dan apasaja yang diperintahkannya.”barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar,” ini merupakan peringatan dengan ungkapan yang sangat tajam, ringkas dan baik....[8]



قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ ٣٠[9]
Tafsir:
1.     (Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya) dari apa-apa yang tidak dihalalkan bagi mereka melihatnya. Huruf Min di sini adalah Zaidah (dan memelihara kemaluannya) daripada hal-hal yang tidak dihalalkan untuknya (yang demikian itu adalah lebih suci) adalah lebih baik (bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat") melalui penglihatan dan kemaluan mereka, kelak Dia akan membalasnya kepada mereka.[10]
2.     (katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya”. Pandangan mata dapat menjadi rusaknya hati, seperti yang disebutkan oleh sebagian salaf: “pandangan mata merupakan panah beracun yang mengincar hati.” Oleh kerena itu, Allah memerintah kita untuk menjaga kemaluan sebagaimana Dia memerintahkan kita untuk menjaga pandangan yang merupakan pendorong ke arah itu. Firman Allah “katakanlah kepada laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan padangannya dan memelihara kemaluannya.” Menjaga kemaluan kadangkala maksudnya adalah mencegah diri dari perbuatan zina seperti Allah sebutkan dalam ayat “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”(QS. al-Mu’minuun: 5). [11]

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ... ٣١[12]
Tafsir:
1.      (Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya) daripada hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka melihatnya (dan memelihara kemaluannya) dari hal-hal yang tidak dihalalkan untuknya (dan janganlah mereka menampakkan) memperlihatkan (perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) yaitu wajah dan dua telapak tangannya, maka kedua perhiasannya itu boleh dilihat oleh lelaki lain, jika tidak dikhawatirkan adanya fitnah. Demikianlah menurut pendapat yang membolehkannya. Akan tetapi menurut pendapat yang lain hal itu diharamkan secara mutlak, sebab merupakan sumber terjadinya fitnah. Pendapat yang kedua ini lebih kuat demi untuk menutup pintu fitnah. (Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya) hendaknya mereka menutupi kepala, leher dan dada mereka dengan kerudung atau jilbabnya (dan janganlah menampakkan perhiasannya) perhiasan yang tersembunyi, yaitu selain dari wajah dan dua telapak tangan (kecuali kepada suami mereka).[13]
2.      Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangan mereka” yakni dari perkara yang haram mereka lihat, diantranya melihat kepada laki-laki selain dari suami mereka. Oleh sebab itu sebagian besar ulama berpendapat, wanita tidak boleh melihat kepada laki-laki yang bukan mahram, baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat. Sebagian ulama beralil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh abu dawud dan at-Tirmidzi, dari jalur az-Zuhri, dari Nabhan, maula Ummu Salamah, ia bercerita, Ummu Salamah bercerita kepadanya bahwa suatu hari ia dan Maimunah bersama Rasulullah SAW, ia berkata” ketika kami berada disisi beliau, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum dan masuk menemui beliau. Peristiwa itu terjadi setelah turunnya perintah berhijab. Rasulullah Saw berkata: Berhijablah darinya”. Aku berkata:” Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang tidak dapat melihat kami dan tidak mengenali kami?” Maka Rasulullah menjawab:
أَوْ عَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟
“Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?”
Sebagian ulama lainnya berpendapat:”kaum wanita boleh melihat kaum laki-laki bukan mahramnya asalkan tanpa disertai syahwat. Seperti yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih, bahwa Rasulullah Saw, menyaksikan kaum Habasyah yang sedang bermain tombak pada hari ‘Ied di dalam Masjid, sementara ‘Aisyah Ummul Mukminin r.a juga menyaksikan mereka dari belakang beliau, beliau menutupinya  dari mereka hingga ‘Aisyah jemu dan pulang”.[14]
...وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٣
Tafsir:
1.      (Dan janganlah kalian paksakan budak-budak wanita kalian) yaitu sahaya wanita milik kalian (untuk melakukan pelacuran) berbuat zina (sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian) memelihara kehormatannya dari perbuatan zina. Adanya keinginan untuk memelihara kehormatan inilah yang menyebabkan dilarang memaksa, sedangkan syarath di sini tidak berfungsi sebagaimana mestinya lagi (karena kalian hendak mencari) melalui paksaan itu (keuntungan duniawi) ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubay, karena dia memaksakan hamba-hamba sahaya perempuannya untuk berpraktek sebagai pelacur demi mencari keuntungan bagi dirinya. (Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah kepada mereka yang telah dipaksa itu adalah Maha Pengampun) (lagi Maha Penyayang).[15]
2.      “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran” Dahulu kaum Jahiliyyah, apabila mereka memiliki budak-budak wanita, mereka mengirimnya untuk berzina dan mengharuskan budak-budak itu mengirimkan setoran yang mereka ambil setiap waktu. Ketika Islam datang, Allah melarang kaum mukminin dari hal itu. Sebab turunnya ayat yang mulia ini seperti yang disebutkan oleh sejumlah tafsir dari kalangan Salaf dan Khalaf berkenaan dengan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, ia memiliki budak wanita yang ia paksa untuk melacur karena mengharapkan setoran darinya, karena menginginkan anak-anak mereka dan kekuasaannya, demikian anggapannya. ”Sedang mereka sendiri menginginkan kesucian” ini dilihat dari kebiasaan umum terjadi, tidak bisa diambil makna implisit dari Firman Allah tersebut. “Karena kamu Hendak mencari keuntungan duniawi” yakni mengharapkan setoran mereka, bayaran mereka dan anak-anak mereka. Rasulullah telah melarang mengambil uang hasil upah membekam, bayaran pelacur dan bayaran dukun.”Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu) yakni memberi ampunan untuk mereka. Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin Abbas r.a:” jika kalian melakukannya (pelacuran karena dipaksa tuannya), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang kepada mereka dan dosa mereka ditimpakan kepada orang-orang yang memaksa mereka”. Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha’ al-Khurasani, al-A’masy dan Qatadah. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat (memaafkan) dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dilakukan karena terpaksa.[16]
3.      “Sedang mereka sendiri menghendaki kesucian” itu adalah suatu jumlah muta’aridhah (kalimat pemisah antara jumlah pertama dan kedua), yang gunanaya untuk menjelek-jelekkan anjuran berbuat keji dan memaksa orang untuk mengerjakan kekejian itu. Padahal secara prinsip, setiap hamba adalah dibawah asuhan tuan. Maka jika hamba itu cenderung berbuat keji, tuannya harus meluruskan. Adapun untuk menyuruhnya melakukan perbuatan keji itu sekalipun si hamba sahaya itu tetap enggan dan bermaksud menjaga diri, maka upaya seperti itu sangat melampaui batas. Seorang hamba sahaya yang bersikap demikian jauh lebih baik daripada tuannya. Dia lebih mulia dan terhormat daripada tuannya. “karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi” itu memberikan isyarat tentang kerenahan pekerjaan mereka itu. Sebab milik manusia yang paling berharga adalah harga diri, lalu barang yang sangat berharga itu ditukar dengan harga yang paling rendah. “Karena sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang sesudah mereka disiksa” itu menunjukkan bahwa pihak yang dipaksa, dalam hal ini adalah hamba sahaya, akan diampuni Allah, sedang pihak yang memaksa dalam hal ini adalah tuan, akan dilaknat dan dimurkai Allah.[17]
Ayat pertama, ayat tersebut menjelaskan secara umum mengenai larangan mengikuti perbuatan yang identik dengan sifat syaitan, yaitu perbuatan yang di dominasi oleh syawat sehingga cenderung untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar menurut syara’. Keumuman ayat ini telah mencakup berbagai tindak kejahatan secara umum, sehingga menurut hemat penulis ayat ini berkaitan dengan tindak pidana kejahatan seksual.
Ayat kedua dan ketiga, spesifikasi ayat tersebut terkait pembahasan mengenai pergaulan laki-laki dan perempuan (lawan jenis), serta membuktikan bahwa al-Qur’an telah membicarakan pelecehan seksual secara implisit melalui kalimat yang halus. Lebih jauh kedua ayat tersebut memberikan penjelasan mengenai tatacara agar seseorang dapat menjaga mahkota (keperawanan) agar senantiasa terhindar dari berbagai upaya yang mengarah kepada perbuatan zina. Jika diteliti lebih lanjut ayat ini merupakan ayat yang mengantisipasi dari berbagai perbuatan pelecehan seksual yang dimulai dari diri sediri, hal ini dapat terlihat bagaimana ayat ini melarang memandang lawan jenis dengan berlebihan, melarang memandang bagian tubuh yang menjadi aurat bagi lawan jenisnya. Hal ini senada dengan tujuan pelarangan pelecehan seksual perundang-undangan di Indonesia yaitu melindungi hak asasi manusia yang merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Ayat keempat, ayat ini mengindikasikan adanya praktek prostitusi yang dilakukan oleh si tuan kepada si budak, dengan tujuan memperoleh keuntungan dari usaha tersebut, sedangkan si tuan memaksa budaknya untuk berbuat demikian. Sebagaimana KUHP juga melarang dan mempidanakan pelaku prostitusi sebagaimana yang diatur dalam KUHP pasal 297.  Seseorang yang dipaksa melakukan suatu perbuatan dalam hukum Islam dinyatakan ia tidak bersalah sepanjang dapat dibuktikan bahwa memang ia melakukan dengan sangat terpaksa dan diiringi intimidasi. Lalu bagaimana dengan paksaan melakukan zina? Dalam surat an-Nahl Allah berfirman :
مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرٗا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٦ [18]
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

Menurut hemat penulis pemaksaan melakukan zina dapat diqiyaskan dengan pemaksaan seseorang untuk menjadi kafir, dengan catatan ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menolak serta mendapat ancaman yang dapat membahayakan jiwanya. Selama ia masih bisa menetapkan hatinya untuk beriman maka ia tidak berdosa. Kekerasan semacam ini telah dianggap tindakan pidana dalam KUHP pasal 285 tentang kejahatan terhadap asusila.

Dalam Hukum Islam mencederai anggota yang bersifat tunggal seperti alat kelamin, mulut, hidung, akan dikenakan diat (denda) penuh yaitu 100 ekor unta, sedangkan bila yang diciderai adalah salah satu anggota tubuh yang bersifat ganda seperti mata, tangan, kaki, telinga, payudara (baik perempuan maupun laki-laki) maka dikenai diat setengah yaitu 50 ekor unta. Pada pencederaan sepasang testis dikenakan diat penuh, dan setengah diat pada pencederaan salah satunya. Hal itu sebagaimana pencederaan sepasang bokong, sepasang mulut kemaluan wanita, sepasang payudara (perempuan dan laki-laki), dan setengah diat pada salah satunya, maka diatnya adalah setengah.[19] Kejahatan seksual pada wanita yang masih berstatus gadis, berdampak pada hilangnya Kesucian (keperawanan), sehingga menurut hemat penulis, pelaku tindak kejahatan ini akan mendapatkan hukuman diat secara penuh dalam Hukum Islam. Sedangkan kejahatan seksual yang ditujukan pada laki-laki seperti terpotongnya ujung dari penis, walaupun hanya pucuknya namun hal itu dapat mempengaruhi pada pengeluaran air seni dari korban.[20] Begitu juga dengan kejahatan yang dilakukan melalui lubang anus, meskipun tidak ada selaput yang rusak, tetapi kejahatan ini dapat menimbulkan kerusakan yang fatal pada diameter lubang anus, sehingga menurut hemat penulis hal ini dapat dikenai diat penuh.
Adapun dasar hukum yang melandasi diat ini adalah Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 92
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَ‍ٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَ‍ٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٩٢

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[21]

Hadits Nabi Muhammad SAW
عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ حَزْمٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ إِلَى أَهْلِ اَلْيَمَنِ فَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ مَنْ اِعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ بَيِّنَةٍ, فَإِنَّهُ قَوَدٌ, إِلَّا أَنْ يَرْضَى أَوْلِيَاءُ اَلْمَقْتُولِ, وَإِنَّ فِي اَلنَّفْسِ اَلدِّيَةَ مِائَةً مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلْأَنْفِ إِذَا أُوعِبَ جَدْعُهُ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَللِّسَانِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلشَّفَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلذِّكْرِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْبَيْضَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلصُّلْبِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْعَيْنَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلرِّجْلِ اَلْوَاحِدَةِ نِصْفُ اَلدِّيَةِ, وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْجَائِفَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِنْ أَصَابِعِ اَلْيَدِ وَالرِّجْلِ عَشْرٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلسِّنِّ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ وَفِي اَلْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَإِنَّ اَلرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ, وَعَلَى أَهْلِ اَلذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ (  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي اَلْمَرَاسِيلِ وَالنَّسَائِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَأَحْمَدُ, وَاخْتَلَفُوا فِي صِحَّتِهِ )[22]
Dari Abu Bakar Ibnu Muhammad Ibnu Amar Ibnu Hazem, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman -dan dalam hadits itu disebutkan- "Bahwa barangsiapa yang secara nyata membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka ia harus dibunuh, kecuali ahli waris yang terbunuh rela; diyat (denda) membunuh jiwa ialah seratus unta; hidung yang dipotong habis ada diyatnya; dua buah mata ada diyatnya; lidah ada diyatnya; dua buah bibir ada diyatnya; kemaluan ada diyatnya; dua biji penis ada diyatnya; tulang belakang ada diyatnya; kaki sebelah diyatnya setengah; ubun-ubun diyatnya sepertiga; luka yang mendalam diyatnya sepertiga; pukulan yang menggeser tulang diyatnya lima belas unta; setiap jari-jari tangan dan kaki diyatnya sepuluh unta; gigi diyatnya lima unta; luka hingga tulangnya tampak diyatnya lima unta; laki-laki yang dibunuh karena membunuh seorang perempuan, bagi orang yang biasa menggunakan emas dapat membayar seribu dinar." Riwayat Abu Dawud dalam hadits-hadits mursal, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Mereka berselisih tentang shahih tidaknya hadits tersebut.

Ketentuan diyat dalam masalah kejahatan seksual dalam pandangan al-Qur’an dan Hadits di atas memberikan penjelasan mengenai adanya sanksi kepada pelaku tindakan kejahatan, baik itu kejahatan seksual ataupun kejahatan lain, namun tidak menjelaskan perbedaan sanksi terhadap korban kejahatan seksual dibawah umur (belum mencapai usia dewasa), sehingga perlu diadakan kajian lebih lanjut yang khusus membahas mengenai sanksi tersebut.
Sementara itu sanksi dalam Islam yang paling tinggi adalah Qisas (Hukuman Mati), Diyat (Denda), maaf. Pemakaian dari ketiga jenis sanksi ini dapat dilihat dari kapasitas kesalahan yang dilakukan, kemudian dalam penentuan berat atau ringannya sanksi semua diserahkan kepada pertimbangan Hakim. As-Sayyid Sabiq memberikan pendapat mengenai beberapa ayat al-Qur’an (al-Baqarah 178-179, an-Nisa’ 92) yang berkaitan dengan hukum Qisas Diyat mengandung beberapa pemikiran diantaranya adalah:
a.       Hukum Qisas merupakan bentuk koreksi hukum jahiliyyah yang diskriminatif.
b.      Adanya hukum alternatif yaitu Qisas, Diyat, atau maaf.
c.       Adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang penerapan hukum qisas.
d.      Adanya sistem rekonsiliasi dalam proses pemindanaan antar para pihak yang bersangkutan (korban atau wali dan pelaku)
e.       Dalam qisas akan terjamin kelangsungan hidup.[23]
Kemudian Muhammad Syahrur dalam teorinya batas maksimal (halah al-had al-a’la) menyatakan “ hukum qisas dalam al-Qur’an merupakan hukum yang tertinggi, sehingga dalam kasus tertentu hakim dapat menentukan hukum yang lebih rendah atas persetujuan si korban atau walinya”.[24]
Adapun kejahatan asusila seperti pelaku lesbian dan homoseks, mereka tidak dihukum hadd tetapi mereka di hukum Ta’zir. Adapun batasan jumlah takzir Rasulullah telah menentukannya sebagaimana hadits:
حديث أَبِي بُرْدَةَ رضي الله عنه، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ، إِلاَّ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ الله
أخرجه البخاري في:
86 كتاب الحدود: 42 باب كم التعزير والأدب
Abu Burdah r.a. berkata: Adanya Nabi saw. bersabda: Tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kau kecuali dalam had yang telah ditentukan hukum had oleh Allah ta'ala. (Bukhari, Muslim).[25]

B.     Kejahatan Seksual Menurut Perundang-Undangan di Indonesia
Indonesia adalah negara hukum, hukum terbentuk berdasar pada Pancasila, latar belakang berdirinya pancasila tidak lepas dari pemikiran para tokoh Indonesaia baik yang Nasinolis Sekuler ataupun Nasionalis Religius. Adanya hukum tidak terlepas dari tujuan utama bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketika kita membahasa mengenai kejahatan terhadap sesama manusia baik itu kejahatan fisik ataupun non fisik, semua telah diatur dan ditetapkan oleh sistem perundang-undangan di Indonesia. oleh karena itu dalam membahas kejahatan seksual ini, penulis mengambil beberapa dasar yurisprudesi yang berkaitan erat dengan kejahatan seksual diantaranya:
-          Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid)
-          UU PKDRT
-          UU Perlindungan Anak
-          UU Hak Asasi Manusia
-          UU Perkawinan
-          Dan BKKBN
Kejahatan Seksual di Indonesia sering pula disebut dengan “Kejahatan Terhadap Kesusilaan” kemudian masyarakat Indonesia lebih mengenalnya dengan “Pelecehan Seksual”, kejahatan ini telah terbahas dan ditetapkan pula sanksinya dalam Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) dalam bab XIV yang terdiri dari 21 pasal yang membahas khusus tentang pelecehan seksual. 21 pasal tersebut telah mencakup 4 perundang-undangan terkait seperti yang telah tersebut diatas.
Dalam penetapan sanksi, KUHPid menerapkan beberapa pidana yang diklasifikasikan menjadi:[26]
a.       Pidana Pokok
1)        Pidana Mati
2)        Pidana Penjara
3)        Pidana Kurungan
4)        Pidana Denda
5)        Pidana Tutupan
b.      Pidana Tambahan
1)        Pencabutan hak-hak tertentu
2)        Perampasan barang-barang tertentu
3)        Pengumuman putusan hakim

Kekerasan terhadap manusia memiliki sumber ataupun alasan yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan ideologi gender. Salah satu sumber kekerasan yang diyakini sebagai penyebab kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan adalah ideologi gender. [27]
Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan gender related violence yang mempunyai macam dan bentuk kejahatan, diantaranya adalah:[28]
1.      bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan. Perkosaan itu terjadi ketika seseorang melakukan tindakan pemaksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa adanya kerelaan dari yang bersangkutan, namun ketidakrelaan ini sering kali tidak dapat terungkap dikarenakan berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, atau keterpaksaan, baik ekonomi kultural.
2.      Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestik Violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak kecil (Child Abuse).
3.      Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
4.      Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitutions). Kekerasan ini dilakukan oleh perorangan maupun organisasi dengan tujuan untuk suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Akibatnya masyarakat selalu memandang rendah pelacur sebagai sampah masyarakat sementara tempat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang, terutama laki-laki.
5.      Kekerasan dalam bentuk pornografi, kekerasan ini berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena menjadikan tubuh perempuan sebagai objek ekonomi seseorang.
6.      Kekerasan dalam bentuk pemaksaan melakukan sterilisasi dalam KB, dalam rangka memenuhi target kegiatan ini seringkali menjadi praktek kekerasan yang terstruktur meskipun semua orang tahu bahwa persoalan tidak hanya berasal dari kaum wanita tetapi juga dari kaum laki-laki.
7.      Kekerasan terselubung, (molestations) yaitu kekerasan yang dilakukan dengan memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
8.      Kejatan yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual, karena mereka menganggap itu sebagai suatu tindakan untuk mengekspresikan persahabatan, namun pada dasarnya tindakan itu bukanlah tindakan yang menyenangkan bagi kaum wanita.
Dari beberapa pasal yang berasal dari beberapa yurisprudensi di atas, dapat dipahami bahwa kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia sangat beragam. Sementara itu supremasi hukum masih sangat dipertanyakan, keberlakuan kekuatan undang-undang sangat berbanding terbalik dengan kasus kejahatan seksual yang saat ini telah menjamur dan tidak memandang usia. Menurut hemat penulis, kejahatan seksual ini tidak mungkin bisa teratasi jika masyarakat tidak berperan aktif dalam berupaya untuk menjaga diri sendiri dari berbagai kemungkinan timbulnya kejahatan seksual, misalnya saja dalam berpakaian dan berperilaku. Seringkali kejahatan seksual ini timbuk karena ada umpan yang sangat menggiurkan terutama dari kalangan wanita yang sering kali berpenampilan serba minimalis seakan-akan sengaja memancing hasrat lelaki untuk berbuat asusila.


Kesimpulan
1.    Sebelumnya perlu diingat bahwasannya hukum pidana Islam tidak diterapkan dengan mudah di Indonesia, berbeda dengan hukum perdata Islam yang sebagian besar saat ini telah berlaku dan dilakukan di Indonesia. Islam secera tersirat telah menjelaskan beberbagai hal yang berkaitan dengan kejahatan seksual dengan konsekuensi yang cukup jelas, namun masih memiliki beberapa dilema hukum jika dikaitkan dengan permasalahan yang ada saat ini, dimana Islam sangat kental dengan budaya arab, sementara di Indonesia masyarakat terdiri dari berbagai budaya dengan latar belakang yang berbeda, hal ini memberikan dampak hukum yang berbeda pula. Namun Islam telah melarang berbagai bentuk kejahatan secara umum, hal ini dimungkinkan ada kejahatan lain yang saat ini belum terjadi, dan akan terjadi pada hari kemudian. Al-Qur’an memang tidak dengan jelas mengatur kejahatan seksual secera terperinci, namun al-Qur’an memberikan trik agar senantiasa umat Islam terhindar dari perbuatan yang keji, hal ini adalah salah satu kemuliaan al-Qur’an dengan menggunakan bahasa yang halus.
2.    Perundang-undangan di Indonesia telah mengatur berbagai macam hal yang berkaitan dengan kejahatan seksual, juga mempertimbangkan aspek non fisik secara jelas dan terperinci. Penentuan hukuman tergantung pada berat atau ringannya suatu perbuatan kejahatan itu, tetapi telah disepakati bahwa segala bentuk kejahatan adalah terencana, sehingga kasus kejahatan seksual tidak mungkin terlepas dari unsur ke-alpaan seseorang ataupun terjadi dengan sendirinya. Keterkaitan perundang-undangan kasus pidana umum dan pidana khusus di Indonesia dengan Hukum Islam dapat dilihat dari tujuan adanya kedua hukum, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang damai dan makmur dalam masyarakat, meskipun ada beberapa hal yang masih dipertentangkan, namun pertentangan itu semata-mata hanya disebabkan perbedaan latar belakang keilmuan dalam memaknai sebuah hukum.


[1] Makhrus Munajat, Hukum Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2009), 3.
[3] Wikipedia.org 17 maret 2017.
[4] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2009), 134. Lihat Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 109.
[5] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2009), 142.
[6] QS. an-Nuur 24 ayat 21
[7] Jalaluddin asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain, CHM www.maktabah-alhidayah.tk (Pesantren Persatuan Islam: Tasik malaya, 2009
[8] Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir, alih bahasa, Abdul Ghofar dan Abu Ihsan al-Atsari, Jilid VI, Juz 18, Cet I, (Bogor: Pusataka Imam Syafi’i, 2004), 27.
[9] QS. An-Nur 24 ayat 30
[10] Jalaluddin asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain, CHM,,,.
[11] Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir,,,40.
[12] QS. An-Nur 24 ayat 31
[13] Jalaluddin asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain,CHM...
[14] Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir,,,44
[15] Jalaluddin asy-Sayuthi & Jalaluddin Ahmad ibn Ahmad al-mahilly, Tafsir Jalalain,CHM...
[16] Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Syaikh, Tafsir Ibn Katsir,,,52-53.
[17] Mu’mal Hamidy, Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 2, (Surabaya; Bina Ilmu Offset, 2011), 669.
[18] QS an-Nahl 16 ayat 106
[19] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Abu Syauqina, Abu Aulia Rahma, Cet I, (Matraman: Tinta Abadi Gemilang: 2013), 349.
[20] Ibid,,. 348.
[21] Alqur’an Surat An-Nisa’ (4) ayat (92)
[22] Bulugh al-Maram hadits no 967
[23] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2009), 175. Lihat As-Sayyid Sabiq, Fiqh, II: 433-434.
[24] Ibid,, 175. Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab, 458.
[25] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Lu’lu’ Wal Marjan, Alib bahasa, Salim Bahreisy, Jilid 2, No Hadits 1110, (Surabaya; Bina Ilmu Offset, t.t), 633.
[26] KUHPidana BAB II pasal 10 tentang PIDANA
[27] Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah tangga, Cet II, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2009), 14.
[28] Perempuan dan Penyelesaian,, 16-17.