Rabu, 19 September 2018


Usia Perkawinan Perspektif Agama di Indonesia
Oleh: Nur Afif Maftuchin Aljabar

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yang disahkan pada 1 Januari 1974, Indonesia telah memberi ketetapan usia perkawinan yang diperuntukkan semua agama di Indonesia yang tertera pada pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1)   Perkawinan hanya di izinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2)   Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita
(3)   Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3)[1] dan (4)[2] Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)[3]
Ketetapan usia perkawinan juga telah di tetapkan oleh agama yang telah berkembang di Indonesia yaitu:
1.      Agama Islam
Perkawinan dalam agama Islam pada umunya di dasarkan pada perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Aisyah, menurut Hadits Shahih pernikahan Nabi dan Siti Aisyah dilakukan saat Siti Aisyah berusia 6 tahun, kemudian mulai tinggal bersama pada usia 9 tahun. Berdasarkan hadits yang tertera dalam Shahih Muslim No. Indeks 1422 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ محمد بْنُ الْعَلَاءِ: حَدَّثَنَا أَبُوْ أَسَامَةَ. (ح) وَحَدَّثَناَ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ قَالَ: وَخَدْتُ فِي كِتَابِيْ عَنْ أَبِيْ أُسَامَةَ, عَنْ هِشَامٍ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ عَأءِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِسِتٍّ سِنِيْنَ, وَبَنَى بِيْ وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ...[4]

“ Hadits Riwayat Aisyah ra. Dia berkata: Rasulullah Saw menikahiku saar aku berusia enam tahun, dan beliau menggauliku saat aku berusia sembilan tahun...”
           
Pada umunya semua rujukan umat Islam terkait usia perkawinan bermuara pada hadits tersebut, temasuk pula pendapat pengikut para Imam Mazhab. Pertama, al-Syafi’i dalam pembahasan tentang “meminta izin gadis kecil untuk dinikahkan” menyatakan “Aisyah dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr dengan Nabi SAW, hal itu menunjukkan bahwa Abu Bakr (sebagai orang tua) lebih berhak kepada Aisyag (sebagai anak) dengan persoalan perkawinan. Sebab, bocah 7 dan 9 tahun tentu belum memiliki kedewasaan yang memadai (untuk mengambil keputusan)” (al-Syafi’i, 1393H: 167). Kedua, al-Sarakhsi (W. 490 H) yang merupakan ulama mazhab Hanafi menulis dalam bukunya al-Mabsuthi “kita mendengar bahwa Nabi SAW menikahi Aisyah sewaktu masih kanak-kanak berusia 6 tahun. Baliau baru hidup serumah dengannya saat Aisyah telah berusia 9 tahun. Kehidupan diatara keduanya hanya berlangsung selama 9 tahun ketika Nabi SAW pulang ke Hadirat Ilahi pada tahun 11 H. Hadits tentang usia ‘Aiyah saat dinikahi oleh Nabi SAW tersebut merupakan bukti perihal legalitas perkawinan anak-anak (dibawah umur).(al-Sarakhsy, 1406H: 212). Ketiga, dari kalangan ulama mazhab Maliki Ibn ‘Abd al-Barr mengemukakan “Abu Bakr al-Shiddiq menikahkan puterinya, Aisyah yang masih berstatus gadis belia di usia 6 atau 7 tahun. Oleh kerena itu, seorang ayah boleh mengawinkan puterinya yang masih kanak-kanak, baik perawan maupun janda, meski belum mencapai usia menstruasi, tanpa seizinnya” (Ibn Abd al-Barr, 1407 H: 231). Keempat, Ibn Qudamah dari mazhab Hambali, mengutarakan dalam bukunya al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal “Adapun gadis merdeka, maka ayahnya memegang otoritas pernikahan putrinya yang masih perawan (tanpa diperselisihkan oleh para ulama). Dasarnya, Abu Bakr al-Shiddiq mengawinkan putrinya Aisyah dengan Nabi SAW ketika masih berumur 6 tahun”(Ibn Qudamah, 1408 H: 26)[5]
            Sehingga dapat di ambil kesimpulan bahwasannya agama Islam membolehkan melakukan perkawinan pada usia 6 tahun bagi perempuan, dan tidak menentukan usia bagi laki-laki. Namun bila berkaca dari peristiwa ini, maka usia perkawinan laki-laki hendaknya lebih tua

2.      Agama Kristen Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik BAB III yang membahas halangan-halangan melakukan perkawinan disebutkan bahwa halangan yang pertama adalah Laki-Laki belum berumur genap 16 (enam belas) tahun, dan perempuan sebelum berumur genap 14 (empat belas) tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah, kewenangan penentuan usia perkawinan yang lebih tinggi dilakukan oleh Konferensi Para Uskup  untuk melaksanakan perkawinan secara licit.(1083;1) [6]
Halangan perkawinan karena usia ini memberikan indikasi ketetapan usia perkawinan bagi umat Kristen untuk melangsungkan perkawinan, sementara jika ingin melakukan perubahan ketetapan tersebut harus melalui keputusan konferensi uskup.

3.      Agama Kristen Protestan
Dalam Kitab Hukum Kanonik BAB III yang membahas halangan-halangan melakukan perkawinan disebutkan bahwa halangan yang pertama adalah Laki-Laki belum berumur genap 16 (enam belas) tahun, dan perempuan sebelum berumur genap 14 (empat belas) tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah, kewenangan penentuan usia perkawinan yang lebih tinggi dilakukan oleh Konferensi Para Uskup  untuk melaksanakan perkawinan secara licit.(1083;1) [7]
Halangan perkawinan karena usia ini memberikan indikasi ketetapan usia perkawinan bagi umat Kristen untuk melangsungkan perkawinan, sementara jika ingin melakukan perubahan ketetapan tersebut harus melalui keputusan konferensi uskup.
4.      Agama Buddha
Menurut agama Budha empat sikap hidup yang dapat digunakan dalam mencari pasangan hidup sekaligus untuk membina hubungan suami istri yang harmonis sebagaimana yang termaktub dalam Anguttara Nikaya II: 62 disebutkan bahwa setiap pasangan yang menikah setidaknya memiliki kesamaan dalam empat hal yaitu: keyakinan (sadha), moral (sila), kedermawanan (ceda), dan kesamaan kebijaksanaan (panna).[8] Selain itu perkawinan dalam agama Buddha merupakan suatu pilihan hidup, bukan keharusan atau ketentuan pokok dari agama itu sendiri, sehingga hidup membujang pun tidak melanggar norma dari ajaran ini. Karena hal itulah maka tidak ada keterangan yang secara pasti menerangkan usia perkawinan bagi agama Buddha dan perkawinan itu cenderung mengikuti adat di mana agama ini berkembang. Sehingga di Indonesia umat Buddha dalam melangsungkan perkawinan tetap mengikuti peraturan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No 1 Tahun 1974
5.      Agama Hindu
Dalam Manava Dharma Sastra dikatakan bahwa seorang wanita walaupun telah berusia cukup, tetapi jika yang bersangkutan tidak pernah datang bulan, maka tidak dianggap memenuhi syarat untuk kawin, bahkan dikatakan tidak sehat secara fisik, yang disebut Teluh/Keming, wanita semacam ini perlu di hindari untuk di kawini, Syarat perkawinan dalam agama Hindu yang berkembang di Indonesia mengaharuskan usia dari mempelai pria 21 tahun sedangkan wanita berusia minimal 18 tahun. [9]

6.      Agama Konghucu
Agama Konghucu memiliki dua jenis Kitab pijakan yaitu Kitab Si Shu (Kontorer) dan Wu Jing (Klasik), kemudian dari dua jenis ini masing-masing memiliki isi tersendiri. Pertama. Wu Jing (lima buku tentang ujian lama) yaitu terdiri dari; Shi Jing (Kitab Odes), Shu Jing (Kitab Sejarah), Yi Jing (Kitab Perubahan), Li Jing (Buku Ritual), Chunqiu Jing (Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur). Kedua, Si Shu (empat buku) yaitu; Da Xue (Ajaran Besar), Zhong Yong (Tengah Sempurna), Lun Yu (Sabda Suci), Meng Zi (Bingcu).
Keterangan yang menyatakan usia perkawinan terdapat dalam kitab Li Jing (Buku Ritual) I A QU LI (Adat Susila) Bagian 1 ayat 7 yaitu: Orang lahir sampai 10 tahun dinamai anak wajib belajar. Ketika usia 20 tahun dinamai pemuda dan tiba saat menerima upacara mengenakan topi (tanda akil baliq). Ketika 30 tahun dinamai orang dewasa dan sudah menikah. Ketika berusia 40 tahun dinamai orang yang sudah kuat memangku jabatan. Ketika usia 50 tahun dinamai orang yang sudah mulai beruban dan dapat memangku jabatan dalam pemerintahan. Ketika usia 60 tahun dinamai orang menjelang tua dan ia berhak memberi petunjuk dan menugaskan. Usia 70 tahun ia dinamai orang tua dan ia boleh mewakilkan tugasnya kepada orang lain. Usia 80 sampai 90 tahun dinamai orang sangat tua. Orang yang usianya dibawah 7 tahun dinamai anak yang wajib di kasihi dan di kasihani. Anak yang wajib di kasihani dan orang yang sudah sangat tua biar melakukan tindakan dosa tidak dapat di hukum. Orang yang berusia 100 tahun dinamai orang yang wajib di rawat...[10]
            Dari ayat ini dapat diasumsikan bahwasannya agama Konghucu memiliki usia perkawinan yang dikehendaki dari kitab sucinya yaitu tidak kurang dari 20 tahun dan tidak melampaui 30 tahun, ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Sebab dalam kitab ini dikatakan bahwasannya usia baligh  terjadi saat usia 20 tahun.  

7.      Penghayat
Sebagai terusan dari UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengenai identitas penghayat dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk, pemerintah memberikan ketegasan pada PP 37 Tahun 2007 pasal 81 bab X sebagai berikut:
a.         Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan
b.         Pemuka Penghayat kepercayaan sebagaimana di maksud pada ayat 1di tujukan dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan untuk menandatangani surat perkawinan penghayat Kepercayaan
c.         Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di daftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
Sehingga dalam prosesi perkawinannya sangat sederhana, setelah dilakukan pengesahan oleh pemuka penghayat, kemudian perkawinan tersebut dicatatkan pada Catatan Sipil guna memperoleh akta perkawinan, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan selain menurut agama dan kepercayaan itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil,,,”.
Mengenai Usia perkawinan bagi Penghayat ini belum ada keterangan yang jelas dan bersifat universal bagi seluruh penganut Penghayat, namun proses perkawinan yang dilakuka dianggap tidak menyalahi ataupun berlawanan dengan UU No. 1 Tahun 1974, hal ini terbukti dari di berikannya akta perkawinan bagi mempelai pria maupun wanita. Asumsi sementara usia perkawinan dalam Penghayat turut menyesuaikan dengan UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.


[1] Pasal 6 Ayat (3): Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya , maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini (permintaan izin kawin pada orang tua bagi anak yang berusia di bawah 21 tahun) cukup di peroleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
[2] Pasal 6 Ayat (4): Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
[3] Pasal 6 Ayat (6): ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
[4] Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naysabouri, Sahih Muslim, Juz 1, Edisi 5, (Lebanon; Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2012), h 604.
[5] Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur Perspektif Fiqh Islam, HAM Internasional, UU Nasional, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), h 20-22.
[6] Konverensi Wali Gerja Indonesia, Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik), Alih Bahasa, Edisi 2006, (Jakarta; 2006)
[7] Konverensi Wali Gerja Indonesia, Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik), Alih Bahasa, Edisi 2006, (Jakarta; 2006)
[8] Anguttara Nikaya II
[9] I Nyoman Arthayasa, Sujawlanto, Ketut Yeti Suneli, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya, 2004), h 12-14.
[10] Kitab Li JI (Kitab Suci Tentang Kesusilaan)

Sabtu, 01 April 2017

korelasi dispensasi nikah dan kaidah fiqhiyah

latar belakang
Istilah perkawinan dibawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam sebenrarnya masih simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan kesepakaran yang berbeda. Maksud pernikahan di bawah umur menurut pendapat mayoritas yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dengan ditandai keluarnya air mani dan belum mencapai menstruasi bagi wanita yang menurut fiqh Syafi’i minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Sedangakan Imam Hanafi berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan perempuan adalah 17 tahun, sementara Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Syafi’i menyebut usia 15 tahun sebagai tanda baligh, baik untuk laki-laki maupun perempuan.[1]
Dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, batas usia perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, jika melakukan penyimpangan dari ketentuan usia di atas, maka dapat di selesaikan melalui dispensasi perkwinan di Pengadilan Agama. Kemudian Kompilasi Hukum Islam menetapkan usia perkwinan berdasarkan ketetapan yang tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Selain UUP di atas, Indonesia memiliki beberapa perundang-undangan yang berkaitan dengan usia dewasa, diantaranya adalah BW (hukum perdata), KUHPid, UU BKKBN, UUPA (Perlindaungan Anak). Dalam hukum perdata Indonesia Usia dewasa yaitu 18 tahun, KUHPid menetapkan usia dewasa adalah 21 tahun. BKKBN menginginkan usia perkawinan adalah 25 bagi laki-laki, dan 21 tahun bagi perempuan. UUPA pasal 4 ayat (1) menetapkan usia dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki, dan 18 tahun bagi perempuan.
Latar belakang terjadinya perbedaan dalam penetapan usia dewasa menurut perundang-undangan yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh akibat mental dalam pelaksanaan undang-undang tersebut, karena dalam penerapan hukuman perdata tidaklah sama dengan hukuman pidana.
Di sisi lain, perkawinan yang menyeleweng dari penetapan usia KHI, yaitu 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Pengadilan Agama yaitu Dispensasi Nikah, adanya upaya ini adalah untuk memberikan solusi bagi mereka yang terlibat suatu perkar hingga terpaksa untuk melakukan perkawinan di bawah usia yang telah ditetapkan. Makalah ini akan membahas mengenai DispensasNikah perspektif Kaidah Fikih

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana korelasi Dispensasi nikah dan Kaidah Fiqh?
2.      Bagaimana korelasi Dispensasi nikah dan cabang-cabang kaidah Fiqh?































A.    Pengertian Dispensasi Nikah
Keberadaan dispensasi nikah ini sebagai bentuk dari pengejawantahan pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, tentang syarat-syarat perkawinan yaitu “Dalam hal penyimpangan pada ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Yang dimaksud ayat (1) adalah syarat keharusan menikah pada usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sehingga apa bila usia pasangan suami isteri atau salah satunya kurang dari usia yang ditetapkan maka di haruskan meminta dispensasi, dalam hal in diatur dengan meminta perizinan kepada majelis hakim di Pengadilan Agama.  
Adapun pengertian dispensasi menurtu KBBI adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus, karena pertimbangan yang dikehendaki bersifat khusus, maka yang berhak memberikan ketetapan hukum hanya pihak pengadilan berdasakan ketetapan majelis hakim. 
Dengan adanya dispensasi ini, diharapkan dapat membantu para pihak yang dalam hal ini terpaksa harus melakukan perkawinan dibawah usia yang ditetapkan, karena jika tidak dilakukan perkawinan dikhawatirkan akan menciptakan mudarat yang lebih besar, sedangkan maqasid syari’ah juga termasuk menjaga kehormatan, dalam hal ini menjaga nama baik keluarga.  
B.     Korelasi Kaidah Fiqh dan Dispensasi Nikah
Secara terminologis, langkah penentuan usia kawin di dasarkan pada metode Masalahat Mursalah. Namun demikian karena sifatnya ijtihady, yang kebenarannya relatif, sehingga ketentuan tersebut tidak bersifat kaku.[2]  Meskipun sifatnya ijtihady, jika di lacak lebih jauh penentuan usia nikah yang ditetapkan oleh UUP dan KHI merujuk pada Firman Allah:
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩[3]
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar

Ayat tersebut memberikan petunjuk yang bersifat umum, meskipun tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur dapat membahayakan kesejahteraan dan akan banyak menimbulkan kemudaratan. Akan tetapi menurut pengamatan dan penelitian beberapa pihak, faktor tidak tercapainya tujuan dari perkawinan sangat dipengaruhi dengan rendahnya usia kawin. Hal ini diakibatkan karena pola berfikir yang kurang matang sehingga pasangan tersebut tidak dapat mengatasi masalah keluarga dengan solusi yang baik, dan pada akhirnya muncul keinginan untuk bercerai.
Adanya Dispensasi Nikah ini adalah sebagai upaya untuk memberikan solusi kepada para pihak yang dengan terpaksa melakukan perkwinan di bawah usia yang telah ditetapkan, namun dengan catatan jika tidak segera di nikahkan maka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar, contoh yang banyak terjadi di masyarakat yaitu kehamilan di luar nikah dan masih berusia kurang dari 16 tahun, sedangkan pelakunya belum mencapai usia 19 tahun dan atau telah melebihi usia 19 tahun, kemudian meminta penetapan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan izin melakukan perkawinan dengan tujuan menghindari adanya anak (bayi) yang lahir tanpa terdampingi oleh hadirnya suami, akibat selanjutnya akan berdampak pada kondisi mental seorang anak yang apabila dilahirkan tanpa seorang ayah, mayoritas lingkungan di Indonesia sangat buruk dalam menyikapi hal ini.
Sehingga untuk menghindari kemudaratan ini, pihak pengadilan diberikan kewenangan untuk memberikan ketetapan kepada mereka yang meminta Dispensasi perkawinan. Sehingga menurut hemat penulis, kebijakan ini berkaitan erat dengan kaidah asasi fiqih yaitu :
أَالضَرَرُ يُزَالُ
“ Kemudaratan harus dihilangkan”
Sebagaimana yang dikatakan oleh Izzudin Ibn Ad al-Salam bahwasannya tujuan syari’ah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka dapat dikatakan maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadat mengakibatkan kemadaratan. Sehingga para ulama lebih memerinci dengan memberikan beberapa persyaratan dan ukuran tertentu pada maslahat.[4]
Untuk lebih memahami maksud dari kaidah di atas dapat kita mulai dari memahami beberapa arti yang disampaikan para ahli, al-Dhararu berarti membuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, membuat kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diperbolehkan dengan agama, adapun yang diperbolehkan agama yaitu seperti hukuman Qishas, Hudud, Diyat, dll.[5] Kaidah tersebut sering di ungkapkan dengan apa yang tersebut dalam hadits:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَرَ
“ tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan” (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)
Menurut Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah, la dharara artinya adalah la yadhurru al-rajulu al-rajulu (tidak diperbolehkan seseorang berbuat bahaya terhadap saudara-saudaranya yang menyebabkan haknya jadi berkurang. Sedang al-Dirara menurut Ibnu Atsir adalah la yujazihi ‘ala idhrar ihi bi idkhal al-dhariri ‘alaihi (tidak diperbolehkan orang yang mendapat perlakuan bahaya dari orang lain membalasnya dengan bahaya).[6]
Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagimu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain (tetangga) memudaratkan”.[7]
Menurut al-Zauhari, al-Dhiraru adalah lawan kata dari manfaat, oleh karena itu, kata ini mengukuhkan kepada kata yang pertama (al-dhararu). Tetapi menurut beberapa ulama lain seperti Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Arba’in al-Nawawiyah mengatakan kata al-Dhararu artinya berbuat kerusakan kepada orang lain. Sedangkan kata al-dhiraru artinya berbuat kerusakan kepada orang lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh agama. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai pengertian ini yaitu tidak diperkenankan memudaratkan dan di mudaratkan.[8]
Kaidah di atas di dukung pula dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang mengandung maksud yang sama dengan kaidah tersebut yaitu diataranya:
...ۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ ...
... Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. [9]
وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ ١٨٣
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.[10]

Dari dua landasan ayat ini, dapat dipahami bahwasannya Allah sangat melarang umatnya membuat kerusakan yang merugikan orang lain, baik kerugian itu bersifat fisik ataupun non fisik. Jika dikaitkan dengan adanya dispensasi nikah, maka dapat di korelasikan pada sebab yang melatar belakangi para pihak meminta untuk mendapatkan dispensasi nikah, yaitu keinginan untuk mendapatkan izin melaksanakan perkawinan karena adanya suatu perkara yang dapat di selesaikan dengan melakukan perkawinan, perkara yang sering terjadi di masyrakat adalah Lamaran Keri Meteng Disek (LKMD) kemudian pelaku belum mencapai usia perkawinan sehingga kedua orang tua sepakat untuk menikahkan pelaku dengan meminta izin Pengadilan Agama.  Sehingga menurut hemat penulis, Dispensasi yang diberikan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama memberikan kemudahan dan dapat dikatakan menutup aib keluarga pelaku, dan ini sangat berkaitan erat dengan tujuan dari kaidah ­ad-Dararu yuzalu.

C.    Cabang-cabang Kaidah  al-Dararu yuzalu
Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari al-dharar yuzalu diantaranya adalah:

الضَرُورَةُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang

Dalam hal ini dispensasi nikah merupupakan sarana untuk membolehkan perkawinan dibawah usia yang telah ditentukan undang-undang, tentu saja hal ini melanggar ketetapan yang telah diberlakukan, sehingga kaidah ini dapat di jadikan dasar terlaksananya dispensasi nikah.
الضَّرُوْرَاتُ تُقَدًّرُ بِقَدَرِهَا
Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
Dalam penerapan dispensasi nikah, majelis hakim mempunyai hak untuk memutuskan apakan pihak yang berperkara dapat di izinkan melakukan perkawinan atau tidak, hal ini juga di dasarkan pada alasan para pihak meminta dispensasi, sekiranya alasan itu menurut hakim tidak dikategorikan sebagai masalah yang sangat darurat, maka hakim berhak menolak untuk memberikan izin perkawinan. Sehingga kadar kedaruratan juga mempengaruhi keputusan majelis hakim dalam memberikan izin.
الضَّرَرُ يُزَالُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Keumudaratan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”
Penerapan kaidah ini mempunyai kesamaan dengan kaidah di atas, dimana kedua kaidah ini sangat mempertimbangkan ukuran batas-batas kebolehan seserorang diperbolehkan meminta dispensasi perkawinan.
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Kemudaratan tidak boleh dihilangkan degan kemudaratan”
Seseorang yang hendak meminta dispensasi pasti memiliki alasan untuk mencegah terjadinya bahaya yang akan timbul di kemudian hari, sehingga tidak mungkin para pihak tersebut melakukan mudarat yang lain untuk menghindari mudarat yang akan datang, misalnya kemudaratan itu berupa kehamilan, untuk mencegah terlahirnya seorang anak maka menempuh jalan aborsi. Tindakan yang seperti inilah yang dilarang, sehingga perlu adanya solusi lain yang lebih maslahat.
يُحْتَمَلُ الضَّرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَّرَرِ العَامِ
“Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Penerapannya yaitu kebolehan putusan hakim  untuk melakukan perkawinan meskipun pihak berperkara masih dibawah usia yang ditetapkan, dengan tujuan menghilangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi di kemudian hari jika pihak tersebut tidak diberikan izin melakukan perkawinan, seperti terlahirnya seorang anak tanpa diketahui siapa ayahnya, sehingga dalam lingkungan masyarakat anak tersebut akan mendapat tekanan mental dan perlakuan yang cenderung diskriminatif dengan dalih anak haram.






kesimpulan
1.      Korelasi kaidah fiqh dan Dispensasi nikah dapat terlihat dari kaidah asasi  al-dararu yuzalu  yang memiliki tujuan dan maksud yang sama dengan adanya dispensasi nikah, yaitu untuk memberikan solusi kepada orang-orang yang dengan terpaksa melanggar ketetapan usia perkawinan yang telah ditetapkan oleh undang-undang no.1 tahun 1974 pasal 7. Dispensasi ini juga sebagai pengejawantahan dari pasal 7 ayat (2) yang mengharuskan meminta dispensasi perkawinan bagi mereka yang masih belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
2.      Beberapa kaidah cabang dari kaidah al dararu yuzalu mempunyai korelasi yang dapat diterapkan, namun menurut hemat penulis tidak semua kaidah cabang dapat diterapkan, karena setiap kaidah memiliki ke khususan dan batasan tersendiri. Sedikitnya ada lima kaidah yang dapat dikategorikan mempunuyai korelasi yang erat pada upaya dispensasi nikah di Pengadilan Agama.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, Jakarta: Kencana, 2006.
Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III.
Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, Yogyakarta: Teras, 2011.




[1] Husein, Muhammad Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), (Yogyakarta: LKIS, 2001), 90.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 59.
[3] QS. an-Nisa’ [4] ayat 9.
[4] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet I, (Jakarta: Kencana, 2006), 67.
[5] Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, 252
[6] Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, 81
[7] Djazuli,,, 68.
[8] Toha Andiko, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah, Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2011), 110.
[9] QS. al-Baqarah: 2 ayat 231.
[10] QS. Asy Syu’ara: 26 ayat 183