Senin, 31 Oktober 2016

makalah



Fasakh Nikah
A.    Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan juga merupakan awal untuk menuju kehidupan sosial di lingkungan masyarakat dengan satu tujuan perkawinan yaitu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah. Perkawinan tidak hanya mengikat antara satu orang lak-laki dengan seorang perempuan, melaikan perkawinan juga melibatkan dua keluarga bahkan lebih, karena itu jika ada permasalahan yang timbul, penyelesaian yang dilakukan haruslah mempertimbangkan kelangsungan hubungan baik dengan keluarga yang bersangkutan.
Meskipun telah diterangkan dalam pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 3 KHI tentang tujuan perkawinan, perceraian masih tetap menduduki perkara tertinggi di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini dikarenakan Islam telah memberikan hak kepada suami dan isteri untuk membubuarkan perkawinan dengan berbagai cara yang telah diatur dengan berbagai syarat yang harus terpenuhi, pembubaran ini dapat dilakukan dengan cara khulu’, talak, dan fasakh.
Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhisyarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yang meliputi: hak atas suami isteri, hak isteri terhadap suami. Termasuk di dalamnya adab suami terhadap isteri yang telah dicontohkan Rasulullah.[1]
Dalam kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena di khawatirkan dapat berakibat bahaya yang lebih besar daripada disatukan ,dan jika terus menerus dipaksa justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau balau.[2]
Dalam kajian hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum takhlifi maupun hukum wad’i bisa bernilai sah, dan bisa pula bernilai batal.[3] Kata sah berasal dari bahasa Arab “ sahih” yang secara etimologi berarti sesuatu dalam kondisi baik dan tidak tercatat. Menurut istilah Usul Fiqh kata sah digunakan kepada satu ibadah atau akan yang dilaksanakan dengan melengkapisegala syarat dan rukunnya. Kata batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bilamana satu akad tidak dinilai sah berarti batal.[4]
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjeleaskan tentang fasakh nikah yang kemudian pembahasannya diawali dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema yang ada. Dalam hal ini penulis akan memaparkan beberapa ayat dan tafsirnya yang berkaitan dengan fasakh nikah, kemudian mejelaskan pula tinjauan hukum dari Fiqh, Undang-Undang, dan juga Kompilasi Hukum Islam
B.     RumusanMasalah
Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini, adapun rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana tafsir ayat-ayat Al-Qur’an tentang fasakh nikah?
2.      Bagaimana tinjauan fiqh tentangFaksakh nikah?
3.      Bagaimana tinjauan KHI tentang Fasakh nikah?

C.    Pembahasan
1.        Metode Penafsiran Ayat-Ayat tentang Fasakh
Pada dasarnya tidak ada ayat Al-Qur’an menjelaskan secara langsung mengenai fasakh dalam perkawinan, melainakan Al-Qur’an menjelaskannya dengan makna yang tersirat dari beberapa ayat, sehingga untuk dapat memahami dalil ini diperlukan sabab nuzul dan berbagai hadits pendukung untuk menguatkan dasar berlakunya fasakh dalam Islam.
Untuk dapat mengetahui dasar hukum fasakh maka penulis dalam hal ini akan menggunakan metode tafsir maudhu’i (tematik). Metode tafsir maudhu’i secara bahasa maudhu’i berasal dari kata موضع yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an. Berdasarkan pengertian bahasa secara sederhana, metode tafsir maudhu’i ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdsarkan tema atau topik permasalahan.
Definisi diatas dapat dipahami bahwa sentral dari metode maudhu’i ini adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertibturunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain yang dapat memahami ayat lalu menganalisanya secara cermat dan menyeluruh[5].
Pengertian  tafsir  tematik/maudhu’i  secara  terminologis banyak  dikemukakan  oleh  para  pakar  tafsir  yang  pada  prinsipnya bermuara  pada  makna  yang  sama. Salah satunya menurut Dr. Abdul Hayyi al-Farmawi, tafsir  maudhu’i/tematik  adalah  pola  penafsiran  dengan cara  menghimpun  ayat-ayat  al-Qur’an  yang  mempunyai  tujuan yang  sama  dengan  arti  sama-sama  membicarakan  satu  topik  dan menyusun berdasarkan masa turun ayat serta memperhatikan latar belakang  sebab-sebab  turunnya,  kemudian  diberi  penjelasan, uraian, komentar dan pokok-pokok kandungan hukumannya.[6]
Dalam sebuah metode tentu ada beberapa tahapan yang harus dilalui, langkah-langkah metode maudhu’i adalah sebagai berikut:[7]
-          Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhui’i (tematik)
-          Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang terdapat pada seluruh surat al-Qur’an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat Makiyyat ataupun Madaniyyat.
-          Menentukan urutan ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya, jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu.
-          Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat – ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily)
-          Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh yang mencakup semua segi dari tema kajian.
-          Mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadits-hadits itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain untuk mempelajari tema itu.
-          Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa arab) dan shair-shair mereka dalam menjelaskan lafadz-lafadz yang tedapat pada ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
-          Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudhu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengadung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad.

2.        Ayat-Ayat Tentang Fasakh Nikah
a.      Surat Al-Baqarah Ayat 221.

وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran

AsbabunNuzul Surat Al-Baqarah ayat 221.
Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Murtsid bin Abu Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke Madinah, sedang ia di masa jahiliyyah, memiliki hubungan dengan perempuan yang bernama ‘Anaq, lalu wanita itu mengunjungi Murtsid dan bertanya: tidakkah engkau masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam telah menghalangi diantarakita. Lalu wanita itu bertanya lagi, tidakkah engkau bermaksud mengawini aku?  Ia menjawab: Benar, tetapi aku akan menghadap Rasulullah saw.  Untuk meminta izin kepadanya maka turunlah ayat ini.[8]
Muqatil bin hayyan berkata, ayat ini turun kepada Abi Martsad Al-Ghanawi. Ia meminta izin kepada Rasullullah untuk mengawini seorang perempuan musyrik yang miskin tetapi cantik, yang bernama Anaq. Abu Martsad berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku mengaguminya.” Maka turunlah ayat ini.[9]

TafsirSurat Al-Baqarah ayat 221.
a)      Yang dimaksud dengan “nikah” dalam ayat ini ialah “mengawini” bukan menyetubuhi”, sehingga dikatakan (kepadanya sebagai bantahan) bahwa memang tidak ada dalam Al-Qur’an lafal “wathi” (menyetubuh) sebab, Al-Qur’an menggunakan bahasa sindiran, dan ini diantara kehalusan lafal-lafal al-Qur’an.
b)      Tentang Firman Allah “lebih baik daripada perempuan musyrikah meskipun menarik hatimu” itu suatu isyarat halus, bahwa yang harus diperhatikan dalam memilih jodoh ialah “ akhlaq dan agama”, bukan kecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya.
c)      Adalah sudah maklum, bahwa pengampunan itu diberikan kepada seseorang sebelum ia dimasukkan ke dalam surga oleh karena itu lafal pengampunan itu lebih dahulu dari pada lafal sua dalam ayat lain, seperti firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga” (QS. 3. 133), sedang dalamlafal ini ayat surga didahulukan daripada lafal ampunan, karena untuk menjaga bentuk “muqobalah” berhadap-hadapan dengan kata neraka, “ Mereka mengajak ku neraka sedang Allah mengajak ke surga dan pengampunan dengan izin-Nya.
d)     Dalam ayat ini terdapat badi’ Muhasinat Lafdhiyah, yang disebut “Muqobalah”, yaitu disebutnya dua makna atau lebih secara berahadap-hadapan, seperti disebut lafal “amat” (hamba perempuan) berhadapan dengan lafal “abd” (hamba laki-laki) lafal “mukminah” berhadapan dengan lafal “musyrikah” dan lafal “jannah” (surga) berhadapan dengan lafal “nar” (neraka). Ini merupakan segi kebagusan adm kelembutan susunan kalimat yang menjadikan kalimat bertambahelok dan indah.

Jumhur berpendapat bahwa lafal “musyrikat” tidak mencakup ahli kitab, karena Allah berfirman “orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan” (QS. 2: 105) di sini Allah meng’atafkan (mengubungkan)lafal “musyrikin” kepada lafal ahli kitab” sedang ‘ataf menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang berlainan, maka secara zahiriyah, lafal “musyrikat” tidak dapat mencakup lafal “kitabiyyat” (perempuan-perempuan ahli kitab).
AthThabari berkata setelah mengikuti pembicaraan ini: pendapat yang paling kuat tentang takwil ayat ini (QS. 2. 221) adalah pendapat Qatadah yang mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan firmannya: “ dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah” itu, ialah mereka yang nun ahli kitab yaitu perempuan-perempuan yang musyrikah, dan ayat tersebut dzahirnya adalah ‘amm (umum) sedang batinnya khas (khusus), tidak dinasakh oleh ayat manapun, dan bahwa perempuan-perempuan ahli kitab itu tidak tergolong di dalamnya, sebab Allah telah berfirman “dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.”(QS. 5: 5), yakni halal bagi kaum muslimin mengawini mereka sebagaimana Allah menghalalakan mereka mengawini perempuan-perempuan yang mukminah. [10]
Ayat ini menjadi salah satu dalil terjadinya fasakh karena tidak diperbolehkanya menjalin hubungan rumah tangga yang berlainan agama, begitu juga ketika salah satu dari suamiatauisterimejadi murtad, maka ikatan perkawinan dianggap fasakh (batal/putus).  Seorangwanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidakberagama Islam.[11]

b.      Surat An-Nisa’ ayat23 dan 24
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣ ۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٢٤
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Asbabun Nuzul Surat An-NisaAyat 23
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang “wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada mantan istri anak angkat.[12]
Asbabun Nuzul Surat An-Nisa’ Ayat 24
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 24) di waktu perang Humain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ma’mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.
Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 23-24[13]
Ayat yang mulia ini adalah ayat yang menerangkan haramnya mahram berdasarkan nasab (keturunan) dan hal-hal yang mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.”) Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh, kemudian ia membaca: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum wa ‘ammaatukum wa khaalaatukum wa banaatul akhi wa banaatul ukhti (“Di-haramkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramuyang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan,”) merekalah [mahram dari] nasab.
Apakah anak tiri yang di nikahi itu disyaratkan bahwa ia harus berada dalam penjagaan anak ayah tiri? Menurut jumhur ulama, hal itu tidak disyaratkan, haram bagi seorang menikahi anak tirinya, baik anak tiri itu dalam penjagaanya ataupun tidak. Menurut ahli zhahir (kaum tekstual), hal itu menjadi syarat bagi larangan tersebut, jika anak tiri tidak berada dalam penjagaan ayah tiri, maka ayah tiri halal menikahinya.[14]
Jumhur ulama menggunakan dalil tentang haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah Ta’ala: wa banaatukum (“Dan anak-anak perempuanmu.”) Karena ia adalah anak perempuan, maka ia masuk dalam keumuman ayat tersebut, sebagaimana madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada pendapat dari asy-Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukanlah anak menurut hukum syar’i. Sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam firman: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan,” (QS. An-Nisaa’: 11) sesungguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma’, maka ia pun tidak termasuk ke dalam ayat ini. Wallahu a’lam.
Firman-Nya: wa ummaHaatu kumul laatii ardla’nakum wa akhawaatukum minar radlaa’ati (“Ibu ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.”) Artinya, sebagaimana kamu diharamkan terhadap ibu-ibu yang melahirkanmu, maka begitu pula kamu diharamkan dengan ibu-ibu yang menyusuimu.
Untuk itu, di dalam ash-Shahihain tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram apa-apa yang dapat menjadikan mahram karena kelahiran.”
Dan dalam lafazh Muslim: “Diharamkan karena persusuan, apa-apa yang di haramkan karena nasab”.
Sebagian ahli fiqih berkata, “Setiap apa saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan kecuali empat bentuk.” Sebagian lagi mengatakan, kecuali enam bentuk yang kesemuanya tersebut di dalam kitab-kitab furu’. Setelah diteliti, ternyata tidak ada pengecualian sedikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian terdapat dalam nasab dan sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara (mendasar) tidak ada yang menolak hadits tersebut sedikitpun. Segala puji hanya milik Allah, dan kepercayaan hanya dengan-Nya.
Di antaranya yaitu: Ibu saudaramu yang laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada seorang perempuan (lainnya) menyusui saudara laki-lakimu atau saudara perempuanmu, maka perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya. Akan tetapi diharamkan bagimu ibu dan keduanya berdasarkan nasab, karena ibu dari keduanya itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menjadi sisa permasalahan tersebut.
Kemudian, para Imam berbeda pendapat tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya dengan (sekedar) menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini. Inilah pendapat Malik,riwayat dari Ibnu Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama lain berkata, “Kurang dari tiga kali susuan tidak mengharamkan. Sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari jalan Hasyim bin Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “Satu atau dua isapan (susuan) tidak mengharamkan.”
Qatadah berkata dari Abil Khalil, dari `Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul Fadhl berkata, Rasulullah bersabda: “Satu dan dua susuan atau satu dan dua isapan tidak mengharamkan,” di dalam lafazh yang lain, “Satu dua sedotan tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim)
Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Auza’I, tidak ada ketentuan mengenai frekuensi minimal menyusu, seberapapun menyusunya seorang anak dengan seorang wanita, maka hal itu sudah menjadi haram baginya menikahi wanita tersebut. Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’I, syarat bagi haramnya menikah karena hubungan sesusuan adalah minimal lima kali. Adapun yang dijadikan hujjah adalah hadits Aisyah, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an dahulu menyebutkan 10 kali menyusu yang dimaklumi (‘asyarah radha’at ma’lumat), kemudian di-Mansukh oleh 5 kali menyusu yang dimaklumi (Khamsah Radha’at ma’lumat).[15](HR. Muslim)
Diterima dari Aisyah, Rasulullah SAW. Bersabda: orang-orang yang haram dinikahi karena sesusuan sama dengan orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan keturunan.[16]
Pernah diturunkan sebagaian dari(ayat) Al-Qur’an (yang menerangkan) diharamkan (menikahi kalau) menyusu sudah sampai sepuluh kali yang dimaklumi. Kemudian di nasakhkan dengan lima kali (menyusu) yang dimaklumi. Kemudian Rasulullah wafat, dan ia masih dibaca sebagai sebagian dai Al-Qur’an.[17]
                        Kedua ayat ini menunjukkan salah beberapa sebab terjadinya fasakh bilamana ketika telah terjadi perkawinan yang sah, dan dikemudian hari ditemukan bukti yang sah bahwa suami atau isterinya masih memiliki hubungan darah atau susuan.
3.      Surat Al-Mumtahanahayat 10

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَٰتٖ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِۖ لَا هُنَّ حِلّٞ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۚ وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ وَسۡ‍َٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ وَلۡيَسۡ‍َٔلُواْ مَآ أَنفَقُواْۚ ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡۖ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ١٠

10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
AsbabunNuzul Al-Mumtahanah Ayat 10:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah Rasulullah SAW. Membuat perjanjian dengan kaum kafir Quraisy  di dalam naskah Hudaibiyah, datanglah wanita-wanita mukminat dai Makkah, makaturunlah ayat ini yang memerintahkan untuk menguji dahulukaum wanita yang hijrah itu, dan tidak boleh kembali ke Makkah.
(HR. Syaikhani dari Al-MiswardanMarwah bin Ahkam)
Dalam riwayat lain juga telah dikemukakan bahwa setelah penanda tangananHudaibiyah, UmmuKultsum binti Uqbah bin AbiMu’aith berhijrah dari Mekkah. Kedua saudaranya yang bernama Imran dan Al-Walid bin Uqban menyusul UmmuKultsum (saudaranya) sehingga sampai kepada Nabi SAW. Keduanya meminta UmuKultsum diserahkan kepada mereka. Dengan turunnya ayat 10 ini Allah membatalkan perjanjian Rasulullah dengan kaum Musyrikin, khusus tentang wanita-wanita,yaitu melarang kaum yang iman dikembalikan kepada kaum Musyrikin.
(HR. Thabrani dengan sanad lemah dari Abdullah bin Ahmad)
Tafsir Surat Al-Mumtahanah Ayat 10:
Ayat diatas menjelaskan bahwa: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang (untuk  bergabung) kepada kamu perempuan-perempuan mukminah, yakni yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan dalam keadaan sebagai wanita-wanita yang berhijrahmeniggalkan Mekkah, maka ujilah mereka menyangkut keimanan mereka. Misalnya, memerintahkan mereka bersumpah mengenai kehadiran mereka ke Mekkah. Jangan ada yang menduga ujian itu karena Allah tidak mengetahui hakikat keimanan mereka. Sama sekali tidak! Allah lebih mengetahui dari siapapuntentang hakikat keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui keadaan mereka -yakni menduga keras berdasar indikator-indikator yang memadaibahwa mereka benar-benar wanita-wanita mukminah, maka janganlah dalam bentuk dan keadaan apapun kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir walaupun mereka itu adalah suami-suami wanita-wanita mukminah tadi sebab mereka, para wanita mukminah itu tidak halalmenjadi misteri-isteribagi mereka, pria-pria kafir itu, dan mereka, yakni pria-pria kafir itu, pun tidak halal juga menjadi suami-suami sejak bagi mereka kini dan akan datang.[18]
Ayat ini menjadi salah satu sebab terjadinya fasakh nikah  yaitu wanita-wanita mukmin tidak dihalalkan menjadi isteri dari orang-orang kafir, walaupun mereka telah menikah sebelumnya.

4.        Fasakh Nikah Menurut Fiqh  dan Kompilasi Hukum Islam.
a.      Fasakh Menurut Fiqh
Secara bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Sedangkan pengertian fasakh secara istilah menurut Sayyid Sabiq adalah membatalkan akad nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri, fasakh terjadi apabila ada celah pada akad nikah atau ada sebab baru yang mencegah berlang sungnya hubungan suami isteri.[19]
Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.[20]
Syarat-syarat nikah merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Pada garis besarnya syarat sahnya perkawinan itu ada dua, yaitu:
1)      Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya isteri.
2)      Akad nikahnya dihadiri para saksi
Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari:
1)      Pihak laki-laki
2)      Pihak perempuan
3)      Wali atau wali hakim
4)      Dua orang saksi
5)      Ijab dan Qabul.[21]
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Dalam hal ini fasakh dibagi mejadi dua jenis yaitu:
1)  Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a)      Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah sudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b)      Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2)  Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
a)      Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b)      Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.[22]
Sedang fasakh dengan keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah jelas tidak memerlukan keputusan hakim lagi, missal apabila si isteri terbukti bahwa si suami isteri masih saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk memfasakhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Terkadang ada penyebab fasakh yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya tergantung kepada keputusan hakim, missal fasakh karena isteri musyrik dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk islam terlebih dahulu namun isteri keberatan untuk masuk islam, maka akadnya rusak.[23]

Sebab-SebabTerjadinyaFasakh
Fasakhbisaterjadikarenatidakterpenuhinyasyarat-syaratketikaberlangsungnyaakadnikah, ataukarenahal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.[24]
Adapun sebab terjadinya Fasakh antara lain ialah:
1.      Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan, atau perempuan menipu laki-laki, misalnya orang laki-laki mandul yang tidak dapat memberikan keturunan, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh manakala ia tahu, kecuali ia memilih untuk tetap menjadi isteri dan ridhodipergauli suaminya.
2.      Apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang mengaku sebagai serang yang baik-baik, kemudian ternyata fasik, maka siperempuan berhak mengajukan fasakh untuk membatalkan akadnya.
3.      Seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan tetapi ternyata janda, maka laki-laki itu berhak meminta ganti rugi maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
4.      Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa si isteri itu cacat tidak dapat dicampuri, misalnya selalu beristihadloh (selalu keluar darah selain darah haid), istihadhah adalah aib karena itu dapat menyebabkan fasakh dan merusak nikah.
5.      Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi di tubuh perempuan itu ada penghalang yang menyebabkan si misteri tidak dapat dipergauli, misalnya kemaluannya tersumbat, tumbuh daging atau robek atau ada tulangnya, suami boleh mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinannya.
6.      Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacar seperti supak, kusta atau gila.
b.      Fasakh Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun kompilasi hukum islam hanya sebatas kompilasi (bukan Undang-Undang) namun kedudukannya di ligkungan peradilan agama,sangat mempengaruhi keputusan hakim dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan kewenangan peradilan agama. KHI menerangkan tentang beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan diantarnya adalah:
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a.       Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
-          seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
-          seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
b.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
-          berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
-          berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
-          berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
-          berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
c.       isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.       seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.      perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c.       perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.      perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7  Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e.       perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.       perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1)      Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2)      Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
3)      Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.       para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b.      Suami atau isteri;
c.       Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d.      para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
1)      Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
2)      Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a.       perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b.      anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.       pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
D.    Kesimpulan
1.      Pada dasarnya tidak ada ayat yang secara spesifik membahas mengenai fasakh nikah, melainkan tersirat pada beberapa ayat pada surat-surat tertentu, diantaranya adalah:
a.       Surat al-Baqarah ayat 221.
b.      Surat Annisa’ayat 23 dan 24.
c.       Surat Al-Mumtahanah ayat 10.
Ayat-ayat tersebut secara tersirat menyebutkan beberapa hal yang dapat membatalkan perkawinan, baik sebelum akad maupun sesudah terjadinya akad.
2.      Fasakh terbagi kedalam dua jenis yaitu:
a.       Fasakh yang disebabkan karena sayarat-syarat akad tidak terpenuhi
b.      Fasakh yang datang setelah terjadinya akad.
Sebab-sebab fasakh secara umum adalah:
a.       Suami atau isteri gila
b.      Suami atau isteri murtad
c.       Suami atau isteri memiliki penyakit yang membahayakan dan dapat menular, seperti, HIV, Aids, Kusta,
d.      Suami atau isteri memiliki gangguan pada organ reproduksi sehingga menghalangi tujuan perkawinan, atau tidak bisa memiliki anak.
3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam, pembatalan perkawinan dijelaskan dalam pasal 70-76.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab
Asy Syaukani Muhammad bin Ali, Fathul Qadir,  (…:….)
Ash-Shabuni Muhamad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bina Ilmu: Surabaya, 2008.
Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati: Jakarta, 2002.
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Zuhaili Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1995.
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi wa Huwa Al-Jami’ Ash-Shahih. Bandung: Maktabah Dahlan, T,th.
Muslim, Shahih Muslim, Bandung: Maktabah Dahlan, t.th
Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, Beirut: ‘Alam al-Kutub, T.th.
Al-Kahlani, Muhmmad bin Isma’ilSubulus As-Salam,Bandung: Dahlan, T,th.
Sahrani,Thiani Sobari, Fiqh Nikah Lengkap,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009
Effendi Satria, Probeleatika Hukum keluarga Islam Kontemporer,Jakarta:PrendaMedia, 2004.
Baidan Nashrudin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
KompilasiHukum Islam
Saebani Beni Ahmad,  FikihMunakahat, Bandung: PustakaSetia, 2001.
Sahrani Tihani, Sohari, Fiqh Munakahat: kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Jurnal




[1]Thiani Sobari Sahrani, Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2009) 153.
[2]Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th) 6864.
[3]Satria Effendi, Probeleatika HukumkeluargaIslamKontemporer, (Jakarta:PrendaMedia, 2004) 19.
[4] Ibid, 20.
[5]Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar 1998) 2.
[6]Abdul Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah Fi-al-Tafsir al-Maudhu’I, (Kairo:al-Hadharat al-Gharbiyyah, 1977), hlm. 52.
[7]Wardahcheche.blogspot.com/2013/11/tafsirmaudhu’i.html?m=1 (kamis, 21 oktober, pukul 9.51WIB)
[8] Muhammad bin Ali Asy Syaukani, FathulQadir, Jilid 1, (…:….) 244.
[9]Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab An-Nuzul, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th) 49-50.
[10]Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Bina Ilmu: Surabaya, 2008) 197-202
[11]Pasal 44 KompilasiHukum Islam.
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Jilid III, (Beirut: Dar Ibn Hazm,1995) 990.
[15]At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Hadits ke-1160.
[16]Muslim, Shahih Muslim, jilid I, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th) 612.
[17]Al-Kahlani, Subulus As-Salam, jilid III,  ( Bandung: Dahlan, t,th) 216
[18]M. QuraishShihab, Tafsir Al-Misbah, Vol XIII, (Lentera Hati: Jakarta, 2002) 604.
[19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) 627.
[20]Beni Ahmad Saebani,  FikihMunakahat,  ( Bandung: PustakaSetia, 2001 ), 105.
[21]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006) 46-49.
[22]Slamet Abidin dan H. Aminudin, fiqih munakahat 2, (Bandung: Pustaka setia, 1999) 73.
[23]H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani 1989)50.
[24]Tihani dan Sohari Sahrani, FiqhMunakahat: kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2002) 195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar