Fasakh
Nikah
A.
Pendahuluan
Perkawinan
merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan juga
merupakan awal untuk menuju kehidupan sosial di lingkungan masyarakat dengan
satu tujuan perkawinan yaitu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah.
Perkawinan tidak hanya mengikat antara satu orang lak-laki dengan seorang
perempuan, melaikan perkawinan juga melibatkan dua keluarga bahkan lebih,
karena itu jika ada permasalahan yang timbul, penyelesaian yang dilakukan
haruslah mempertimbangkan kelangsungan hubungan baik dengan keluarga yang
bersangkutan.
Meskipun
telah
diterangkan
dalam
pasal 2 UU No. 1 tahun 1974
dan pasal
3 KHI tentang tujuan perkawinan, perceraian
masih
tetap
menduduki
perkara
tertinggi di lingkungan
Peradilan Agama. Hal ini
dikarenakan
Islam telah
memberikan
hak
kepada
suami
dan
isteri
untuk
membubuarkan
perkawinan
dengan
berbagai
cara yang telah
diatur
dengan
berbagai
syarat yang harus
terpenuhi, pembubaran
ini
dapat
dilakukan
dengan
cara
khulu’, talak, dan
fasakh.
Apabila
akad nikah telah berlangsung dan memenuhisyarat rukunnya, maka akan menimbulkan
akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan hak dan kewajiban
suami isteri dalam keluarga yang meliputi: hak atas suami isteri, hak isteri
terhadap suami. Termasuk di dalamnya adab suami terhadap isteri yang telah
dicontohkan Rasulullah.[1]
Dalam
kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan untuk
cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena di khawatirkan dapat
berakibat bahaya yang lebih besar daripada disatukan ,dan jika terus menerus
dipaksa justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau
balau.[2]
Dalam
kajian hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum takhlifi
maupun hukum wad’i bisa bernilai sah, dan bisa pula bernilai batal.[3] Kata sah berasal dari
bahasa Arab “ sahih” yang secara etimologi berarti sesuatu dalam kondisi baik
dan tidak tercatat. Menurut istilah Usul Fiqh kata sah digunakan kepada satu
ibadah atau akan yang dilaksanakan dengan melengkapisegala syarat dan rukunnya.
Kata batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bilamana satu akad tidak
dinilai sah berarti batal.[4]
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk menjeleaskan tentang fasakh nikah yang kemudian
pembahasannya diawali dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema yang
ada. Dalam hal ini penulis akan memaparkan beberapa ayat dan tafsirnya yang
berkaitan dengan fasakh nikah, kemudian mejelaskan pula tinjauan hukum dari
Fiqh, Undang-Undang, dan juga Kompilasi Hukum Islam
B.
RumusanMasalah
Berkaitan
dengan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang
kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini, adapun rumusan masalah
yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
tafsir ayat-ayat Al-Qur’an tentang fasakh nikah?
2. Bagaimana
tinjauan fiqh tentangFaksakh nikah?
3. Bagaimana
tinjauan KHI tentang Fasakh nikah?
C.
Pembahasan
1.
Metode
Penafsiran Ayat-Ayat tentang Fasakh
Pada
dasarnya tidak ada ayat Al-Qur’an menjelaskan secara langsung mengenai fasakh
dalam perkawinan, melainakan Al-Qur’an menjelaskannya dengan makna yang
tersirat dari beberapa ayat, sehingga untuk dapat memahami dalil ini diperlukan
sabab nuzul dan berbagai hadits pendukung untuk menguatkan dasar berlakunya
fasakh dalam Islam.
Untuk
dapat mengetahui dasar hukum fasakh maka penulis dalam hal ini akan menggunakan
metode tafsir maudhu’i (tematik). Metode tafsir maudhu’i secara bahasa maudhu’i
berasal dari kata موضع
yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan
dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an.
Berdasarkan pengertian bahasa secara sederhana, metode tafsir maudhu’i ini
adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdsarkan tema atau topik permasalahan.
Definisi
diatas dapat dipahami bahwa sentral dari metode maudhu’i ini adalah menjelaskan
ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan
tertibturunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan
ayat yang lain yang dapat memahami ayat lalu menganalisanya secara cermat dan
menyeluruh[5].
Pengertian
tafsir tematik/maudhu’i secara
terminologis banyak
dikemukakan oleh para
pakar tafsir yang
pada prinsipnya bermuara pada
makna yang sama. Salah satunya menurut Dr. Abdul Hayyi
al-Farmawi, tafsir maudhu’i/tematik adalah
pola penafsiran dengan cara
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an
yang mempunyai tujuan yang
sama dengan arti
sama-sama membicarakan satu
topik dan menyusun berdasarkan
masa turun ayat serta memperhatikan latar belakang sebab-sebab
turunnya, kemudian diberi
penjelasan, uraian, komentar dan pokok-pokok kandungan hukumannya.[6]
Dalam
sebuah metode tentu ada beberapa tahapan yang harus dilalui, langkah-langkah
metode maudhu’i adalah sebagai berikut:[7]
-
Memilih atau
menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhui’i (tematik)
-
Menghimpun
seluruh ayat al-Qur’an yang terdapat pada seluruh surat al-Qur’an yang
berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat Makiyyat
ataupun Madaniyyat.
-
Menentukan
urutan ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan
sebab-sebab turunnya, jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu
turun karena sebab-sebab tertentu.
-
Menjelaskan
munasabah (relevansi) antara ayat – ayat itu pada masing-masing suratnya dan
kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya pada
masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily)
-
Menyusun tema
bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh yang
mencakup semua segi dari tema kajian.
-
Mengemukakan
hadits-hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij
dan menerangkan derajat hadits-hadits itu untuk lebih meyakinkan kepada orang
lain untuk mempelajari tema itu.
-
Merujuk kepada
kalam (ungkapan-ungkapan bangsa arab) dan shair-shair mereka dalam
menjelaskan lafadz-lafadz yang tedapat pada ayat yang berbicara tentang tema
kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
-
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara maudhu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun
ayat-ayat yang mengadung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara
yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad.
2.
Ayat-Ayat
Tentang
Fasakh Nikah
a.
Surat
Al-Baqarah
Ayat
221.
وَلَا
تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن
مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ
أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ
بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran
AsbabunNuzul Surat Al-Baqarah ayat 221.
Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
Murtsid bin Abu Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke
Madinah, sedang ia di masa jahiliyyah, memiliki hubungan dengan perempuan yang
bernama ‘Anaq, lalu wanita itu mengunjungi Murtsid dan bertanya: tidakkah engkau
masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam telah menghalangi diantarakita.
Lalu wanita itu bertanya lagi, tidakkah engkau bermaksud mengawini aku? Ia menjawab: Benar, tetapi aku akan menghadap Rasulullah
saw. Untuk meminta izin kepadanya maka turunlah
ayat ini.[8]
Muqatil bin
hayyan berkata, ayat ini turun kepada Abi Martsad Al-Ghanawi. Ia meminta izin
kepada Rasullullah untuk mengawini seorang perempuan musyrik yang miskin tetapi
cantik, yang bernama Anaq. Abu Martsad berkata kepada Rasulullah, “Ya
Rasulullah, aku mengaguminya.” Maka turunlah ayat ini.[9]
TafsirSurat Al-Baqarah ayat 221.
a)
Yang dimaksud dengan
“nikah” dalam ayat ini ialah “mengawini” bukan menyetubuhi”, sehingga dikatakan
(kepadanya sebagai bantahan) bahwa memang tidak ada dalam Al-Qur’an lafal
“wathi” (menyetubuh) sebab, Al-Qur’an menggunakan bahasa sindiran, dan ini diantara
kehalusan lafal-lafal al-Qur’an.
b)
Tentang Firman
Allah “lebih baik daripada perempuan musyrikah meskipun menarik hatimu” itu suatu
isyarat halus, bahwa yang harus diperhatikan dalam memilih jodoh ialah “ akhlaq
dan agama”, bukan kecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya.
c)
Adalah sudah maklum,
bahwa pengampunan itu diberikan kepada seseorang sebelum ia dimasukkan ke dalam
surga oleh karena itu lafal pengampunan itu lebih dahulu dari pada lafal sua
dalam ayat lain, seperti firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan surga” (QS. 3. 133), sedang dalamlafal ini ayat surga
didahulukan daripada lafal ampunan, karena untuk menjaga bentuk “muqobalah”
berhadap-hadapan dengan kata neraka, “ Mereka mengajak ku neraka sedang
Allah mengajak ke surga dan pengampunan dengan izin-Nya.
d)
Dalam ayat ini
terdapat badi’ Muhasinat Lafdhiyah, yang disebut “Muqobalah”, yaitu disebutnya
dua makna atau lebih secara berahadap-hadapan, seperti disebut lafal “amat”
(hamba perempuan) berhadapan dengan lafal “abd” (hamba laki-laki) lafal
“mukminah” berhadapan dengan lafal “musyrikah” dan lafal “jannah” (surga)
berhadapan dengan lafal “nar” (neraka). Ini merupakan segi kebagusan adm
kelembutan susunan kalimat yang menjadikan kalimat bertambahelok dan indah.
Jumhur berpendapat bahwa lafal “musyrikat” tidak
mencakup ahli kitab, karena Allah berfirman “orang-orang kafir dari ahli kitab
dan orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan” (QS. 2: 105)
di sini Allah meng’atafkan (mengubungkan)lafal “musyrikin” kepada lafal ahli
kitab” sedang ‘ataf menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang
berlainan, maka secara zahiriyah, lafal “musyrikat” tidak dapat mencakup lafal
“kitabiyyat” (perempuan-perempuan ahli kitab).
AthThabari berkata setelah mengikuti pembicaraan
ini: pendapat yang paling kuat tentang takwil ayat ini (QS. 2. 221) adalah
pendapat Qatadah yang mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan firmannya: “ dan
janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah” itu, ialah mereka yang
nun ahli kitab yaitu perempuan-perempuan yang musyrikah, dan ayat tersebut
dzahirnya adalah ‘amm (umum) sedang batinnya khas (khusus), tidak dinasakh oleh
ayat manapun, dan bahwa perempuan-perempuan ahli kitab itu tidak tergolong di
dalamnya, sebab Allah telah berfirman “dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.”(QS. 5: 5), yakni halal bagi
kaum muslimin mengawini mereka sebagaimana Allah menghalalakan mereka mengawini
perempuan-perempuan yang mukminah. [10]
Ayat ini menjadi salah satu dalil terjadinya fasakh
karena tidak diperbolehkanya menjalin hubungan rumah tangga yang berlainan
agama, begitu juga ketika salah satu dari suamiatauisterimejadi murtad, maka
ikatan perkawinan dianggap fasakh (batal/putus). Seorangwanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidakberagama Islam.[11]
b. Surat An-Nisa’ ayat23 dan 24
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ
أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ
وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ
وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي
فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ
تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ
أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣ ۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم
مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فََٔاتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ
بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٢٤
23. Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24.
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Asbabun
Nuzul Surat An-Nisa’Ayat 23
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari Ibnu Juraij bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang
“wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha
menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan
Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum
musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan
surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada
mantan istri anak angkat.[12]
Asbabun
Nuzul Surat An-Nisa’ Ayat 24
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudri: bahwa kaum
Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas.
Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka
bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut
di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang
bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 24) di waktu
perang Humain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan
dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak
dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul
menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
Ma’mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami
membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya
(sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan
pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai
ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.
Ayat yang mulia ini adalah ayat yang
menerangkan haramnya mahram berdasarkan nasab (keturunan) dan hal-hal yang
mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa
banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.”) Abu Sa’id bin
Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu `Abbas, ia berkata:
“Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh,
kemudian ia membaca: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa
akhawaatukum wa ‘ammaatukum wa khaalaatukum wa banaatul akhi wa banaatul ukhti
(“Di-haramkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramuyang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan,”) merekalah
[mahram dari] nasab.
Apakah
anak tiri yang di nikahi itu disyaratkan bahwa ia harus berada dalam penjagaan
anak ayah tiri? Menurut jumhur ulama, hal itu tidak disyaratkan, haram bagi
seorang menikahi anak tirinya, baik anak tiri itu dalam penjagaanya ataupun
tidak. Menurut ahli zhahir (kaum tekstual), hal itu menjadi syarat bagi
larangan tersebut, jika anak tiri tidak berada dalam penjagaan ayah tiri, maka
ayah tiri halal menikahinya.[14]
Jumhur ulama menggunakan dalil tentang
haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah Ta’ala: wa banaatukum (“Dan
anak-anak perempuanmu.”) Karena ia adalah anak perempuan, maka ia masuk dalam
keumuman ayat tersebut, sebagaimana madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin
Hanbal. Ada pendapat dari asy-Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukanlah
anak menurut hukum syar’i. Sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam firman:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan,” (QS. An-Nisaa’: 11) sesungguhnya ia tidak mendapatkan warisan
menurut ijma’, maka ia pun tidak termasuk ke dalam ayat ini. Wallahu a’lam.
Firman-Nya: wa ummaHaatu kumul laatii
ardla’nakum wa akhawaatukum minar radlaa’ati (“Ibu ibumu yang menyusui kamu,
saudara perempuan sepersusuan.”) Artinya, sebagaimana kamu diharamkan terhadap
ibu-ibu yang melahirkanmu, maka begitu pula kamu diharamkan dengan ibu-ibu yang
menyusuimu.
Untuk itu, di dalam ash-Shahihain
tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari ‘Aisyah
bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan
mahram apa-apa yang dapat menjadikan mahram karena kelahiran.”
Dan
dalam lafazh Muslim: “Diharamkan karena persusuan, apa-apa yang di haramkan
karena nasab”.
Sebagian ahli fiqih berkata, “Setiap
apa saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan
kecuali empat bentuk.” Sebagian lagi mengatakan, kecuali enam bentuk yang
kesemuanya tersebut di dalam kitab-kitab furu’. Setelah diteliti, ternyata
tidak ada pengecualian sedikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian
terdapat dalam nasab dan sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara
(mendasar) tidak ada yang menolak hadits tersebut sedikitpun. Segala puji hanya
milik Allah, dan kepercayaan hanya dengan-Nya.
Di antaranya yaitu: Ibu saudaramu yang
laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada seorang
perempuan (lainnya) menyusui saudara laki-lakimu atau saudara perempuanmu, maka
perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya. Akan tetapi
diharamkan bagimu ibu dan keduanya berdasarkan nasab, karena ibu dari keduanya
itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menjadi sisa
permasalahan tersebut.
Kemudian, para Imam berbeda pendapat
tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya
dengan (sekedar) menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini.
Inilah pendapat Malik,riwayat dari Ibnu Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama
lain berkata, “Kurang dari tiga kali susuan tidak mengharamkan. Sebagaimana
yang tercantum dalam Shahih Muslim dari jalan Hasyim bin Urwah dari bapaknya
dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “Satu atau dua isapan (susuan) tidak
mengharamkan.”
Qatadah
berkata dari Abil Khalil, dari `Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul Fadhl
berkata, Rasulullah bersabda: “Satu dan dua susuan atau satu dan dua isapan
tidak mengharamkan,” di dalam lafazh yang lain, “Satu dua sedotan tidaklah mengharamkan.”
(HR. Muslim)
Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan
Auza’I, tidak ada ketentuan mengenai frekuensi minimal menyusu, seberapapun
menyusunya seorang anak dengan seorang wanita, maka hal itu sudah menjadi haram
baginya menikahi wanita tersebut. Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’I, syarat bagi haramnya menikah karena
hubungan sesusuan adalah minimal lima kali. Adapun yang dijadikan hujjah
adalah hadits Aisyah, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an dahulu menyebutkan 10
kali menyusu yang dimaklumi (‘asyarah radha’at ma’lumat), kemudian di-Mansukh
oleh 5 kali menyusu yang dimaklumi (Khamsah Radha’at ma’lumat).[15](HR.
Muslim)
Diterima
dari Aisyah, Rasulullah SAW. Bersabda: orang-orang yang haram dinikahi karena
sesusuan sama dengan orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan keturunan.[16]
Pernah
diturunkan sebagaian dari(ayat) Al-Qur’an (yang menerangkan) diharamkan (menikahi kalau)
menyusu sudah sampai sepuluh kali yang dimaklumi. Kemudian di nasakhkan dengan
lima kali (menyusu) yang dimaklumi. Kemudian Rasulullah wafat, dan ia masih
dibaca sebagai sebagian dai Al-Qur’an.[17]
Kedua
ayat ini menunjukkan salah beberapa sebab terjadinya fasakh bilamana ketika
telah terjadi perkawinan yang sah, dan dikemudian hari ditemukan bukti yang sah
bahwa suami atau isterinya masih memiliki hubungan darah atau susuan.
3. Surat
Al-Mumtahanahayat 10
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ
فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ
مُؤۡمِنَٰتٖ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِۖ لَا هُنَّ حِلّٞ لَّهُمۡ
وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْۚ وَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۚ وَلَا
تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ وَسَۡٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ وَلۡيَسَۡٔلُواْ
مَآ أَنفَقُواْۚ ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡۖ وَٱللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٞ ١٠
10. Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
AsbabunNuzul Al-Mumtahanah Ayat 10:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah
Rasulullah SAW. Membuat perjanjian dengan kaum kafir Quraisy di dalam naskah Hudaibiyah, datanglah
wanita-wanita mukminat dai Makkah, makaturunlah ayat ini yang memerintahkan
untuk menguji dahulukaum wanita yang hijrah itu, dan tidak boleh kembali ke
Makkah.
(HR. Syaikhani dari
Al-MiswardanMarwah bin Ahkam)
Dalam riwayat lain juga telah dikemukakan bahwa
setelah penanda tangananHudaibiyah, UmmuKultsum binti Uqbah bin AbiMu’aith
berhijrah dari Mekkah. Kedua saudaranya yang bernama Imran dan Al-Walid bin
Uqban menyusul UmmuKultsum (saudaranya) sehingga sampai kepada Nabi SAW.
Keduanya meminta UmuKultsum diserahkan kepada mereka. Dengan turunnya ayat 10
ini Allah membatalkan perjanjian Rasulullah dengan kaum Musyrikin, khusus
tentang wanita-wanita,yaitu melarang kaum yang iman dikembalikan kepada kaum
Musyrikin.
(HR. Thabrani dengan
sanad lemah dari Abdullah bin Ahmad)
Tafsir
Surat
Al-Mumtahanah Ayat 10:
Ayat diatas menjelaskan bahwa: Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang (untuk bergabung)
kepada kamu perempuan-perempuan mukminah, yakni yang mengucapkan dua kalimat
syahadat dan dalam keadaan sebagai wanita-wanita yang berhijrahmeniggalkan
Mekkah, maka ujilah mereka menyangkut keimanan mereka. Misalnya, memerintahkan
mereka bersumpah mengenai kehadiran mereka ke Mekkah. Jangan ada yang menduga
ujian itu karena Allah tidak mengetahui hakikat keimanan mereka. Sama sekali
tidak! Allah lebih mengetahui dari siapapuntentang hakikat keimanan mereka,
maka jika kamu telah mengetahui keadaan mereka -yakni menduga keras berdasar
indikator-indikator yang memadaibahwa mereka benar-benar wanita-wanita
mukminah, maka janganlah dalam bentuk dan keadaan apapun kamu kembalikan mereka
kepada orang-orang kafir walaupun mereka itu adalah suami-suami wanita-wanita
mukminah tadi sebab mereka, para wanita mukminah itu tidak halalmenjadi
misteri-isteribagi mereka, pria-pria kafir itu, dan mereka, yakni
pria-pria kafir itu, pun tidak halal juga menjadi suami-suami sejak bagi
mereka kini dan akan datang.[18]
Ayat ini menjadi salah satu sebab terjadinya fasakh
nikah yaitu wanita-wanita mukmin tidak
dihalalkan menjadi isteri dari orang-orang kafir, walaupun mereka telah menikah
sebelumnya.
4.
Fasakh Nikah Menurut Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam.
a. Fasakh Menurut
Fiqh
Secara
bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Sedangkan
pengertian
fasakh
secara
istilah
menurut
Sayyid
Sabiq
adalah
membatalkan
akad
nikah
dan
melepaskan
hubungan yang terjalin
antara
suami
isteri,
fasakh
terjadi
apabila
ada
celah
pada
akad
nikah
atau
ada
sebab
baru yang mencegah
berlang
sungnya
hubungan
suami
isteri.[19]
Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.[20]
Syarat-syarat nikah merupakan
dasar bagi sahnya perkawinan. Pada garis besarnya syarat sahnya perkawinan itu
ada dua, yaitu:
1) Calon mempelai perempuan
halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya isteri.
2) Akad nikahnya dihadiri
para saksi
Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari:
1) Pihak laki-laki
2) Pihak perempuan
3) Wali atau wali hakim
4) Dua orang saksi
5) Ijab dan Qabul.[21]
Fasakh bisa terjadi karena
tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena
hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Dalam hal
ini fasakh dibagi mejadi dua jenis yaitu:
1) Fasakh
karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a) Setelah akad nikah
ternyata diketahui bahwa istrinya adalah sudara kandung atau saudara sesusuan
pihak suami.
b) Suami isti masih kecil,
kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau
mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih
mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2) Fasakh karena
hal-hal yang datang setelah akad
a) Jika seorang suami murtad
atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya
batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b) Jika suami yang tadinya
kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap
menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli
kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli
kitab dari semula dipandang sah.[22]
Sedang fasakh dengan keputusan
hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah jelas tidak memerlukan keputusan
hakim lagi, missal apabila si isteri terbukti bahwa si suami isteri masih
saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk memfasakhkan
perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Terkadang ada penyebab fasakh yang
tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya tergantung
kepada keputusan hakim, missal fasakh karena isteri musyrik dan enggan masuk
Islam, suami sudah masuk islam terlebih dahulu namun isteri keberatan untuk
masuk islam, maka akadnya rusak.[23]
Sebab-SebabTerjadinyaFasakh
Fasakhbisaterjadikarenatidakterpenuhinyasyarat-syaratketikaberlangsungnyaakadnikah,
ataukarenahal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.[24]
Adapun sebab
terjadinya Fasakh antara lain ialah:
1.
Apabila seorang laki-laki menipu seorang
perempuan, atau perempuan menipu laki-laki, misalnya orang laki-laki mandul
yang tidak dapat memberikan keturunan, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh
manakala ia tahu, kecuali ia memilih untuk tetap menjadi isteri dan
ridhodipergauli suaminya.
2.
Apabila seorang laki-laki mengawini seorang
perempuan yang mengaku sebagai serang yang baik-baik, kemudian ternyata fasik,
maka siperempuan berhak mengajukan fasakh untuk membatalkan akadnya.
3.
Seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan
yang mengaku perawan tetapi ternyata janda, maka laki-laki itu berhak meminta
ganti rugi maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
4.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan,
kemudian kedapatan bahwa si isteri itu cacat tidak dapat dicampuri, misalnya
selalu beristihadloh (selalu keluar darah selain darah haid), istihadhah adalah
aib karena itu dapat menyebabkan fasakh dan merusak nikah.
5.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan
tetapi di tubuh perempuan itu ada penghalang yang menyebabkan si misteri tidak
dapat dipergauli, misalnya kemaluannya tersumbat, tumbuh daging atau robek atau
ada tulangnya, suami boleh mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinannya.
6.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan
tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacar seperti supak, kusta atau
gila.
b. Fasakh Nikah
Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun
kompilasi hukum islam hanya sebatas kompilasi (bukan Undang-Undang) namun
kedudukannya di ligkungan peradilan agama,sangat mempengaruhi keputusan hakim
dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan kewenangan
peradilan agama. KHI menerangkan tentang beberapa hal yang dapat membatalkan
perkawinan diantarnya adalah:
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan
perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai
empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah
talak raj`i;
-
seseorang menikah bekas isterinya yang telah
dili`annya;
-
seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi
tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah
dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan
telah habis masa iddahnya;
b. Perkawinan
dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan
sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8
Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
-
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
atau keatas
-
berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
-
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu atau ayah tiri.
-
berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
c. isteri adalah
saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau
isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
a. seorang suami
melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang
dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang
mafqud.
c. perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1) Seorang suami
atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami
atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai
diri suami atau isteri
3) Apabila ancaman
telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri,
dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka
haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b. Suami atau
isteri;
c. Pejabat yang
berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan
menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam
pasal 67.
Pasal 74
1) Permohonan
pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
2) Batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang
batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan
pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan
tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
D. Kesimpulan
1. Pada dasarnya
tidak ada ayat yang secara spesifik membahas mengenai fasakh nikah, melainkan
tersirat pada beberapa ayat pada surat-surat tertentu, diantaranya adalah:
a. Surat
al-Baqarah ayat 221.
b. Surat
Annisa’ayat 23 dan 24.
c. Surat
Al-Mumtahanah ayat 10.
Ayat-ayat tersebut secara
tersirat menyebutkan beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan, baik
sebelum akad maupun sesudah terjadinya akad.
2. Fasakh terbagi
kedalam dua jenis yaitu:
a. Fasakh yang
disebabkan karena sayarat-syarat akad tidak terpenuhi
b. Fasakh yang
datang setelah terjadinya akad.
Sebab-sebab fasakh secara
umum adalah:
a. Suami atau
isteri gila
b. Suami atau
isteri murtad
c. Suami atau
isteri memiliki penyakit yang membahayakan dan dapat menular, seperti, HIV,
Aids, Kusta,
d. Suami atau
isteri memiliki gangguan pada organ reproduksi sehingga menghalangi tujuan
perkawinan, atau tidak bisa memiliki anak.
3. Menurut
Kompilasi Hukum Islam, pembatalan perkawinan dijelaskan dalam pasal 70-76.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab
Asy Syaukani Muhammad
bin Ali, Fathul Qadir, (…:….)
Ash-Shabuni
Muhamad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bina Ilmu: Surabaya, 2008.
Shihab
M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati: Jakarta, 2002.
Sabiq Sayyid, Fiqh
Sunnah, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Zuhaili Wahbah, Fiqh
Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.
Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1995.
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi wa Huwa Al-Jami’
Ash-Shahih. Bandung: Maktabah Dahlan, T,th.
Muslim, Shahih Muslim,
Bandung: Maktabah Dahlan, t.th
Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali
bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, Beirut: ‘Alam al-Kutub, T.th.
Al-Kahlani, Muhmmad bin
Isma’ilSubulus As-Salam,Bandung: Dahlan, T,th.
Sahrani,Thiani Sobari, Fiqh Nikah
Lengkap,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009
Effendi
Satria, Probeleatika Hukum keluarga Islam Kontemporer,Jakarta:PrendaMedia,
2004.
Baidan Nashrudin, Metode
Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
KompilasiHukum Islam
Saebani Beni Ahmad, FikihMunakahat, Bandung:
PustakaSetia, 2001.
Sahrani
Tihani, Sohari, Fiqh Munakahat: kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Press, 2002.
http://alquran-asbabunnuzul.blogspot.co.id/2012/09/an-nisa-ayat-23.html Jum’at 21, oktober, 2016.
Jurnal
[1]Thiani Sobari Sahrani, Fiqh
Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009) 153.
[3]Satria Effendi, Probeleatika
HukumkeluargaIslamKontemporer, (Jakarta:PrendaMedia, 2004) 19.
[4] Ibid, 20.
[6]Abdul
Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah Fi-al-Tafsir al-Maudhu’I,
(Kairo:al-Hadharat al-Gharbiyyah, 1977), hlm. 52.
[7]Wardahcheche.blogspot.com/2013/11/tafsirmaudhu’i.html?m=1
(kamis, 21 oktober, pukul 9.51WIB)
[9]Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, (Beirut:
‘Alam al-Kutub, t.th) 49-50.
[10]Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir
Ayat al-Ahkam, (Bina Ilmu: Surabaya, 2008) 197-202
[11]Pasal 44
KompilasiHukum Islam.
[12]http://alquran-asbabunnuzul.blogspot.co.id/2012/09/an-nisa-ayat-23.html (Jum’at 21, oktober, 2016)
[13]https://alquranmulia.wordpress.com/2015/09/05/tafsir-ibnu-katsir-surah-an-nisaa-ayat-23-24/ (jum’at, 21 oktober 2016)
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Jilid
III, (Beirut: Dar Ibn Hazm,1995) 990.
[15]At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Hadits ke-1160.
[16]Muslim, Shahih Muslim, jilid I, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th)
612.
[18]M. QuraishShihab, Tafsir
Al-Misbah, Vol XIII, (Lentera Hati: Jakarta, 2002) 604.
[19] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) 627.
[20]Beni Ahmad Saebani, FikihMunakahat, (
Bandung: PustakaSetia, 2001 ), 105.
[21]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006)
46-49.
[23]H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam),
(Jakarta: Pustaka Amani 1989)50.
[24]Tihani dan Sohari Sahrani, FiqhMunakahat:
kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Press, 2002)
195.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar